Menghindari penyesalan pasca panic selling

Selasa, 05 Juni 2012 - 08:52 WIB
Menghindari penyesalan pasca panic selling
Menghindari penyesalan pasca panic selling
A A A
Sindonews.com - Penyesalan selalu datang kemudian, apa pun peristiwanya. Begitu juga dalam hal investasi saham di bursa.Sering kali terjadi,ketika investor memutuskan menjual saham atau portofolionya di pasar, tidak lama setelah itu harga saham malah naik.

Jika kenaikannya hanya satu atau dua poin saja,mungkin masih bisa diterima. Namun, jika kenaikannya material sampai 10 persen atau lebih misalnya, hal seperti ini kerap menimbulkan rasa sesal yang berkepanjangan dalam diri investor. Fenomena di atas hanyalah sebuah gambaran dari fakta yang sering terjadi di pasar.

Investor terkadang kurang bersabar dalam menghadapi situasi yang cepat berubah, sehingga keputusan untuk menjual portofolio kadang-kadang dibuat terlalu cepat. Investor yang memutuskan untuk menjual terlalu cepat biasanya dilatarbelakangi oleh tiga hal.

Pertama, untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Dalam strategi investasi saham dikenal satu istilah, yakni stop loss. Artinya, investor membuat kebijakan untuk membatasi kerugian yang ia derita akibat turunnya harga saham. Misalnya investor memutuskan untuk menerapkan stop loss sebesar lima persen.

Dengan demikian, apa pun yang terjadi, jika harga saham sudah turun 5 persen maka saham tersebut harus dijual. Tujuannya itu tadi, yaitu untuk membatasi kerugian agar tidak lebih dari 5 persen. Dengan kebijakan ini, jika harga saham turun di atas lima persen,maka kerugian investor hanya sebesar 5 persen.

Kedua, sebuah sikap investasi yang kira-kira bunyinya begini: ”Daripada menderita rugi––sekecilapapun,lebih baik mendapatkan untung–meskipun hanya satu poin. Sikap seperti ini membuat investor harus cepat. Dulu, ketika fraksi harga masih seragam, yaitu Rp25––ada istilah jibur (jigo kabur). Artinya, lebih baik jual meski harga saham hanya naik sebesar satu poin (Rp25), yang penting kenaikan satu poin itu sudah memberikan keuntungan. Akibat sikap seperti itu, investor dituntut untuk membuat keputusan cepat apakah akan mempertahankan atau menjual sahamnya.

Ketiga, segera merealisasikan keuntungan yang berada di depan mata. Ilustrasinya begini. Investor X membeli saham ABCD di harga Rp2.000 sebanyak 200 lot. Investor X menargetkan gain sebesar 10 persen. Dalam beberapa hari kemudian, ternyata harga saham ABCD memang naik hingga lima persen menjadi Rp2.100. Namun, setelah kenaikan yang lima persen itu, harga saham ABCD tidak bergerak lagi. Saham bolak-balik diperjualbelikan di harga Rp2.100.

Melihat kondisi seperti ini, investor X berubah pikiran dan memutuskan untuk menjual saja sahamnya di harga Rp2.100, sehingga ia hanya menikmati keuntungan sebesar lima persen. Tapi selang beberapa hari kemudian, harga saham ABCD ternyata naik kembali hingga mencapai Rp2.200. Bahkan, sahamnya menjadi lebih likuid. Di sinilah lantas timbul penyesalan dalam diri investor. Pengalaman yang terjadi pada Semester II 2008 membuktikan hal itu. Saat itu terjadi panic selling yang luar biasa.

Investor–baik institusi maupun individu, baik asing maupun lokal–membanjiri pasar dengan order jual secara besar-besaran. Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) terkoreksi tajam hingga mencapai titik terendah 1.111. Panic selling yang terjadi saat itu bersifat masif, terjadi hampir pada seluruh saham unggulan. Bayangkan saja, sebuah saham unggulan yang pernah ditransaksikan pada harga Rp8.000, akibat panic selling harganya rontok hingga menyentuh Rp500.

Banyak investor yang kemudian menyesal mengapa harus menjual saham pada harga yang sangat murah. Penyesalan seperti ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua orang saja, tetapi pada hampir semua pelaku pasar. Penyesalan semakin menjadi manakala pasar sudah kembali stabil dan harga saham unggulan tadi rebound. Hampir semua saham unggulan mengalami nasib serupa. Koreksi tajam yang terjadi ketika panic selling naik secara cepat ketika pasar kembali stabil.

Tetap Tenang


Apa yang memicu terjadinya panic selling? Untuk menelusurinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Panic selling terjadi begitu saja akibat beredarnya informasi negatif di pasar.Panic sellingterjadi karena mayoritas investor dalam kondisi panik dan logika tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Investor tidak berpikir secara jernih,tenang dan logis. Keputusan untuk menjual portofolio dalam jumlah besar dilatarbelakangi oleh rasa takut yang berlebihan.

Dalam kondisi seperti ini, faktor emosi sangat dominan. Investor yang terlibat dalam panic selling hampir bisa dipastikan mengabaikan pertimbangan fundamental. Investor yang semula tenang dan berpikir jernih bisa goyah dan ikut-ikutan panik menjual portofolionya. Panic selling semakin menjadi jika pelaku menyaksikan fund manager besar membanjiri pasar dengan order jual yang berlimpah. Praktis, kondisi panic selling sulit dicegah dan ditangkal karena pelakunya adalah komunitas investor yang berada di mana-mana.

Menyaksikan pengalaman panic selling yang telah terjadi beberapa kali di pasar, investor– terutama ritel atau individu– tentu perlu belajar banyak. Panic selling yang sudah terjadi merupakan pengalaman yang sangat berharga. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk menyikapi panic selling adalah menjaga emosi agar tetap tenang dan menggunakan akal sehat. Jika nalar investor tenang, maka ia akan melihat bahwa di balik panic selling itu terdapat peluang untuk mendapatkan keuntungan dalam jumlah besar.

Dengan pengalaman yang sudah-sudah, investor harusnya paham agar tidak menjadi pengekor tanpa memperhatikan kondisi fundamental ketika terjadi panic selling. Ketimbang panik, apabila diyakini secara fundamental baik, investor bisa membeli saham pada harga murah dan tinggal menunggu gain ketika pasar berbalik arah atau recover. Bagi investor yang tenang dan tetap berpegang pada kitab fundamental, panic selling sebenarnya merupakan peluang bagus untuk mendapatkan rezeki.

Tim BEI
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6073 seconds (0.1#10.140)