DKP pusat miskinkan jutaan keluarga nelayan

Jum'at, 22 Juni 2012 - 09:44 WIB
DKP pusat miskinkan...
DKP pusat miskinkan jutaan keluarga nelayan
A A A
Sindonews.com – Terbitnya Surat edaran pengoperasian PSPK di WPP-NR 572 dan 573 tertanggal 03 Mei 2012 oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pusat, diprediksi bakal ‘memiskinkan’ jutaan keluarga nelayan yang terkena dampak dari surat tersebut.

Dalam surat edaran yang ditandatangani langsung oleh Heriyanto Marwoto tersebut ditegaskan bahwa kapal perikanan berukuran 30GT keatas mulai 1 Februari 2013 dilarang dioperasikan di WPP-NRI 572 (Samudera Hindia Barat Sumatera dan Selat Sunda) dan di WPP – NRI 573 (Samudera Hindia Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor Bagian Barat).

Surat edaran itu sendiri merujuk peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.02/MEN/2011 tanggal 31 Januari 2011 dan Perubahannya No. PER.08/MEN/2011 tanggal 11 Maret 2011 serta No. PER.05/MEN/2012 tanggal 9 Februari 2012.

Ketua Pelaksana Assosiasi Pengusaha Pukat Cincin (APPC) Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) Kastamansyah Hutabarat mengatakan sektor perikanan tangkap khususnya kapal yang memakai alat penangkapan ikan (API) pukat cincin pelagis kecil adalah merupakan sumber perekonomian masyarakat yang melibatkan banyak orang terkait.

Bahkan, memiliki mata rantai perekonomian yang sangat luas atau memberikan efek berganda kepada kegiatan perekonomian lainnya seperti perdagangan, jasa, transportasi, industri dan terbukanya lapangan kerja seluas–luasnya bagi masyarakat Indonesia pada gilirannya bermuara pada perekonomian di masing–masing daerah. Selanjutnya menjadi indikator perekonomian masyarakat, bangsa dan Negara secara menyeluruh.

Dikatakan, bila diperhitungkan secara riil, setiap kapal pukat cincin pelagis kecil memiliki Anak Buah Kapal (ABK) rata–rata 40 orang dengan memiliki tanggungan satu istri dan dua anak. Bila dikalikan tiga menjadi 120 orang tanggungan setiap kapal. Demikian peluang pekerjaan terbuka bila hasil tangkapan dibawa ke tangkahan.

Minimal sebanyak 50 orang akan terlibat mulai dari buruh bongkar muat ikan, pemilih ikan, tukang sorong dan peng-es-ikan. Bila jumlah tanggungan pekerja ditangkahan sama ditambah jumlah tanggungan ABK kapal dikalikan sebanyak 500 kapal pukat cincin, maka jumlah yang terkait secara riil mencapai ratusan ribu orang.

“Artinya, bila pemerintah tetap harus memaksakan peraturan tersebut, maka yang akan terjadi adalah kondisi seperti itu dimana para pengusaha/pemilik kapal perikanan di daerah akan banyak yang colaps atau minimal mandah/pindah ke daerah lain,” tutur Kastamansyah kepada SINDO, Kamis (21/6) di Sekretariat APPC Sibolga/Tapteng di jalan Imam Bonjol kota Sibolga.

Dia mengakui, pihaknya telah melayangkan surat permohonan pertimbangan kebijakan tersebut ke Menteri DKP dan Dirjend Perikanan Tangkap Kementerian KP di Jakarta pada 18 Juni 2012. Bahkan surat tersebut mereka tembuskan ke Presiden RI, Ketua MPR RI, Ketua dan Anggota DPR RI serta Wali Kota Sibolga, Bupati Tapteng, Anggota DPRD Sibolga dan Tapteng serta Dewan Kelautan Indonesia di Jakarta.

“Pasalnya, selain akibat kondisi pelemahan ekonomi daerah tersebut, kita juga melihat, kebijakan tersebut tidak mencerminkan pasal 27 dan 33 UUD 1945 tentang hajat hidup orang banyak,”beber Kastamansyah Hutabarat.

Terkait surat tersebut, APPC Sibolga/Tapteng ungkap Kastamansyah, tidak mengetahui apa alasan pemerintah melarang pemakaian alat tangkap pelagis kecil dan diwajibkan menggantinya dengan alat tangkap pelagis besar. Padahal alat tangkap pelagis kecil tersebut, merupakan alat tangkap ramah lingkungan serta menguntungkan banyak orang. “Pemerintah seharusnya peka melihat ini dan jangan karena kepentingan pajak dan orang luar, masyarakat Indonesia menjadi korban,” tukasnya.

Untuk itu, dia berharap kepada pemerintah daerah masing–masing yang terkena dampak peraturan menteri Keluatan dan Perikanan khususnya pemerintah kota (Pemko) Sibolga dan Pemkab Tapteng juga tidak diam dalam permasalahan ini tetapi ikut berempati mendorong penolakan surat menteri tersebut. Karena, surat tersebut muaranya dapat menimbulkan konflik horizontal dengan nelayan kecil.

“Konflik Horizontal yang terjadi, bilamana pemilik kapal yang tidak memiliki modal mengganti pemakaian alat tangkap tersebut, namun menggantinya dengan alat tangkap yang dapat bersentuhan langsung dengan nelayan tradisionil/kecil. Tapi, terlepas dari itu, yang lebih parah sebenarnya, bila pemilik kapal karena ketidakmampuannya itu akhirnya colaps. Sehingga yang terjadi akan menimbulkan dampak pengangguran, kemiskinan dan efek ganda perekonomian,” tukasnya.

Tokoh Perikanan sekaligus pelaku perikanan, Rustam E Simatupang sembari menyesalkan terbitnya kebijakan baru tersebut mengaku tidak habis pikir kenapa pemerintah pusat dalam hal ini DKP pusat dalam penerbitan peraturan seolah–olah tidak mau tahu dengan hajat hidup orang banyak sesuai yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut.

“Sejak lahirnya DKP, hari demi hari, kami para pelaku perikanan seperti diperas dan diancam. Buktinya, belum lagi selesai peraturan satu, sudah terbit peraturan lain mulai itu dari kewajiban kepengurusan SIP, ANKAPIN, PMS dan kewajiban sekarang yang mengharuskan kami mengurus pergantian surat izin alat tangkap. Sementara, beberapa kewajiban yang saya urus berbulan dan bertahun belum dapat dirampungkan DKP. Demikian pengenaan pajak terutang kepada setiap pengusaha yang telah dibayarkan ke kas Negara sebesar Rp14 juta tidak jelas juntrungnya seperti apa,” katanya.

Jadi ungkap Rustam, bila peraturan ini lagi diberlakukan, kapal – kapal perikanan mereka pastinya akan banyak tertambat (tidak beroperasi), atau minimal mandah/pindah ke daerah lain yang tidak terkena peraturan menteri DKP tersebut. Dan hal itu tentunya, akan mematikan perekonomian daerah tempat dimana kapal–kapal tersebut selama ini bersandar dan beroperasi.

“Oleh karena itu, kami sangat menyesalkan terbitnya peraturan itu dan meminta untuk dihapus. Soalnya, kebijakan itu sangat memberatkan para pengusaha di tengah–tengah hasil tangkap yang minim dan kondisi ekonomi masyarakat yang masih lemah,” tandasnya.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0583 seconds (0.1#10.140)