Distribusi BBM bersubsidi ruwet
A
A
A
Sindonews.com – Pola distribusi hingga penggunaan BBM dan LPG bersubsidi jatah warga Kepulauan Karimunjawa masuk wilayah Kabupaten Jepara berjalan semrawut dan tidak tepat sasaran.
Akibatnya barang bersubsidi ini justru malah lebih banyak dinikmati pihak-pihak yang tidak masuk kategori mendapat jatah BBM dan LPG ”murah” ini. Sales Area Manager PT Pertamina (Persero) Unit Pemasaran IV Jateng-DIY, Ibnu Khaldun, mengakui ruwetnya pola distribusi hingga penggunaan BBM dan LPG bersubsidi jatah warga Karimunjawa.
Menurut Ibnu, pihaknya menemukan masih banyak BBM dan LPG bersubsidi yang digunakan oleh masyarakat yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi. Barang bersubsidi, kata Ibnu mestinya hanya boleh dinikmati kalangan rumah tangga, nelayan dan usaha kecil. Namun pada praktiknya kalangan pengusaha hotel, resort atau pembangkit listrik di Karimunjawa juga menggunakan barang bersubsidi tersebut. ”Mereka ini seharusnya menggunakan BBM nonsubsidi,”kata Ibnu kemarin.
Pola distribusi yang tidak tepat ini,kata Ibnu akan merugikan masyarakat,karena akan terjadi disparitas harga yang sangat tinggi antara Jepara dengan Karimunjawa. Jika masyarakat Jepara bisa menikmati premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp4.500 per liter, namun warga Karimunjawa harus membayar Rp6.000 sampai Rp7.000 per liter. Hal yang sama juga terjadi untuk LPG 3 kg.Jika di Jepara harganya berkisar Rp14.500 namun di Karimunjawa menjadi lebih dari Rp21.000.
”Jadi harganya melambung. Harga ini akan membebani masyarakat terlebih nelayan, karena biaya operasional melaut menjadi lebih tinggi,”jelasnya. Menurut Ibnu, keruwetan ini bermula dari cara pengangkutan BBM dan LPG bersubsidi dari Jepara menuju Karimunjawa. Praktik yang dilakukan ternyata menyalahi prosedur. Menurut regulasi, pengangkutan BBM tidak boleh dilakukan dengan perahu-perahu nelayan, tetapi harus dengan alat angkut yang ditetapkan Pertamina.Yakni dengan kapal tanker atau kapal tongkang.
”Tapi jatah Karimunjawa ternyata tidak sesuai aturan yang ada.Kapal nelayan tidak diperbolehkan untuk mengangkut premium, solar maupun LPG. Pola seperti ini harus dibenahi karena sangat berbahaya,” terangnya. Ibnu berjanji akan membenahi persoalan ini. Setidaknya ada tiga tahap yang harus dilakukan agar distribusi BBM dan LPG bersubsidi jatah Karimunjawa tepat sasaran sesuai ketentuan yang ada.
”Nanti Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) yang berada di dekat Pelabuhan Karimunjawa akan dihidupkan kembali. Selain itu, SPBU dan SPBN akan kita bangun.Selain itu sistem pengangkutan BBM dengan menggunakan kapal tanker atau tongkang. Setelah itu pada tahap jangka panjang akan dibangun storage atau tangki penimbunan BBM di Karimunjawa,” jelasnya.
Camat Karimunjawa, Nuryanto mengatakan pihaknya berada dalam posisi dilematis terkait persoalan ini. Sebab di satu sisi ketergantungan warga Karimunjawa terhadap BBM sangat tinggi dan semakin meningkat dari waktu ke waktu.Namun di sisi lain sarana dan prasarananya kurang memadai.
”Jika BBM tidak diangkut dengan kapal nelayan,maka nelayan tidak bisa melaut,listrik disini juga padam. Akhirnya ekonomi masyarakat akan terpuruk.Tapi di sisi yang lain sarana dan prasarananya tidak ada,”ucapnya.
Diungkapkan Nuryanto,kebutuhan BBM jenis premium di Karimunjawa rata-rata 59 ribu liter setiap bulan, sedang solar 144 ribu liter.Kebutuhan ini dipasok pengecer dari Jepara dengan menggunakan kapal-kapal nelayan. ”Kami berharap Pertamina bisa mencari solusi terbaik terkait permasalahan ini,”harapnya.
