Swasta tak serius, Proyek 10.000 MW terancam molor
A
A
A
Sindonews.com - PT PLN (Persero) ragu bahwa proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt (MW) tahap II, selesai tepat waktu. Pasalnya, banyak perusahaan swasta tidak serius mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Direktur Utama PLN, Nur Pamudji mengakui ada beberapa faktor penyebab ketidakseriusan perusahaan swasta membangun PLTP. Antara lain, dana yang harus dikeluarkan relatif besar. Untuk pengeboran sumber panas bumi saja, setidaknya pengembang harus menggelontorkan USD7 juta untuk melubangi satu sumur. "Jika ingin mendapatkan hasil, paling tidak ada tiga sumur yang harus dibor, atau sekitar USD21 juta, kalau tidak punya modal sulit mereakisasikan," katanya, saat ditemui di kantornya, Rabu (21/2/2013).
Selain itu, perencanaan yang kurang optimal juga dinilai sebagai faktor lain dari para pengembang menyelesaikan pembangunan PLTP secara tepat waktu. Apalagi, pengembangan proyek-proyek PLTP tingkat kesulitanya melebihi membangun pembangkit lain. "Seperti batubara misalanya, maupun gas," ujarnya.
Di samping itu, pembangunan proyek energi baru dan terbarukan juga memerlukan waktu penyelesaian yang lebih lama. Misalnya, pembangunan proyek pembangkit panas bumi membutuhkan waktu sekitar lima hingga tujuh tahun. "Jadi tenggang waktu pembangunan memang harus diperhitungkan," ucapnya.
Dia merinci, saat ini hanya sekitar 50 persen pengembang yang menunjukan keseriusannya membangun proyek-proyek tersebut. Sedangkan sisanya tidak ada aksi nyata dari para kontraktor pengemabang swasta, padahal keseriusan pengembang menjadi kunci proyek selesai sesuai target. "Pengembang swasta seharusnya sudah siap baik secara modal maupun perencanaan," tutur Pamudji.
Direktur Utama PLN, Nur Pamudji mengakui ada beberapa faktor penyebab ketidakseriusan perusahaan swasta membangun PLTP. Antara lain, dana yang harus dikeluarkan relatif besar. Untuk pengeboran sumber panas bumi saja, setidaknya pengembang harus menggelontorkan USD7 juta untuk melubangi satu sumur. "Jika ingin mendapatkan hasil, paling tidak ada tiga sumur yang harus dibor, atau sekitar USD21 juta, kalau tidak punya modal sulit mereakisasikan," katanya, saat ditemui di kantornya, Rabu (21/2/2013).
Selain itu, perencanaan yang kurang optimal juga dinilai sebagai faktor lain dari para pengembang menyelesaikan pembangunan PLTP secara tepat waktu. Apalagi, pengembangan proyek-proyek PLTP tingkat kesulitanya melebihi membangun pembangkit lain. "Seperti batubara misalanya, maupun gas," ujarnya.
Di samping itu, pembangunan proyek energi baru dan terbarukan juga memerlukan waktu penyelesaian yang lebih lama. Misalnya, pembangunan proyek pembangkit panas bumi membutuhkan waktu sekitar lima hingga tujuh tahun. "Jadi tenggang waktu pembangunan memang harus diperhitungkan," ucapnya.
Dia merinci, saat ini hanya sekitar 50 persen pengembang yang menunjukan keseriusannya membangun proyek-proyek tersebut. Sedangkan sisanya tidak ada aksi nyata dari para kontraktor pengemabang swasta, padahal keseriusan pengembang menjadi kunci proyek selesai sesuai target. "Pengembang swasta seharusnya sudah siap baik secara modal maupun perencanaan," tutur Pamudji.
(izz)