Minim infrastruktur hambat industri kakao di Sulsel
A
A
A
Sindonews.com - Kalangan pengusaha kakao mengatakan, industri kakao di Sulawesi Selatan (Sulsel) sulit berkembang karena terkendala infrastruktur dan regulasi daerah. Padahal Sulsel merupakan sentra penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan menyumbang 100.000 ton kakao tiap tahunnya.
Direktur Utama PT Bumi Tangerang Cocoa Indonesia Sindra Widjaja yang memiliki pabrik pengolahan di Sulsel mengatakan, total industri pengolahan kakao di Sulsel dari dulunya sebanyak lima unit. Namun kini hanya tersisa dua unit, selebihnya tidak berjalan optimal lagi.
“Ada banyak perusahaan nasional yang ingin berekspansi di Sulsel. Alasan utamanya, kawasan inilah penghasil terbesar kakao sehingga seharusnya pengolahaannya juga dekat dengan sumber kakao. Tetapi alasan infrakstruktur membuat urung banyak pengusaha untuk datang,” kata Sindra.
Lanjut dia, seharusnya pemerintah daerah memperhatikan peluang tersebut. Dengan banyaknya industri pengolahan kakao di Sulsel, Sindra mengaku akan membangkitkan perekonomian masyarakat dan memacu petani untuk terus berproduksi menghasilkan biji kakao berkualitas.
“Di Indonesia, pabrik kakao masih dikuasai Pulau Jawa. Saat ini di sana ada delapan pabrik pengolahan kakao yang siap membuat apa saja. Padahal mereka mendatangkan bahan dasar dari luar Pulau Jawa, salah satunya adalah dari Sulsel,” ujarnya.
Keluhan pengusaha kakao tersebut juga diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) HM Dakhri Sanusi. Menurut dia, kekurang perhatian pemerintah soal infrakstruktur memang menjadi kendala besar urungnya pengusaha membuka pabrik kakao di Sulsel. Walau demikian, upaya yang dilakukan Askindo sejauh ini terus mendorong pemerintah dan pengusaha untuk membangun dan memperbaiki celah tersebut.
“Hanya memang hingga kini, masih belum menuai jalan keluar. Kita harap ke depan akan ada lebih banyak industri kakao di Sulsel,” kata dia.
Masalah lain yang diamati Dakhri Sanusi adalah masih rendahnya kualitas biji kakao yang dihasilkan petani di Sulsel. “Mereka lebih senang menjual kakao kering ketimbang menjadikan kakao tersebut fermentasi yang nilai ekonomisnya lebih tinggi,” ujarnya.
Seharusnya, menurut dia, sebagai penghasil biji kakao terbesar, petani harusnya meningkatkan kualitas biji kakaonya sebelum dilepas ke pasaran.“ Menjadikan kakao fermentasi memang membutuhkan waktu lebih lama, tetapi hasilnya memuaskan,” tandas Dakhri. (ank)
Direktur Utama PT Bumi Tangerang Cocoa Indonesia Sindra Widjaja yang memiliki pabrik pengolahan di Sulsel mengatakan, total industri pengolahan kakao di Sulsel dari dulunya sebanyak lima unit. Namun kini hanya tersisa dua unit, selebihnya tidak berjalan optimal lagi.
“Ada banyak perusahaan nasional yang ingin berekspansi di Sulsel. Alasan utamanya, kawasan inilah penghasil terbesar kakao sehingga seharusnya pengolahaannya juga dekat dengan sumber kakao. Tetapi alasan infrakstruktur membuat urung banyak pengusaha untuk datang,” kata Sindra.
Lanjut dia, seharusnya pemerintah daerah memperhatikan peluang tersebut. Dengan banyaknya industri pengolahan kakao di Sulsel, Sindra mengaku akan membangkitkan perekonomian masyarakat dan memacu petani untuk terus berproduksi menghasilkan biji kakao berkualitas.
“Di Indonesia, pabrik kakao masih dikuasai Pulau Jawa. Saat ini di sana ada delapan pabrik pengolahan kakao yang siap membuat apa saja. Padahal mereka mendatangkan bahan dasar dari luar Pulau Jawa, salah satunya adalah dari Sulsel,” ujarnya.
Keluhan pengusaha kakao tersebut juga diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) HM Dakhri Sanusi. Menurut dia, kekurang perhatian pemerintah soal infrakstruktur memang menjadi kendala besar urungnya pengusaha membuka pabrik kakao di Sulsel. Walau demikian, upaya yang dilakukan Askindo sejauh ini terus mendorong pemerintah dan pengusaha untuk membangun dan memperbaiki celah tersebut.
“Hanya memang hingga kini, masih belum menuai jalan keluar. Kita harap ke depan akan ada lebih banyak industri kakao di Sulsel,” kata dia.
Masalah lain yang diamati Dakhri Sanusi adalah masih rendahnya kualitas biji kakao yang dihasilkan petani di Sulsel. “Mereka lebih senang menjual kakao kering ketimbang menjadikan kakao tersebut fermentasi yang nilai ekonomisnya lebih tinggi,” ujarnya.
Seharusnya, menurut dia, sebagai penghasil biji kakao terbesar, petani harusnya meningkatkan kualitas biji kakaonya sebelum dilepas ke pasaran.“ Menjadikan kakao fermentasi memang membutuhkan waktu lebih lama, tetapi hasilnya memuaskan,” tandas Dakhri. (ank)
()