Biaya operasional bank tinggi, nasabah terbebani
A
A
A
Sindonews.com - Biaya operasional dan pengambilan margin industri perbankan di Indonesia dinilai masih terlalu tinggi. Imbasnya, suku bunga kredit di negara ini masih cukup tinggi, apabila dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan ASEAN.
Pengamat Perbankan dari Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad), Aldrin Herwani mengatakan, rasio biaya operasional perbankan di Indonesia masih terlalu tinggi (over head cosh). Kondisi tersebut menyebabkan tingginya biaya yang mesti diambil perbankan dari nasabah melalui kemanisme kredit dan layanan perbankan lainnya.
“Di Indonesia, dalam satu kantor cabang bisa merekrut sampai 50 tenaga kerja. Sementara di luar negeri, maksimal 15 orang. Ini kan menaikkan biaya operasional perbankan. Padahal, bisa lebih di evisienkan,” jelas Aldrin di Bandung, Senin (18/2/2013).
Belum lagi, lanjut dia, biaya operasional dari komponen lainnya yang juga cukup besar. Diakui dia, tingginya biaya operasional yang dibebankan perbankan terhadap nasabah, hanya salah satu dari beberapa komponen yang menyebabkan suku bunga kredit di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu cost of fund, margin, dan premi resiko.
Apabila dikalkulasikan, dari rata rata suku bunga kredit sebesar 12 persen, persentase kredit untuk premi resiko sebesar 2 persen. Sementara sisanya dari tiga komponen lainnya seperti cost of fund, margin, dan beban operasional.
Dari sisi margin, lanjut Aldrin, tingginya biaya operasional juga mengakibatkan perbankan mengambil margin dalam jumlah besar. Walaupun, menurut dia, sah-sah saja perbankan mengambil margin besar karena di Indonesia tidak ada regulasi yang menetapkan margin bagi perbankan. Tingginya margin industri perbankan, menyebabkan investor perbankan dari sejumlah negara berlomba-lomba datang ke Indonesia.
“Tidak heran, jika Indoensia menjadi negara yang menjanjikan bagi sektor perbankan. Banyak investor asing yang masuk ke Indonesia untuk menggarap sektor itu. Mereka tinggal mengakuisisi bank lokal, dan mendapatkan margin dalam jumlah besar," ujarnya.
Selain margin, faktor lain yang menyebabkan tingginya suku bunga kredit yaotu unsur premi risiko. Nilai suku bunga premi resiko yang dibebankan perbankan masih di angka 2 persen.
Angka itu, pandangan Aldrin, lebih tepat berlaku di negara-negara yang terkena krisis ekonomi, dengan resiko tinggi. Sementara di Indonesia, tingkat resiko kredit dari kondisi ekonomi kenegaraan sangat tipis. “Idealnya, premi risiko di Indonesia maksimal 1 persen. Sehingga, suku bunga kredit lebih ringan,” pungkas Aldrin.
Tinggimya suku bunga kredit, sangat berpengaruh terhadap pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Suku bunga kredit untuk sektor ini masih besar. Padahal, sektor UMKM menyokong serapan kredit terbesar di negara ini.
Agar suku bunga kredit UMKM turun, Aldrin menyarankan BI untuk menerbitkan regulasi khusus mengenai kredit sektor itu, termasuk dalam hal suku bunganya.
Pengamat Perbankan dari Laboratorium Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad), Aldrin Herwani mengatakan, rasio biaya operasional perbankan di Indonesia masih terlalu tinggi (over head cosh). Kondisi tersebut menyebabkan tingginya biaya yang mesti diambil perbankan dari nasabah melalui kemanisme kredit dan layanan perbankan lainnya.
“Di Indonesia, dalam satu kantor cabang bisa merekrut sampai 50 tenaga kerja. Sementara di luar negeri, maksimal 15 orang. Ini kan menaikkan biaya operasional perbankan. Padahal, bisa lebih di evisienkan,” jelas Aldrin di Bandung, Senin (18/2/2013).
Belum lagi, lanjut dia, biaya operasional dari komponen lainnya yang juga cukup besar. Diakui dia, tingginya biaya operasional yang dibebankan perbankan terhadap nasabah, hanya salah satu dari beberapa komponen yang menyebabkan suku bunga kredit di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu cost of fund, margin, dan premi resiko.
Apabila dikalkulasikan, dari rata rata suku bunga kredit sebesar 12 persen, persentase kredit untuk premi resiko sebesar 2 persen. Sementara sisanya dari tiga komponen lainnya seperti cost of fund, margin, dan beban operasional.
Dari sisi margin, lanjut Aldrin, tingginya biaya operasional juga mengakibatkan perbankan mengambil margin dalam jumlah besar. Walaupun, menurut dia, sah-sah saja perbankan mengambil margin besar karena di Indonesia tidak ada regulasi yang menetapkan margin bagi perbankan. Tingginya margin industri perbankan, menyebabkan investor perbankan dari sejumlah negara berlomba-lomba datang ke Indonesia.
“Tidak heran, jika Indoensia menjadi negara yang menjanjikan bagi sektor perbankan. Banyak investor asing yang masuk ke Indonesia untuk menggarap sektor itu. Mereka tinggal mengakuisisi bank lokal, dan mendapatkan margin dalam jumlah besar," ujarnya.
Selain margin, faktor lain yang menyebabkan tingginya suku bunga kredit yaotu unsur premi risiko. Nilai suku bunga premi resiko yang dibebankan perbankan masih di angka 2 persen.
Angka itu, pandangan Aldrin, lebih tepat berlaku di negara-negara yang terkena krisis ekonomi, dengan resiko tinggi. Sementara di Indonesia, tingkat resiko kredit dari kondisi ekonomi kenegaraan sangat tipis. “Idealnya, premi risiko di Indonesia maksimal 1 persen. Sehingga, suku bunga kredit lebih ringan,” pungkas Aldrin.
Tinggimya suku bunga kredit, sangat berpengaruh terhadap pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Suku bunga kredit untuk sektor ini masih besar. Padahal, sektor UMKM menyokong serapan kredit terbesar di negara ini.
Agar suku bunga kredit UMKM turun, Aldrin menyarankan BI untuk menerbitkan regulasi khusus mengenai kredit sektor itu, termasuk dalam hal suku bunganya.
(gpr)