Kayu Indonesia tak perlu sertifikat FSC

Selasa, 20 Agustus 2013 - 09:45 WIB
Kayu Indonesia tak perlu...
Kayu Indonesia tak perlu sertifikat FSC
A A A
Sindonews.com - Produk berbasis kayu Indonesia tidak memerlukan sertifikat dari lembaga Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisa diperdagangkan dan mengakses pasar. Pasalnya, produk kayu Indonesia telah memiliki sertifikast berbasis Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memiliki standar lebih tinggi.

“Kalau sudah memiliki SVLK, sebenarnya tidak perlu lagi sertifikat seperti FSC,” kata Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto di Jakarta usai membuka Rapat Koordinasi Pengelolan Barang Milik Negara di Jakarta, Selasa (20/8/2013).

Hadi menyatakan, SVLK memiliki standar yang lebih tinggi sebab diterapkan secara wajib bagi seluruh produk kayu dari hulu hingga hilir. Ini berbeda dengan skema sertifikasi seperti FSC yang bersifat sukarela.

“SVLK lebih galak sebab kalau tidak punya sertifikat itu, tidak bisa ekspor,” katanya.

Hadi menambahkan, sertifikat FSC sejauh ini juga belum berhasil memberi harga premium bagi produknya. Pengalaman sejumlah perusahaan produk kayu di Indonesia membuktikan hal itu. Menurut Hadi, FSC memang menjanjikan soal akses pasar, namun hal itu juga bisa dilakukan dengan sertifikat SVLK.

“Apalagi nanti setelah perjanjian kemitraan sukarela antara Indonesia-Uni Eropa ditandatangani, September 2013. Akses pasar produk kayu ber-SVLK akan lebih luas di sana,” kata Hadi.

Hadi juga menegaskan, akuntabilitas dan transparansi SVLK tidak perlu dipertanyakan lagi. Pasalnya, SVLK sejak awal dibangun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pelaku usaha, pemerintah, akademisi, anggota masyarakat dan organisasi masyarakat sipil.

Keterlibatan seluruh pemangku kepetingan ini bahkan berlanjut hingga saat ini ketika SVLK sudah diberlakukan secara efektif. “SVLK adalah satu-satunya skema sertifikasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan,” ujar Hadi.

Dia menambahkan, untuk meningkatkan transparansi, semua pihak juga bisa memantau pelaksanaaan SVLK dan bisa menyampaikan tanggapan dan keluhan melalui mekanisme yang disiapkan.

Sementara itu, Ketua bidang Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Nana Suparna menyatakan bahwa skema yang dikembangkan FSC sebenarnya tidak adil bagi Indonesia khususnya untuk produk kayu dari hutan tanaman. Pasalnya, FSC mensyaratkan kawasan hutan tanaman tidak boleh dibangun setelah tahun 1994.

“Di Indonesia hal ini tentu tidak bisa diterapkan karena banyak hutan tanaman justru baru dibangun setelah tahun 1994,” kata dia.

Sialnya, kata Nana, karena belum memperoleh sertifikat FSC, produk kayu hutan tanaman Indonesia kemudian dicap tidak lestari oleh LSM terutama asing.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9628 seconds (0.1#10.140)