Mengenang kembali sistem kurs tetap
A
A
A
Sindonews.com - Setelah sempat mendekati Rp8.400 setahun lalu, dolar AS sebulan terakhir terus menguat menembus Rp9.500 dan menuju Rp10.000. Di saat penuh ketidakpastian seperti ini,kita pun mendambakan kembalinya kurs tetap.
Secara garis besar, sistem kurs dapat dibagi menjadi dua ekstrem yaitu sistem tetap dan sistem mengambang atau sistem fleksibel. Di antara dua ekstrem ini ada satu sistem kompromi yaitu mengambang terkendali atau kombinasi antara tetap dan mengambang. Indonesia pernah menggunakan rejim kurs tetap yaitu hingga September 1986.
Mungkin Anda masih ingat kalau kurs dolar AS pernah hanya Rp415 di tahun 1971, Rp625 pada tahun 1978,menjadi sekitar Rp935 pada tahun 1983, dan Rp1.644 pada devaluasi terakhir September 1986. Setelah 1986, sistem kurs tetap tinggal kenangan karena kita menggunakan sistem kurs mengambang terkendali sebelum diganti dengan sistem kurs mengambang bebas pada bulan Agustus 1997.
Berbeda dengan sistem kurs tetap yang memberikan kepastian, sistem kurs bebas menimbulkan ketidakpastian mengenai rupiah. Ketidakpastian itu pada dasarnya tidak dikehendaki semua pihak karena menyulitkan perencanaan baik skala mikro maupun makro. Itulah sebabnya, banyak negara awalnya menyukai sistem kurs tetap karena keunggulannya dalam menjaga stabilitas harga dan memudahkan proses perencanaan. Sistem kurs tetap sangat favorit pada tahun 1975 dengan 70% negara di dunia menganutnya.
Namun saat ini dari sekitar 184 negara anggota tetap IMF, sebagian besar menerapkan sistem mengambang dan hanya belasan persen saja yang masih menggunakan sistem kurs tetap. Paul Krugman menulis bahwa sebuah negara tidak mungkin menjalankan tiga kebijakan sekaligus: nilai tukar tetap, arus modal bebas,dan kebijakan moneter yang independen, seperti dikutip Chatib Basri dalam artikelnya Unholy Trinity. Indonesia dan banyak negara lain sudah memilih kebijakan moneter yang otonom dan arus modal yang bebas. Implikasinya, kita tidak bisa memilih nilai tukar yang tetap.
Kelemahan kurs tetap
Sesuai dengan hipotesis Krugman, dalam praktiknya, sistem kurs tetap di banyak negara sudah sangat sulit untuk dapat dipertahankan. Sistem kurs tetap mensyaratkan dilaksanakannya disiplin dalam kebijakan moneter. Jika rupiah dipatok dengan dolar Amerika pada nilai tertentu dan kurs tetap ini ingin dipertahankan maka inflasi di Indonesia dan di Amerika tidak boleh ada perbedaan. Persentase kenaikan harga barang dan jasa secara umum di kedua negara itu harus sama.
Jika terjadi perbedaan inflasi, maka kurs tetap yang sudah disepakati menjadi tidak tepat lagi dan keadaan ini akan mengundang spekulan untuk menyerang mata uang yang overvalueddan relatif kurang kuat seperti rupiah. Agar bisa mencapai inflasi rendahdi Amerika yang rata-rata 2,5% per tahun, otoritas moneter Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan kebijakan moneternya dengan yang di Amerika sana dan disiplin dalam melaksanakannya. Sistem kurs tetap mempunyai banyak kelemahan.
Pertama, sistem kurs tetap memerlukan cadangan devisa yang besar untuk mematahkan serangan para spekulan. Sama seperti sistem mengambang, sistem kurs tetap juga cenderung mendapat serangan para spekulan yaitu mereka yang memperkirakan akan ada devaluasi dalam waktu dekat. Sistem mengambang tidak memerlukan cadangan devisa yang banyak karena penyesuaian terjadi secara otomatis untuk mencapai keseimbangan baru.
Kedua, sistem kurs tetap membuat otoritas moneter suatu negara tidak bisa menyelenggarakan kebijakan moneter yang independen selain kebijakan yang sejalan dan searah dengan negara yang mata uangnya dijadikan patokan. Ketiga, kalau terjadi penyesuaian kurs yaitu lewat devaluasi, besarnya penyesuaian ini umumnya cukup besar. Terakhir, sistem kurs tetap juga meninggalkan pertanyaan, dipatok atau diambangkan dengan satu mata uang tertentu atau sekelompok mata uang dan mata uang apa saja yang dijadikan patokan itu?
BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan
Penulis Buku Matematika Keuangan
Secara garis besar, sistem kurs dapat dibagi menjadi dua ekstrem yaitu sistem tetap dan sistem mengambang atau sistem fleksibel. Di antara dua ekstrem ini ada satu sistem kompromi yaitu mengambang terkendali atau kombinasi antara tetap dan mengambang. Indonesia pernah menggunakan rejim kurs tetap yaitu hingga September 1986.
Mungkin Anda masih ingat kalau kurs dolar AS pernah hanya Rp415 di tahun 1971, Rp625 pada tahun 1978,menjadi sekitar Rp935 pada tahun 1983, dan Rp1.644 pada devaluasi terakhir September 1986. Setelah 1986, sistem kurs tetap tinggal kenangan karena kita menggunakan sistem kurs mengambang terkendali sebelum diganti dengan sistem kurs mengambang bebas pada bulan Agustus 1997.
Berbeda dengan sistem kurs tetap yang memberikan kepastian, sistem kurs bebas menimbulkan ketidakpastian mengenai rupiah. Ketidakpastian itu pada dasarnya tidak dikehendaki semua pihak karena menyulitkan perencanaan baik skala mikro maupun makro. Itulah sebabnya, banyak negara awalnya menyukai sistem kurs tetap karena keunggulannya dalam menjaga stabilitas harga dan memudahkan proses perencanaan. Sistem kurs tetap sangat favorit pada tahun 1975 dengan 70% negara di dunia menganutnya.
Namun saat ini dari sekitar 184 negara anggota tetap IMF, sebagian besar menerapkan sistem mengambang dan hanya belasan persen saja yang masih menggunakan sistem kurs tetap. Paul Krugman menulis bahwa sebuah negara tidak mungkin menjalankan tiga kebijakan sekaligus: nilai tukar tetap, arus modal bebas,dan kebijakan moneter yang independen, seperti dikutip Chatib Basri dalam artikelnya Unholy Trinity. Indonesia dan banyak negara lain sudah memilih kebijakan moneter yang otonom dan arus modal yang bebas. Implikasinya, kita tidak bisa memilih nilai tukar yang tetap.
Kelemahan kurs tetap
Sesuai dengan hipotesis Krugman, dalam praktiknya, sistem kurs tetap di banyak negara sudah sangat sulit untuk dapat dipertahankan. Sistem kurs tetap mensyaratkan dilaksanakannya disiplin dalam kebijakan moneter. Jika rupiah dipatok dengan dolar Amerika pada nilai tertentu dan kurs tetap ini ingin dipertahankan maka inflasi di Indonesia dan di Amerika tidak boleh ada perbedaan. Persentase kenaikan harga barang dan jasa secara umum di kedua negara itu harus sama.
Jika terjadi perbedaan inflasi, maka kurs tetap yang sudah disepakati menjadi tidak tepat lagi dan keadaan ini akan mengundang spekulan untuk menyerang mata uang yang overvalueddan relatif kurang kuat seperti rupiah. Agar bisa mencapai inflasi rendahdi Amerika yang rata-rata 2,5% per tahun, otoritas moneter Indonesia tidak punya pilihan lain kecuali menyesuaikan kebijakan moneternya dengan yang di Amerika sana dan disiplin dalam melaksanakannya. Sistem kurs tetap mempunyai banyak kelemahan.
Pertama, sistem kurs tetap memerlukan cadangan devisa yang besar untuk mematahkan serangan para spekulan. Sama seperti sistem mengambang, sistem kurs tetap juga cenderung mendapat serangan para spekulan yaitu mereka yang memperkirakan akan ada devaluasi dalam waktu dekat. Sistem mengambang tidak memerlukan cadangan devisa yang banyak karena penyesuaian terjadi secara otomatis untuk mencapai keseimbangan baru.
Kedua, sistem kurs tetap membuat otoritas moneter suatu negara tidak bisa menyelenggarakan kebijakan moneter yang independen selain kebijakan yang sejalan dan searah dengan negara yang mata uangnya dijadikan patokan. Ketiga, kalau terjadi penyesuaian kurs yaitu lewat devaluasi, besarnya penyesuaian ini umumnya cukup besar. Terakhir, sistem kurs tetap juga meninggalkan pertanyaan, dipatok atau diambangkan dengan satu mata uang tertentu atau sekelompok mata uang dan mata uang apa saja yang dijadikan patokan itu?
BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan
Penulis Buku Matematika Keuangan
(gpr)