Krisis Eropa & teori random walk

Rabu, 20 Juni 2012 - 09:39 WIB
Krisis Eropa & teori random walk
Krisis Eropa & teori random walk
A A A
Sindonews.com - Dalam satu bulan terakhir ini indikator perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) bergejolak, naik turun dengan arah tak menentu. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sudah mencetak rekor tertinggi di 4.224,18 pada 3 Mei – bahkan sempat menyentuh level 4.226,42 – merosot lagi akibat koreksi berkali-kali.

Setelah mengalami koreksi yang sangat tajam, perdagangan hari berikutnya IHSG mengalami rebound. Aksi beli yang cukup gencar oleh investor domestik mampu mengangkat IHSG hingga 63,3 poin atau 1,7 persen ke posisi 3.717,88. Aksi rebound semakin meyakinkan terjadi lagi pada perdagangan hari berikutnya-Rabu, 6 Juni– di mana IHSG terbang hingga 123,45 poin atau sebesar 3,21 persen dari posisi hari sebelumnya menjadi 3.841,33.

Sepenggal cerita di atas menunjukkan betapa dinamisnya pasar modal. Indeks bergerak di luar dugaan dengan faktor penyebab yang juga di luar perkiraan. Ketika IHSG terjungkal pada 4 Juni, faktor penyebabnya adalah bursabursa regional yang mayoritas mengalami tekanan. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya kepastian tentang perkembangan krisis yang terjadi di Eropa, terutama Yunani.

Lebihlebih krisis Eropa itu terjadi di saat perekonomian Amerika Serikat–sebagai negara adidaya– sedang berjalan lambat. Sebagai pasar yang telah menyatu dengan pasar regional dan dunia, dinamika perdagangan di BEI tidak bisa terlepas begitu saja dengan kondisi pasar global.Apa yang terjadi di pasar dunia akan terasa di BEI.

Ketika terjadi krisis keuangan global yang biang keladinya terpusat di Amerika Serikat, BEI pun terkena imbasnya. Kini, di saat ekonomi Negeri Paman Sam masih belum sehat betul, perekonomian Eropa dilanda krisis. Dampaknya sudah pasti merembet ke bursa lain di dunia termasuk In-donesia. Selama persoalan di kawasan Eropa belum tuntas, maka pelaku pasar tetap diliputi oleh perasaan galau, waswas, dan ragu.

Selama negara- negara Eropa yang terjangkit krisis belum menemukan resep manjur untuk menyembuhkan penyakitnya, maka selama itu pula IHSG di BEI bergerak tidak stabil, naik turun. Bisa turun tajam dan bisa juga naik tajam. Bagi sebagian pelaku pasar–terutama mereka yang masih menyimpan dana segar–situasi naik turunnya IHSG itu merupakan hal yang patut disyukuri. Alasannya, dengan turunnya IHSG, otomatis harga-harga saham unggulan di pasar juga mengalami penurunan.

Artinya, dengan turunnya harga saham, investor bisa membeli saham-saham favoritnya pada harga yang lebih murah. Hal yang jadi pertanyaan, kapan investor harus masuk pasar dan membeli saham favorit yang sudah terkoreksi tadi? Apakah harga yang terbentuk saat ini tidak akan terkoreksi lagi? Siapa yang bisa menjamin bahwa harga itu tidak akan turun lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah untuk dijawab karena sangat subjektif.

Siapa yang bisa menebak arah pasar esok hari secara tepat? Mungkin ada beberapa analis yang yakin bisa menebak prospek pasar. Optimisme seperti itu boleh saja tumbuh di setiap kepala mereka yang yakin bisa membaca arah pasar.Tapi yakinlah, prediksi yang bersifat harian seperti itu hanya sebatas pasar naik atau turun. Mengenai besaran kenaikan dan penurunan tersebut sulit untuk memastikannya.

Jika ada orang yang mampu membaca dan memprediksi arah pasar secara akurat, maka ia dipastikan akan menjadi orang terkaya di dunia karena bisa menikmati gain setiap hari, baik di saat pasar sedang naik maupun di saat pasar turun. Agar investor tidak merasa waswas, sebaiknya ia kembali ke aspek fundamental. Simak historical price-nya.

Berapa harga tertinggi yang pernah dicapai? Berapa harga saat ini? Seberapa besar penurunan yang sudah terjadi? Berapa price earning ratio (PER) saham d e n g a n harga terkini? Semua itu bisa dihitung. Selanjutnya terserah pada investor apakah baginya harga yang sudah terkoreksi itu sudah cukup rendah (over sold).

Teori Random Walk


Jika investor atau pelaku pasar masih ragu untuk melakukan buy back dan masuk ke pasar, ada satu teori investasi yang bisa membantu meyakinkan investor dalam mengambil sikap. Dalam literatur, teori ini dikenal dengan istilah random walk. Inti dari teori yang disampaikan oleh Burton G Malkiel pada 1973 itu menyebutkan bahwa investor akan lebih untung jika membeli saham untuk jangka panjang.

Karena orientasinya jangka panjang, investor terhindar dari risiko fluktuasi harga jangka pendek yang sulit dibaca. Melalui teori ini,pengajar Universitas Princeton itu menganjurkan agar investor tidak risau dengan naik turunnya harga saham dalam jangka pendek. Teori ini mengajarkan bahwa harga saham di masa lalu serta arah harga saham atau pasar secara keseluruhan tidak bisa dipakai sebagai alat untuk memprediksi pergerakan harga saham di masa mendatang.

Alasannya, harga saham bergerak secara acak (random) dan tak bisa diprediksi.Peluangnya untuk naik sama dengan peluangnya untuk turun. Tapi, dalam jangka panjang, harga saham akan cenderung meningkat. Penganut Random Walk yakin bahwa investor tak mungkin menebak arah harga dengan tepat.Menurut Malkiel,membeli saham dan menyimpannya dalam jangka panjang adalah strategi paling tepat dan jangan sekali-kali mencoba untuk mengalahkan pasar. Sayangnya, teori ini sedikit naif.

Karena orientasi jangka panjang tadi, ia mengabaikan peran analisis fundamental maupun teknikal. Padahal, teori investasi modern kini selalu menggunakan faktor fundamental maupun teknikal sebagai alat untuk mengambil keputusan investasi. Untuk Anda, akan lebih bagus jika mengombinasikan Teori Random Walk dengan Teori Fundamental sehingga Anda tidak terlalu risau dengan pasar yang bergejolak sesaat.

Tim BEI
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4377 seconds (0.1#10.140)