Pemerintah diminta waspada tekanan fundamental makroekonomi
A
A
A
Sindonews.com - Wakil Ketua DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan, Mohammad Sohibul Iman meminta pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk waspada dengan hal-hal yang menekan fundamental makroekonomi.
“Fundamental makroekonomi kita akhir-akhir ini terlihat tertekan. Saya minta pemerintah lebih waspada mencermati dan mengantisipasi segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Saya berharap, tekanan-tekanan ini jangan sampai berkembang lebih lanjut dan menjadi pemicu terjadinya krisis yang tidak kita inginkan,” ujar Sohibul dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/4/2013).
Menurut politisi PKS ini, tekanan-tekanan ini bisa dilihat dari beberapa indikator penting makroekonomi. “Nilai tukar rupiah sepanjang 2012 melemah sekitar 6,7 persen, dan menjadi salah satu mata uang yang paling buruk performanya di kawasan Asia. Hingga saat ini, rupiah masih bertengger disekitar Rp9.700 per USD. Angka ini meleset dari target yang ditetapkan, yakni Rp9.300 per USD” ujarnya.
Sohibul menjelaskan, keseimbangan eksternal juga sangat tertekan. Di sepanjang 2012, untuk pertama kalinya sejak tahun 1961 mengalami defisit transaksi berjalan hingga mencapai USD24,2 miliar atau sekitar 2,7 persen dari PDB. Surplusnya neraca pembayaran 2012, karena transaksi berjalan masih tertolong derasnya arus modal yang masuk akibat ekses likuiditas negara-negara maju.
"Namun di 2013, defisit transaksi berjalan akan terus tertekan. Hal ini karena neraca perdagangan terus defisit. Kondisi ini akan mendorong neraca pembayaran kita di kuartal I/2013 menjadi defisit, mengingat arus modal yang masuk juga terus mengalami penurunan,” julasnya.
Menurut Doktor lulusan Japan Advanced Institute of Science and Technology ini, tekanan juga semakin menguat di sisi anggaran, inflasi dan utang swasta.
“Defisit anggaran kita terus meningkat seiring peningkatan konsumsi kuota subsidi BBM yang tidak terbendung. Jika tidak ada penyesuaian harga, kuota diperkirakan jebol hingga mencapai 49 juta kilo liter dan ini akan menekan fiscal sustainability kita.
Di sisi inflasi, tekanan sudah terlihat menguat. Inflasi periode Januari-Maret 2013 sudah mencapai 2,43 persen, angka ini jauh melampaui inflasi pada periode yang sama di 2012 dan 2011 yang masing-masing hanya mencapai 0,88 persen dan 0,7 persen.
"Utang swasta juga mengkhawatirkan, rasionya sudah mencapai sekitar 30 persen dari PDB, padahal utang pemerintah hanya sekitar 25 persen dari PDB,” tutupnya.
“Fundamental makroekonomi kita akhir-akhir ini terlihat tertekan. Saya minta pemerintah lebih waspada mencermati dan mengantisipasi segala kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Saya berharap, tekanan-tekanan ini jangan sampai berkembang lebih lanjut dan menjadi pemicu terjadinya krisis yang tidak kita inginkan,” ujar Sohibul dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/4/2013).
Menurut politisi PKS ini, tekanan-tekanan ini bisa dilihat dari beberapa indikator penting makroekonomi. “Nilai tukar rupiah sepanjang 2012 melemah sekitar 6,7 persen, dan menjadi salah satu mata uang yang paling buruk performanya di kawasan Asia. Hingga saat ini, rupiah masih bertengger disekitar Rp9.700 per USD. Angka ini meleset dari target yang ditetapkan, yakni Rp9.300 per USD” ujarnya.
Sohibul menjelaskan, keseimbangan eksternal juga sangat tertekan. Di sepanjang 2012, untuk pertama kalinya sejak tahun 1961 mengalami defisit transaksi berjalan hingga mencapai USD24,2 miliar atau sekitar 2,7 persen dari PDB. Surplusnya neraca pembayaran 2012, karena transaksi berjalan masih tertolong derasnya arus modal yang masuk akibat ekses likuiditas negara-negara maju.
"Namun di 2013, defisit transaksi berjalan akan terus tertekan. Hal ini karena neraca perdagangan terus defisit. Kondisi ini akan mendorong neraca pembayaran kita di kuartal I/2013 menjadi defisit, mengingat arus modal yang masuk juga terus mengalami penurunan,” julasnya.
Menurut Doktor lulusan Japan Advanced Institute of Science and Technology ini, tekanan juga semakin menguat di sisi anggaran, inflasi dan utang swasta.
“Defisit anggaran kita terus meningkat seiring peningkatan konsumsi kuota subsidi BBM yang tidak terbendung. Jika tidak ada penyesuaian harga, kuota diperkirakan jebol hingga mencapai 49 juta kilo liter dan ini akan menekan fiscal sustainability kita.
Di sisi inflasi, tekanan sudah terlihat menguat. Inflasi periode Januari-Maret 2013 sudah mencapai 2,43 persen, angka ini jauh melampaui inflasi pada periode yang sama di 2012 dan 2011 yang masing-masing hanya mencapai 0,88 persen dan 0,7 persen.
"Utang swasta juga mengkhawatirkan, rasionya sudah mencapai sekitar 30 persen dari PDB, padahal utang pemerintah hanya sekitar 25 persen dari PDB,” tutupnya.
(gpr)