Subsidi BBM terlalu besar, bisa menjadi 'racun'
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan menilai, masyarakat selama ini sudah terlalu 'dimanjakan' dengan berbagai subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Padahal, menurutnya, subsidi itu dalam jangka panjang akan menjadi racun.
Dia memberi contoh, di Nepal, dengan pendapatan per kapita USD500-USD600, justru tidak ada subsidi untuk bahan bakar minyak. Di sana, harga BBM sejenis premium Rp12.000 ribu/liter, solar Rp13.000/liter. Ia yakin, dengan pendapatan per kapita Indonesia USD3.800 masih bisa dijangkau dan bisnis pengusaha juga relatif tak terlalu terganggu.
"Minimal di Indonesia jangan terlalu besar subsidinya," kata Paulus, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Ia yakin kenaikan harga BBM tidak berdampak serius terhadap industri. Malahan, pengurangan subsidi itu akan lebih baik dialihkan untuk mendukung energi alternatif seperti biofuel.
"Saya kira kenaikan BBM tidak terlalu berdampak, pasti positif. Subsidi pemerintah berkurang dan dana itu bisa untuk energi terbarukan, termasuk biofuel," ujar dia.
Paulus meminta, dana subsidi yang dialihkan dari minyak itu kemudian bisa dipakai untuk menambah dana riset para pengusaha. "Bisa untuk riset atau yang lain dari dana subsidi," kata dia.
Ia kembali mengingatkan, jika subsidi terlalu besar, akan jadi racun dalam jangka panjang. "Kalau terlalu besar kan racun dalam masyarakat. Tidak bagus," ujar Paulus.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi menegaskan, penaikan BBM dilakukan untuk menyehatkan postur APBN yang sudah terlalu besar dengan beban subsidi.
Menurut dia, subsidi BBM saat ini sudah tidak sehat lagi sehingga harus dikurangi. Dia menegaskan, subsidi dari pemerintah akan tetap ada tapi dialihkan ke sektor yang lebih produktif.
“Pemerintah ingin membentuk postur ABPN yang ideal. Subsidi sekarang, rata-rata 20 persen, itu sudah tidak sehat terhadap postur APBN," katanya.
Dia memberi contoh, di Nepal, dengan pendapatan per kapita USD500-USD600, justru tidak ada subsidi untuk bahan bakar minyak. Di sana, harga BBM sejenis premium Rp12.000 ribu/liter, solar Rp13.000/liter. Ia yakin, dengan pendapatan per kapita Indonesia USD3.800 masih bisa dijangkau dan bisnis pengusaha juga relatif tak terlalu terganggu.
"Minimal di Indonesia jangan terlalu besar subsidinya," kata Paulus, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (4/6/2013).
Ia yakin kenaikan harga BBM tidak berdampak serius terhadap industri. Malahan, pengurangan subsidi itu akan lebih baik dialihkan untuk mendukung energi alternatif seperti biofuel.
"Saya kira kenaikan BBM tidak terlalu berdampak, pasti positif. Subsidi pemerintah berkurang dan dana itu bisa untuk energi terbarukan, termasuk biofuel," ujar dia.
Paulus meminta, dana subsidi yang dialihkan dari minyak itu kemudian bisa dipakai untuk menambah dana riset para pengusaha. "Bisa untuk riset atau yang lain dari dana subsidi," kata dia.
Ia kembali mengingatkan, jika subsidi terlalu besar, akan jadi racun dalam jangka panjang. "Kalau terlalu besar kan racun dalam masyarakat. Tidak bagus," ujar Paulus.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Achsanul Qosasi menegaskan, penaikan BBM dilakukan untuk menyehatkan postur APBN yang sudah terlalu besar dengan beban subsidi.
Menurut dia, subsidi BBM saat ini sudah tidak sehat lagi sehingga harus dikurangi. Dia menegaskan, subsidi dari pemerintah akan tetap ada tapi dialihkan ke sektor yang lebih produktif.
“Pemerintah ingin membentuk postur ABPN yang ideal. Subsidi sekarang, rata-rata 20 persen, itu sudah tidak sehat terhadap postur APBN," katanya.
(gpr)