Larang impor batu bara Indonesia, China akan rugi
A
A
A
Sindonews.com - Tiga perusahaan tambang terbesar di Indonesia menilai China tidak mungkin menerapkan usulan larangan impor batu bara berkualitas rendah. Hal tersebut menanggapi rencana Administrasi Energi Nasional (NEA) China untuk menghentikan pembelian batu bara dengan nilai kalor rendah dan sulfur tinggi dalam upaya mengurangi kadar abu (polusi).
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (5/6/2013), mengutip percakapan pejabat dari PT Harum Energy (HRUM), PT Permata Energy Resources dan PT Adimitra Baratama Nusantara dengan pelanggan tak dikenal dari China, mereka mengkhawatirkan biaya akan meningkat.
Menurut asosiasi pertambangan batu bara Asia Tenggara, sebanyak 10 persen dari produksi batu bara tahunan Indonesia terancam oleh aturan tersebut. Sebagai pengekspor terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan nilai yang lebih murah dengan kalori lebih rendah dibanding pengiriman dari negara-negara lain, seperti Australia (eksportir terbesar kedua).
China, konsumen terbesar Indonesia, memadukan bahan bakar dengan persediaan kelas yang lebih tinggi untuk mengurangi biaya. "Kami telah berbicara dengan beberapa pembeli yang mengatakan jika larangan itu diberlakukan akan membuat industri mereka tidak kompetitif," kata Aris Munandar, wakil presiden Permata Energy, yang mengoperasikan dua tambang batu bara di pulau Sumatera dalam konferensi Coaltrans di Bali.
"Saya tidak berpikir larangan itu akan dilaksanakan karena industri batu bara masih dalam konsolidasi. Ini akan sangat sulit jika ada pembatasan seperti itu," tegasnya.
China kemungkinan akan melarang pembelian batu bara dengan nilai kalor rendah sekitar 4.540 kilokalori per kilogram, kandungan sulfur di atas 1 persen dan abu di atas 25 persen.
Harga referensi Indonesia untuk bahan bakar dengan 4.200 kilokalori per kilogram berada di angka USD45,98 per metrik ton pada Mei. Batubara termal dengan nilai kalor 5.500 kilokalori per kilogram di Qinhuangdao, kelas patokan untuk China, jatuh terendah 600 yuan (USD97,91) sejak Oktober 2009 (data dari China Coal Transport & Distribution Association)
Sementara batu bara di pelabuhan Newcastle, Australia, yang memiliki nilai kalor lebih tinggi 6.000 kilokalori per kilogram, menetapkan harga untuk Asia di USD86,80 per ton pada 31 Mei (angka dari IHS McCloskey di Petersfield, Inggris).
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (5/6/2013), mengutip percakapan pejabat dari PT Harum Energy (HRUM), PT Permata Energy Resources dan PT Adimitra Baratama Nusantara dengan pelanggan tak dikenal dari China, mereka mengkhawatirkan biaya akan meningkat.
Menurut asosiasi pertambangan batu bara Asia Tenggara, sebanyak 10 persen dari produksi batu bara tahunan Indonesia terancam oleh aturan tersebut. Sebagai pengekspor terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan nilai yang lebih murah dengan kalori lebih rendah dibanding pengiriman dari negara-negara lain, seperti Australia (eksportir terbesar kedua).
China, konsumen terbesar Indonesia, memadukan bahan bakar dengan persediaan kelas yang lebih tinggi untuk mengurangi biaya. "Kami telah berbicara dengan beberapa pembeli yang mengatakan jika larangan itu diberlakukan akan membuat industri mereka tidak kompetitif," kata Aris Munandar, wakil presiden Permata Energy, yang mengoperasikan dua tambang batu bara di pulau Sumatera dalam konferensi Coaltrans di Bali.
"Saya tidak berpikir larangan itu akan dilaksanakan karena industri batu bara masih dalam konsolidasi. Ini akan sangat sulit jika ada pembatasan seperti itu," tegasnya.
China kemungkinan akan melarang pembelian batu bara dengan nilai kalor rendah sekitar 4.540 kilokalori per kilogram, kandungan sulfur di atas 1 persen dan abu di atas 25 persen.
Harga referensi Indonesia untuk bahan bakar dengan 4.200 kilokalori per kilogram berada di angka USD45,98 per metrik ton pada Mei. Batubara termal dengan nilai kalor 5.500 kilokalori per kilogram di Qinhuangdao, kelas patokan untuk China, jatuh terendah 600 yuan (USD97,91) sejak Oktober 2009 (data dari China Coal Transport & Distribution Association)
Sementara batu bara di pelabuhan Newcastle, Australia, yang memiliki nilai kalor lebih tinggi 6.000 kilokalori per kilogram, menetapkan harga untuk Asia di USD86,80 per ton pada 31 Mei (angka dari IHS McCloskey di Petersfield, Inggris).
(dmd)