Larangan CPO dari AS abaikan komitmen RI
A
A
A
Sindonews.com - Menteri Perdagangan RI, Gita Wirjawan, telah menyampaikan secara resmi tanggapan terhadap Notice of Data Availability (NODA) yang dikeluarkan oleh Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat terkait produk crude palm oil (CPO) asal Indonesia.
Dalam tanggapannya, Mendag menyampaikan bahwa EPA, dalam analisanya, telah mengabaikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam melindungi lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Pada Copenhagen Meeting tahun 2009, Presiden RI telah menyampaikan komitmennya untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, dan menargetkan penurunan emisi sebesar 41 persen melalui kerja sama internasional,” jelas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Deddy Saleh pada siaran persnya seperti dikutip dari laman Kementerian Perdagangan, Jumat (4/5/2012).
Dirjen Perdagangan Luar Negeri menambahkan, terkait perlindungan lingkungan dan pelestarian hutan, Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Kemudian, dalam tanggapan resminya, Mendag juga menyampaikan bahwa dalam menghitung emisi gas rumah kaca, EPA banyak menggunakan data-data yang bersifat asumsi, bukan data riil, sehingga hasilnya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Indonesia mengusulkan agar EPA menggunakan metode lain dalam penghitungan gas rumah kaca. Poin ketiga yang disampaikan oleh Mendag adalah CPO merupakan tanaman paling efisien dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Food Policy Research Institute tahun 2010, CPO hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit.
“Jika dihitung secara ilmiah, CPO jauh lebih efisien dibandingkan tanaman lain seperti misalnya kedelai, biji bunga matahari dan rape seed,” imbuh Deddy Saleh.
Selanjutnya, Mendag juga menyampaikan bahwa NODA tidak konsisten dengan beberapa pasal di dalam ketentuan WTO, antara lain mengenai prinsip Most Favored Nation, dan National Treatment karena membedakan CPO dengan komoditas seperti kedelai yang diproduksi di dalam negeri AS.
Tanggapan resmi Menteri Perdagangan tersebut diserahkan ke pemerintah AS pada 26 April 2012 sebelum batas akhir penyampaian tanggapan yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 27 April 2012. EPA mengeluarkan NODA pada Desember 2011 dan secara resmi didaftarkan kepada US Federal Register pada 27 Januari 2012.
NODA merupakan analisa terhadap emisi gas rumah kaca dari minyak kelapa sawit (CPO). Berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diterapkan di AS, bahan baku untuk produk biodiesel dan renewable diesel harus memenuhi ketentuan minimum 20 persen ambang batas pengurangan emisi gas kaca.
Melalui analisisnya, EPA menyatakan bahwa CPO hanya berada pada level 11-17 persen, sehingga tidak memenuhi ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan (renewable fuel) yang efisien.
Atas dikeluarkannya NODA tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani isu ini. KBRI Washington secara aktif telah melakukan berbagai pertemuan dengan beberapa pihak terkait di AS, termasuk dengan United States Trade Representative (USTR), EPA, Department of Commerce, US Chamber of Commerce, Staffer Congress, serta para pemangku kepentingan CPO di AS dalam rangka menyampaikan concern pemerintah Indonesia dan melakukan lobbying. (ank)
Dalam tanggapannya, Mendag menyampaikan bahwa EPA, dalam analisanya, telah mengabaikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam melindungi lingkungan dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Pada Copenhagen Meeting tahun 2009, Presiden RI telah menyampaikan komitmennya untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, dan menargetkan penurunan emisi sebesar 41 persen melalui kerja sama internasional,” jelas Dirjen Perdagangan Luar Negeri Deddy Saleh pada siaran persnya seperti dikutip dari laman Kementerian Perdagangan, Jumat (4/5/2012).
Dirjen Perdagangan Luar Negeri menambahkan, terkait perlindungan lingkungan dan pelestarian hutan, Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Kemudian, dalam tanggapan resminya, Mendag juga menyampaikan bahwa dalam menghitung emisi gas rumah kaca, EPA banyak menggunakan data-data yang bersifat asumsi, bukan data riil, sehingga hasilnya tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.
Dalam hal ini, Indonesia mengusulkan agar EPA menggunakan metode lain dalam penghitungan gas rumah kaca. Poin ketiga yang disampaikan oleh Mendag adalah CPO merupakan tanaman paling efisien dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Food Policy Research Institute tahun 2010, CPO hanya membutuhkan 0,26 hektar lahan untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit.
“Jika dihitung secara ilmiah, CPO jauh lebih efisien dibandingkan tanaman lain seperti misalnya kedelai, biji bunga matahari dan rape seed,” imbuh Deddy Saleh.
Selanjutnya, Mendag juga menyampaikan bahwa NODA tidak konsisten dengan beberapa pasal di dalam ketentuan WTO, antara lain mengenai prinsip Most Favored Nation, dan National Treatment karena membedakan CPO dengan komoditas seperti kedelai yang diproduksi di dalam negeri AS.
Tanggapan resmi Menteri Perdagangan tersebut diserahkan ke pemerintah AS pada 26 April 2012 sebelum batas akhir penyampaian tanggapan yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 27 April 2012. EPA mengeluarkan NODA pada Desember 2011 dan secara resmi didaftarkan kepada US Federal Register pada 27 Januari 2012.
NODA merupakan analisa terhadap emisi gas rumah kaca dari minyak kelapa sawit (CPO). Berdasarkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diterapkan di AS, bahan baku untuk produk biodiesel dan renewable diesel harus memenuhi ketentuan minimum 20 persen ambang batas pengurangan emisi gas kaca.
Melalui analisisnya, EPA menyatakan bahwa CPO hanya berada pada level 11-17 persen, sehingga tidak memenuhi ketentuan RFS untuk dapat dikategorikan sebagai bahan bakar terbarukan (renewable fuel) yang efisien.
Atas dikeluarkannya NODA tersebut, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani isu ini. KBRI Washington secara aktif telah melakukan berbagai pertemuan dengan beberapa pihak terkait di AS, termasuk dengan United States Trade Representative (USTR), EPA, Department of Commerce, US Chamber of Commerce, Staffer Congress, serta para pemangku kepentingan CPO di AS dalam rangka menyampaikan concern pemerintah Indonesia dan melakukan lobbying. (ank)
()