Biaya transportasi berpotensi naik 30%
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldi Masita mengatakan, dalam praktik di lapangan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi terjadi untuk semua jenis kendaraan truk.
"Padahal, berdasarkan Permen ESDM No 1/2013, yang dibatasi hanya truk roda empat ke atas yang beroperasi untuk kegiatan perkebunan, kehutanan, dan tambang," katanya dalam keterangan tertulis kepada Sindonews, Jumat (15/3/2013).
Pihaknya mengaku, telah menerima lebih dari 10 laporan dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kebijakan yang tidak tepat tersebut berpotensi meningkatkan biaya transportasi hingga 30 persen. "Dan tentunya berdampak terhadap kenaikan biaya logistik sebesar 20 persen," ujarnya.
Saat ini, kata dia, biaya logistik nasional mencapai 27 persen terhadap PDB dan 14 persen terhadap penjualan. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Pemerintah menargetkan dapat menurunkan menjadi 10 persen sebelum implementasi integrasi pasar Asean 2015.
Sementara, Ketua Komite Tetap Bidang Sumber Daya Manusia dan Regulasi Logistik Kadin Indonesia, Akbar Djohan menyoroti penerapan regulasi pembatasan BBM bersubsidi untuk angkutan barang jenis truk ini tidak dibarengi dengan penyiapan infrastruktur SPBU.
Hingga kini, kata dia, infrastruktur SPBU yang mengalokasikan BBM solar non subsidi sangat terbatas, terutama di beberapa daerah. "Situasi ini telah mengganggu kelancaran operasional dan distribusi logistik. Seharusnya infrastruktur disiapkan sebelum aturan dilaksanakan," kata Akbar.
Menurutnya, sejauh ini pelaku usaha tidak mempersoalkan pembatasan BBM bersubsidi untuk truk. Namun, harus transparan dan tanpa diskriminasi. Saat ini, masih terjadi diskriminasi, sehingga memunculkan grey area yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
"Padahal, berdasarkan Permen ESDM No 1/2013, yang dibatasi hanya truk roda empat ke atas yang beroperasi untuk kegiatan perkebunan, kehutanan, dan tambang," katanya dalam keterangan tertulis kepada Sindonews, Jumat (15/3/2013).
Pihaknya mengaku, telah menerima lebih dari 10 laporan dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Kebijakan yang tidak tepat tersebut berpotensi meningkatkan biaya transportasi hingga 30 persen. "Dan tentunya berdampak terhadap kenaikan biaya logistik sebesar 20 persen," ujarnya.
Saat ini, kata dia, biaya logistik nasional mencapai 27 persen terhadap PDB dan 14 persen terhadap penjualan. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Pemerintah menargetkan dapat menurunkan menjadi 10 persen sebelum implementasi integrasi pasar Asean 2015.
Sementara, Ketua Komite Tetap Bidang Sumber Daya Manusia dan Regulasi Logistik Kadin Indonesia, Akbar Djohan menyoroti penerapan regulasi pembatasan BBM bersubsidi untuk angkutan barang jenis truk ini tidak dibarengi dengan penyiapan infrastruktur SPBU.
Hingga kini, kata dia, infrastruktur SPBU yang mengalokasikan BBM solar non subsidi sangat terbatas, terutama di beberapa daerah. "Situasi ini telah mengganggu kelancaran operasional dan distribusi logistik. Seharusnya infrastruktur disiapkan sebelum aturan dilaksanakan," kata Akbar.
Menurutnya, sejauh ini pelaku usaha tidak mempersoalkan pembatasan BBM bersubsidi untuk truk. Namun, harus transparan dan tanpa diskriminasi. Saat ini, masih terjadi diskriminasi, sehingga memunculkan grey area yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan.
(izz)