Bulog serap 1,32 juta ton beras
A
A
A
Sindonews.com – Perum Bulog memperluas basis pemasukan gabah melalui strategi yang ditujukan untuk mempercepat arus pengadaaan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda).
Strategi yang digunakan ialah ‘dorong-tarik’, yakni pemda mendorong produksi padi dan mendorong kelompok taninya. Sedangkan Bulog menyerap hasil produksi dan strategi pengembangan ‘jaringan semut’ di mana Bulog membeli gabah dan beras petani langsung dari kelompok tani dari penggilingan kecil yang sarananya terbatas. Di samping itu, mendorong masuknya mitra-mitra baru dengan sistem pelayanan yang mudah, cepat, dan sederhana.
“Sampai akhir April 2012, pembelian Bulog telah mencapai di atas 1,32 juta ton atau naik 57 persen dari pengadaan 2011. Kedua upaya tersebut cukup efektif. Hal ini ditandai semakin banyaknya mitra pengadaan dan kecepatan pengadaan yang jauh lebih besar dari tahun- tahun sebelumnya,” tutur Direktur Utama Perum Bulog Soetarto Alimoeso dalam Seminar Penguatan Agribisnis Perberasan dalam Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani kemarin.
Bulog sedang mempelajari kemungkinan masuk ke penggilingan- penggilingan kecil dalam bentuk kerja sama investasi. Tujuannya meningkatkan kapasitas produksi dan modernisasi penggilingan kecil agar mampu memproduksi gabah dan beras yang lebih baik. Hal ini membuktikan apa yang dilakukan pihaknya kini berbeda dengan pekerjaan Bulog di masa lalu. Bulog dulu dianggap hanya membeli saat harga jatuh dan mengeluarkan cadangan beras saat harga naik.
“Tapi ada perubahan mindset, Bulog harus punya stok. Bulog mau tidak mau perlu melakukan pengadaan sebesarbesarnya. Apalagi masa panen tidak terjadi sepanjang tahun. Biasanya panen raya pada bulan Maret hingga Agustus. Di saat itulah Bulog melakukan pengadaaan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan stok beras,”tandasnya. Sutarto menjelaskan, pembelian beras petani oleh Bulog selama 10 tahun rata-rata lima persen. Pembelian di atas 8–9 persen bila produksi berlebih.
Terkait kebijakan impor pengadaan beras, dia menilai, sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dan produksi beras dalam negeri tidak seimbang. “Berdasarkan hasil catatan, baru tiga kali pemerintah pernah melakukan kebijakan tidak impor beras, yaitu tahun 1993,2008,dan 2009.Tapi tetap saja kebijakan impor beras dianggap haram,”katanya lagi. Sebenarnya dia berharap tidak ada kebijakan impor beras.
Namun fakta di lapangan dan realitas politik, dia harus melakukan hal itu.Diungkapkannya, di Bulog kebijakan yang sifatnya politis lebih besar dibandingkan hitungan teknis dan analitis. Sedangkan Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Gayatri K Rana mengungkapkan, DIY merupakan satu-satunya daerah yang tingkat kerawanan pangannya paling rendah. “Tapi untuk diversifikasi pangan masih berada di posisi enam di Indonesia,”paparnya.
Strategi yang digunakan ialah ‘dorong-tarik’, yakni pemda mendorong produksi padi dan mendorong kelompok taninya. Sedangkan Bulog menyerap hasil produksi dan strategi pengembangan ‘jaringan semut’ di mana Bulog membeli gabah dan beras petani langsung dari kelompok tani dari penggilingan kecil yang sarananya terbatas. Di samping itu, mendorong masuknya mitra-mitra baru dengan sistem pelayanan yang mudah, cepat, dan sederhana.
“Sampai akhir April 2012, pembelian Bulog telah mencapai di atas 1,32 juta ton atau naik 57 persen dari pengadaan 2011. Kedua upaya tersebut cukup efektif. Hal ini ditandai semakin banyaknya mitra pengadaan dan kecepatan pengadaan yang jauh lebih besar dari tahun- tahun sebelumnya,” tutur Direktur Utama Perum Bulog Soetarto Alimoeso dalam Seminar Penguatan Agribisnis Perberasan dalam Mewujudkan Kemandirian dan Kesejahteraan Petani kemarin.
Bulog sedang mempelajari kemungkinan masuk ke penggilingan- penggilingan kecil dalam bentuk kerja sama investasi. Tujuannya meningkatkan kapasitas produksi dan modernisasi penggilingan kecil agar mampu memproduksi gabah dan beras yang lebih baik. Hal ini membuktikan apa yang dilakukan pihaknya kini berbeda dengan pekerjaan Bulog di masa lalu. Bulog dulu dianggap hanya membeli saat harga jatuh dan mengeluarkan cadangan beras saat harga naik.
“Tapi ada perubahan mindset, Bulog harus punya stok. Bulog mau tidak mau perlu melakukan pengadaan sebesarbesarnya. Apalagi masa panen tidak terjadi sepanjang tahun. Biasanya panen raya pada bulan Maret hingga Agustus. Di saat itulah Bulog melakukan pengadaaan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan stok beras,”tandasnya. Sutarto menjelaskan, pembelian beras petani oleh Bulog selama 10 tahun rata-rata lima persen. Pembelian di atas 8–9 persen bila produksi berlebih.
Terkait kebijakan impor pengadaan beras, dia menilai, sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan dan produksi beras dalam negeri tidak seimbang. “Berdasarkan hasil catatan, baru tiga kali pemerintah pernah melakukan kebijakan tidak impor beras, yaitu tahun 1993,2008,dan 2009.Tapi tetap saja kebijakan impor beras dianggap haram,”katanya lagi. Sebenarnya dia berharap tidak ada kebijakan impor beras.
Namun fakta di lapangan dan realitas politik, dia harus melakukan hal itu.Diungkapkannya, di Bulog kebijakan yang sifatnya politis lebih besar dibandingkan hitungan teknis dan analitis. Sedangkan Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Gayatri K Rana mengungkapkan, DIY merupakan satu-satunya daerah yang tingkat kerawanan pangannya paling rendah. “Tapi untuk diversifikasi pangan masih berada di posisi enam di Indonesia,”paparnya.
()