BRTI diminta selesaikan kasus sedot pulsa
A
A
A
Sindonews.com - Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) diminta untuk menyelesaikan kasus sedot pulsa secepatnya melalui mekanisme hukum yang ada, yaitu UU No 36 tentang Telekomunikasi, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Permenkominfo No 1/2009 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Praktisi hukum telekomunikasi Sulaiman N Sembiring mengungkapkan, pemerintah dan BRTI hendaknya mencarikan alternatif terbaik dan komprehensif untuk menyelesaikan kasus yang melanda industri telekomunikasi nasional. ”Harus dicatat juga bahwa selama 7 bulan terakhir pelaku usaha telah mendapatkan ‘hukuman’ berupa tidak bolehnya menyelenggarakan layanan SMS berbayar dan merosotnya pendapatan perusahaan,” ujar Sulaiman di Jakarta, Selasa 8 Mei 2012.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf menuturkan, izin penyelenggara telekomunikasi harus merupakan alat kontrol masyarakat dan disertai dengan aturan yang mengiringinya. ”Terkait dengan sanksi, agar dihindari mungkin adanya kriminalisasi dan mengarahkan kepada hukum pidana setiap ada sengketa telekomunikasi. Keberhasilan dalam mencegah kerugian konsumen justru terdapat pada sanksi administratif dan perdata,” katanya.
Ada sejumlah sanksi administratif, ada peringatan tertulis, pergantian kerugian pelanggan, penghentian layanan, sampai pencabutan izin. Menurut Asep, apabila dibawa ke ranah pidana, maka hanya berakibat pada perorangan saja, sedangkan bila dibawa ke perdata maka kerugian pelanggan akan dapat diselesaikan, pelaku usaha pun bisa lebih jera.
Pengamat telekomunikasi dari Universitas Indonesia Gunawan Wibisono mengungkapkan, di negara lain seperti Jepang, masalah dalam telekomunikasi cukup dilaporkan kepada yayasan lembaga konsumen, bukan kepada regulatornya.
”Kasus penyedotan pulsa sebenarnya masalah sederhana dan tidak perlu keahlian khusus dalam penyelesaiannya. Saya tidak tahu mengapa BRTI tidak bisa menyelesaikan kasus yang sederhana ini, dan tidak ada solusi sampai sekarang,” ungkap Gunawan.
Gunawan menuturkan, seharusnya pemerintah membuat regulasi yang mendorong tumbuh kembangnya bisnis penyedia konten. Pengamat hukum telekomunikasi Edmon Makarim menilai istilah pencurian dalam kasus sedot pulsa adalah kurang tepat, mengingat tidak ada barang atau piutang yang dicuri.
”Pulsa sebagai satuan waktu pemakaian jasa telekomunikasi yang dikenai biaya yang karena dibayar lump sum (prepaid) kemudian dipersepsikan sebagai barang yang dimiliki oleh pengguna sehingga tindakan penggunaan tanpa izin tak layak disebut tindakan layaknya pencuri,” ujarnya.
Sementara, Direktur Kebijakan Publik Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala mengungkapkan, kasus sedot pulsa merupakan kasus biasa dalam bisnis yang mestinya dapat diselesaikan oleh BRTI sejak awal. (bro)
()