PLN akui sulit move on dari BBM
A
A
A
Sindonews.com - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mengklaim masih kesulitan terlepas dari ketergantungannya terhadap bahan bakar minyak (BBM) non subsidi untuk membangkitkan pembangkit listriknya di daerah terpencil. Padahal, saat ini impor BBM cukup menggerus anggaran negara.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan dan konversi energi PLN Mochamad Sofyan mengatakan, perbedaan harga antara daerah terpencil dengan di Jawa sangatlah jauh. Harga BBM non subsidi saat ini mencapai Rp9.000-10.000 per liter.
"Coba bayangkan saja jika di pelosok seperti Papua sangatlah berbeda lebih mahal, mencapai Rp16.000 per liter," kata dia saat bincang-bincang bersama wartawan di Gedung PLN Pusat, Jakarta, Kamis (19/9/2013).
Padahal, lanjut dia, untuk produksi per 1 kwh menggunakan BBM non subsidi sebesar 0,3 liter belum ditambah dengan biaya perawatan pembangkit maka biaya pokok produksi (bpp) mencapai Rp4.000 per kwh.
Sampai saat ini pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM hampir mencapai 23 persen. Maka dari itu, penggunaan BBM masih sangat tinggi sekali dalam memproduksi listrik ke daerah-daerah di Indonesia dan akhirnya perseroan kemudian harus menjual listrik ke masyarakat seharga Rp700 per kwh.
"Tapi kami akan mencoba tidak lagi menggunakan BBM pada pembangkit listrik yang baru, tetapi menggunakan energi yang terbarukan," ucap dia.
Kendati begitu, Sofyan mengaku pemakaian energi baru dan terbarukan lebih sulit jika dibanding membangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Perjalanan waktu yang dibutuhkan cukup lama 7-8 tahun. "Jika dibangun sekarang maka akan mengalir listriknya 2018-2019 itu kalau lancar," kata dia.
Melihat kondisi tersebut, PLN mengaku perlu ada langkah antisipasi khusus yang dilakukan agar kebutuhan listrik bagi masyarakat masih dapat terus diberikan.
"Perlu diingat, kebutuhan minyak kita di tahun 2025 juga akan habis, maka harus ada langkah dan antisipasi agar kebutuhan listrik masih bisa terpenuhi," ujarnya.
Data PLN menunjukan, hampir 88 persen pembangkit listrik milik PLN masih menggunakan energi yang tidak terbarukan (fosil). Dari porsi tersebut, 44 persen di antaranya masih menggunakan batu bara, 23 persen BBM, 21 persen gas, dan 3,5 persen energi terbarukan.
Kepala Divisi Energi Baru Terbarukan dan konversi energi PLN Mochamad Sofyan mengatakan, perbedaan harga antara daerah terpencil dengan di Jawa sangatlah jauh. Harga BBM non subsidi saat ini mencapai Rp9.000-10.000 per liter.
"Coba bayangkan saja jika di pelosok seperti Papua sangatlah berbeda lebih mahal, mencapai Rp16.000 per liter," kata dia saat bincang-bincang bersama wartawan di Gedung PLN Pusat, Jakarta, Kamis (19/9/2013).
Padahal, lanjut dia, untuk produksi per 1 kwh menggunakan BBM non subsidi sebesar 0,3 liter belum ditambah dengan biaya perawatan pembangkit maka biaya pokok produksi (bpp) mencapai Rp4.000 per kwh.
Sampai saat ini pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM hampir mencapai 23 persen. Maka dari itu, penggunaan BBM masih sangat tinggi sekali dalam memproduksi listrik ke daerah-daerah di Indonesia dan akhirnya perseroan kemudian harus menjual listrik ke masyarakat seharga Rp700 per kwh.
"Tapi kami akan mencoba tidak lagi menggunakan BBM pada pembangkit listrik yang baru, tetapi menggunakan energi yang terbarukan," ucap dia.
Kendati begitu, Sofyan mengaku pemakaian energi baru dan terbarukan lebih sulit jika dibanding membangun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Perjalanan waktu yang dibutuhkan cukup lama 7-8 tahun. "Jika dibangun sekarang maka akan mengalir listriknya 2018-2019 itu kalau lancar," kata dia.
Melihat kondisi tersebut, PLN mengaku perlu ada langkah antisipasi khusus yang dilakukan agar kebutuhan listrik bagi masyarakat masih dapat terus diberikan.
"Perlu diingat, kebutuhan minyak kita di tahun 2025 juga akan habis, maka harus ada langkah dan antisipasi agar kebutuhan listrik masih bisa terpenuhi," ujarnya.
Data PLN menunjukan, hampir 88 persen pembangkit listrik milik PLN masih menggunakan energi yang tidak terbarukan (fosil). Dari porsi tersebut, 44 persen di antaranya masih menggunakan batu bara, 23 persen BBM, 21 persen gas, dan 3,5 persen energi terbarukan.
(gpr)