Menyikapi perseteruan Bakrie Group-Rothschild

Kamis, 21 Februari 2013 - 10:19 WIB
Menyikapi perseteruan Bakrie Group-Rothschild
Menyikapi perseteruan Bakrie Group-Rothschild
A A A
Sindonews.com - Beberapa hari belakangan ini pasar modal diramaikan isu perseteruan antara Bakrie Group dan Rothschild, yang seperti akan memuncak pada rapat umum pemegang saham (RUPS) Bumi Plc yang dijadwalkan 21 Februari 2013 (hari ini).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa RUPS adalah semacam sidang perceraian di mana masing-masing pihak yang berseteru mempunyai rencana tersendiri. Untuk menyegarkan ingatan kita, baiklah jika kita mengingat sekilas apa yang terjadi sejak 2010 terkait isu “kawin cerai” ini. Pada November 2010, Group Bakrie melakukan transaksi dengan Vallar Plc, sebuah perusahaan pertambangan asal Inggris.

Group Bakrie mengambil alih 90,1 juta saham Vallar Plc (43 persen) dan menukarnya dengan 5,2 miliar saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) di harga Rp2.500 per saham. Nilai dari transaksi itu sekitar Rp13 triliun, suatu angka yang cukup besar dalam aksi korporasi di pasar modal Indonesia. Transaksi ini diikuti oleh sejumlah transaksi lain sehingga terakhir terlihat bahwa pemegang saham dari Bumi Plc adalah Bakrie Group, PT Borneo Lumbung Energy (BORN), Recapital, Rothschild, dan publik.

Tersiar kabar bahwa Recapital telah menjual kepemilikan sahamnya kepada tiga pihak lain. Perseteruan dimulai ketika pada November 2011, Rothschild mengirim surat kepada Presiden Direktur Bumi Resources guna meminta penjelasan perseroan terkait empat hal.

Pertama, jadwal yang jelas mengenai monetisasi (pencairan tunai) dari aset-aset pengembangan bisnis. Kedua, repatriasi dari dana yang ditempatkan pada pihak yang berelasi, yaitu Recapital, Bukit Mutiara, dan Chateau Asean Fund I. Ketiga, penjelasan tertulis dari kemajuan proses dari poin nomor 2. Dan keempat, penjelasan lebih detail dan transparan terkait semua transaksi nonbatu bara yang dilakukan BUMI.

Intinya adalah Rothschild melihat semacam inefisiensi penggunaan dana perusahaan yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengurangi utang. Selanjutnya Bumi Plc melakukan investigasi terhadap Bumi Resources dan Berau Coal Energy terkait posisi keuangan mereka. Gerah dengan tindakan ini, Bakrie Group bermaksud untuk cerai dengan menarik kembali saham BUMI dan BRAU dari Bumi Plc.

Di sinilah kemudian babak kedua dari perseteruan berlanjut. Terkait dengan proses perceraian Bakrie-Rotschild yang sedang bergulir, perlu dilihat beberapa aspek dan sudut pandang yang mendasar. Pertama, kedudukan Bumi Plc sebagai perusahaan yang berbasis di London tentu harus mengikuti tata cara dan hukum yang berlaku di sana pula. Pihak regulator di Indonesia tidak berhak untuk mencampurinya.

Kedua, bahwa objek yang diperebutkan adalah perusahaan yang berbadan hukum dan beroperasi di Indonesia serta telah menjadi perusahaan publik. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum dan tata cara pengaturan perusahaan harus mengacu dan tunduk kepada hukum Indonesia. Di Indonesia paling tidak ada dua aturan yang harus dipenuhi, yakni aturan pasar modal mengenai penawaran tender atau yang lebih dikenal dengan tender offer, dan aturan yang terkait dengan sektor usaha.

Di sini yang perlu diperhatikan adalah peraturan menteri ESDM terkait kepemilikan asing di industri hulu dari pertambangan. Jika benar perceraian menimbulkan perubahan pemegang saham pengendali di BUMI dan BRAU, menurut aturan pasar modal wajib dilakukan tender offer terhadap saham publik yang ada. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mengganti manajemen dari Bumi Plc dapat diartikan sebagai pergantian pengendali jika tidak terjadi perubahan kepemilikan saham?

Dari sisi pasar modal, benarlah apa yang disampaikan kepala eksekutif pasar modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa perlu ditunggu hasil dari RUPS untuk disesuaikan dengan aturan pasar modal Indonesia. Permasalahan justru menjadi pelik jika terjadi tender offer. Setelah tender offer dapat dipastikan bahwa Bumi Plc akan menjadi penguasa tunggal dari Bumi Resources. Jika hal ini mengakibatkan kepemilikan di anak usaha, yaitu antara lain KPC dan Arutmin menjadi lebih dari 49 persen, maka ada aturan dari Kementerian ESDM yang dilanggar.

Di sini pemerintah tentunya mempunyai kewenangan untuk bertindak sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Jadi dapat dibayangkan bahwa RUPS Bumi Plc yang akan digelar bukan akhir dari sebuah perseteruan. Masalah masih akan berlanjut dan memakan tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Industri pasar modal menyadari betul kiprah Bakrie Group merintis bisnis pertambangan, dengan mengubah bisnis BUMI dari perusahaan publik di bidang perhotelan menjadi holding dari perusahaan tambang yang mempunyai anak usaha yang besar.

Di sisi lain, insan pasar modal tentunya mengikuti terus langkah-langkah rekayasa keuangan (financial engineering) dari Bakrie Group. Jauh di lubuk hati yang terdalam, kita tentu mengharapkan bahwa sebaiknya ada anak bangsa yang bisa sukses berusaha di negerinya sendiri. Langkah Bakrie Group untuk berusaha mempertahankan eksistensinya di Bumi Resources perlu diapresiasi. Hanya, diharapkan kali ini tidak dengan rekayasa keuangan yang rumit dan membingungkan serta harus dengan time table yang jelas.

Jika tidak terpenuhi maka konsekuensinya juga harus diterima. Akhirnya apapun hasil dari kasus perceraian ini, seharusnya positif buat Bumi Resources. Siapa pun yang mengendalikan pasti berusaha agar perusahaan ini dapat sehat dan maju.

EDWIN SINAGA
Pengamat Pasar Modal
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.7177 seconds (0.1#10.140)