Produksi sawit RI masih kalah dari Malaysia
A
A
A
Sindonews.com - Deputi Teknologi Informasi, Energi dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Unggul Priyanto mengatakan, produksi sawit dalam negeri masih kalah dari Malaysia.
Menurutnya, rata-rata hasil produksi sawit dalam negeri dari lahan produksi mencapai 3 ton per hektare (ha). Angka ini masih tertinggal dari Malaysia yang sudah mampu menghasilkan 5 ton dari setiap satu ha.
"Malaysia menggunakan teknologi pertanian yang tinggi seperti pembibitan dan teknologi penanaman yang lebih baik dari kita," kata dia saat ditemui di kantor BPPT di Jakarta, Senin (16/9/2013).
Sebelumnya, dia mengatakan, BPPT mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara, hasil produksi kelapa sawit Indonesia saat ini sebesar 23 juta ton atau setara dengan 25 juta kiloliter.
Dari jumlah tersebut diambil untuk kebutuhan pangan maksimum 8 juta kiloliter. Dengan jumlah seperti itu, masih tersedia 17 juta kiloliter. Sedangkan total konsumsi solar dalam negeri mencapai 31 juta kiloliter.
Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Adiarso mengatakan, pabrik Biofuel untuk Biodiesel idealnya terintegrasi dengan kebun dan lahannya sendiri. Karena biaya produksinya hanya sekitar 4.000 per liter.
Menurutnya, jika biaya produksi mengalami kenaikan tidak akan mengalami masalah berarti, karena ketersediaan bahan baku terjamin, biaya produksi yang lebih rendah dan adanya distribusi BBN yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah sudah menerapkan pajak ekspor yang floating atau berubah mengikuti harga CPO (crude palm oil). Jika dikumpulkan tahun lalu bea ekspor sawit mencapai Rp30 triliun. Dengan demikian, besaran subsidi untuk CPO seharusnya tidak dipatok tetapi mengikuti harga bahan baku. Misalnya harga dipatok, saat harga CPO naik maka akan sulit.
Seharusnya, kata dia, pemerintah tidak mematok harga subsidi BBM sebesar Rp3000, namun mengikuto floting. Hal ini dikarenakan 75-85 persen adalah harga bahan baku. "Diperlukan kebijakan fiskal untuk harga CPO karena kalau harga CPO naik maka harga lainnya naik," ujarnya.
Selain itu, kata Adiarso pemerintah dapat memberikan konsesi pembukaan lahan sawit untuk penanaman biodiesel, peningkatan jumlah mandatori untuk meningkatkan prosentasi pemakaian BBN dari 10 persen juga dapat dilakukan.
"Intinya adalah komitmen nasional yang harus kuat untuk mengaplikasikan yang telah di dibuat," tegasnya.
Menurutnya, rata-rata hasil produksi sawit dalam negeri dari lahan produksi mencapai 3 ton per hektare (ha). Angka ini masih tertinggal dari Malaysia yang sudah mampu menghasilkan 5 ton dari setiap satu ha.
"Malaysia menggunakan teknologi pertanian yang tinggi seperti pembibitan dan teknologi penanaman yang lebih baik dari kita," kata dia saat ditemui di kantor BPPT di Jakarta, Senin (16/9/2013).
Sebelumnya, dia mengatakan, BPPT mengusulkan agar pemerintah memanfaatkan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Sementara, hasil produksi kelapa sawit Indonesia saat ini sebesar 23 juta ton atau setara dengan 25 juta kiloliter.
Dari jumlah tersebut diambil untuk kebutuhan pangan maksimum 8 juta kiloliter. Dengan jumlah seperti itu, masih tersedia 17 juta kiloliter. Sedangkan total konsumsi solar dalam negeri mencapai 31 juta kiloliter.
Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi BPPT, Adiarso mengatakan, pabrik Biofuel untuk Biodiesel idealnya terintegrasi dengan kebun dan lahannya sendiri. Karena biaya produksinya hanya sekitar 4.000 per liter.
Menurutnya, jika biaya produksi mengalami kenaikan tidak akan mengalami masalah berarti, karena ketersediaan bahan baku terjamin, biaya produksi yang lebih rendah dan adanya distribusi BBN yang lebih baik.
Selain itu, pemerintah sudah menerapkan pajak ekspor yang floating atau berubah mengikuti harga CPO (crude palm oil). Jika dikumpulkan tahun lalu bea ekspor sawit mencapai Rp30 triliun. Dengan demikian, besaran subsidi untuk CPO seharusnya tidak dipatok tetapi mengikuti harga bahan baku. Misalnya harga dipatok, saat harga CPO naik maka akan sulit.
Seharusnya, kata dia, pemerintah tidak mematok harga subsidi BBM sebesar Rp3000, namun mengikuto floting. Hal ini dikarenakan 75-85 persen adalah harga bahan baku. "Diperlukan kebijakan fiskal untuk harga CPO karena kalau harga CPO naik maka harga lainnya naik," ujarnya.
Selain itu, kata Adiarso pemerintah dapat memberikan konsesi pembukaan lahan sawit untuk penanaman biodiesel, peningkatan jumlah mandatori untuk meningkatkan prosentasi pemakaian BBN dari 10 persen juga dapat dilakukan.
"Intinya adalah komitmen nasional yang harus kuat untuk mengaplikasikan yang telah di dibuat," tegasnya.
(izz)