Akibatnya barang bersubsidi ini justru malah lebih banyak dinikmati pihak-pihak yang tidak masuk kategori mendapat jatah BBM dan LPG ”murah” ini. Sales Area Manager PT Pertamina (Persero) Unit Pemasaran IV Jateng-DIY, Ibnu Khaldun, mengakui ruwetnya pola distribusi hingga penggunaan BBM dan LPG bersubsidi jatah warga Karimunjawa.
Menurut Ibnu, pihaknya menemukan masih banyak BBM dan LPG bersubsidi yang digunakan oleh masyarakat yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi. Barang bersubsidi, kata Ibnu mestinya hanya boleh dinikmati kalangan rumah tangga, nelayan dan usaha kecil. Namun pada praktiknya kalangan pengusaha hotel, resort atau pembangkit listrik di Karimunjawa juga menggunakan barang bersubsidi tersebut. ”Mereka ini seharusnya menggunakan BBM nonsubsidi,”kata Ibnu kemarin.
Pola distribusi yang tidak tepat ini,kata Ibnu akan merugikan masyarakat,karena akan terjadi disparitas harga yang sangat tinggi antara Jepara dengan Karimunjawa. Jika masyarakat Jepara bisa menikmati premium dan solar bersubsidi dengan harga Rp4.500 per liter, namun warga Karimunjawa harus membayar Rp6.000 sampai Rp7.000 per liter. Hal yang sama juga terjadi untuk LPG 3 kg.Jika di Jepara harganya berkisar Rp14.500 namun di Karimunjawa menjadi lebih dari Rp21.000.
”Jadi harganya melambung. Harga ini akan membebani masyarakat terlebih nelayan, karena biaya operasional melaut menjadi lebih tinggi,”jelasnya. Menurut Ibnu, keruwetan ini bermula dari cara pengangkutan BBM dan LPG bersubsidi dari Jepara menuju Karimunjawa. Praktik yang dilakukan ternyata menyalahi prosedur. Menurut regulasi, pengangkutan BBM tidak boleh dilakukan dengan perahu-perahu nelayan, tetapi harus dengan alat angkut yang ditetapkan Pertamina.Yakni dengan kapal tanker atau kapal tongkang.
”Tapi jatah Karimunjawa ternyata tidak sesuai aturan yang ada.Kapal nelayan tidak diperbolehkan untuk mengangkut premium, solar maupun LPG. Pola seperti ini harus dibenahi karena sangat berbahaya,” terangnya. Ibnu berjanji akan membenahi persoalan ini. Setidaknya ada tiga tahap yang harus dilakukan agar distribusi BBM dan LPG bersubsidi jatah Karimunjawa tepat sasaran sesuai ketentuan yang ada.
”Nanti Agen Penyalur Minyak Solar (APMS) yang berada di dekat Pelabuhan Karimunjawa akan dihidupkan kembali. Selain itu, SPBU dan SPBN akan kita bangun.Selain itu sistem pengangkutan BBM dengan menggunakan kapal tanker atau tongkang. Setelah itu pada tahap jangka panjang akan dibangun storage atau tangki penimbunan BBM di Karimunjawa,” jelasnya.
Camat Karimunjawa, Nuryanto mengatakan pihaknya berada dalam posisi dilematis terkait persoalan ini. Sebab di satu sisi ketergantungan warga Karimunjawa terhadap BBM sangat tinggi dan semakin meningkat dari waktu ke waktu.Namun di sisi lain sarana dan prasarananya kurang memadai.
”Jika BBM tidak diangkut dengan kapal nelayan,maka nelayan tidak bisa melaut,listrik disini juga padam. Akhirnya ekonomi masyarakat akan terpuruk.Tapi di sisi yang lain sarana dan prasarananya tidak ada,”ucapnya.
Diungkapkan Nuryanto,kebutuhan BBM jenis premium di Karimunjawa rata-rata 59 ribu liter setiap bulan, sedang solar 144 ribu liter.Kebutuhan ini dipasok pengecer dari Jepara dengan menggunakan kapal-kapal nelayan. ”Kami berharap Pertamina bisa mencari solusi terbaik terkait permasalahan ini,”harapnya.
()