Harga minyak di perdagangan Asia bervariasi
A
A
A
Sindonews.com - Harga minyak di perdagangan Asia hari ini bervariasi, meski data manufaktur China optimis, menimbulkan harapan permintaan kuat dari konsumen energi terbesar di dunia tersebut.
Kontrak utama New York, minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November turun empat sen menjadi USD104,71 per barel pada perdagangan pertengahan pagi. Sementara minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman November naik satu sen menjadi USD109,23 per barel.
Raksasa perbankan global, HSBC melaporkan indeks manajer pembelian awal untuk sektor manufaktur di China pada September mencapai 51,2 poin, tertinggi sejak Maret ketika indeks berada pada 51,6 poin.
Angka tersebut lebih tinggi dari pembacaan akhir bulan lalu sebesar 50,1 poin, yang meningkat dari posisi terendah dalam 11 bulan sebesar 47,7 pada Juli. Angka PMI di atas 50 menunjukkan pertumbuhan, sedangkan apa pun di bawah angka 50 sinyal kontraksi.
"Ada sentimen optimis dari permintaan minyak mentah China, terutama dengan pemerintah (China) yang memberikan dukungan di pasar uang dan memungkinkan perusahaan menambah kecepatan," ujar Kenny Kan, analis pasar CMC Markets, Singapura, seperti dilansir dari AFP.
Pihak berwenang China sejauh ini enggan memperkenalkan langkah-langkah stimulus besar. Namun, pada akhir Juli mereka mengumumkan beberapa langkah untuk mendorong pertumbuhan, seperti mengurangi pajak perusahaan-perusahaan kecil dan mendorong pembangunan perkeretaapian.
Sementara itu, investor terus melacak perkembangan di Suriah, setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Minggu menuduh Washington telah memeras Moskow atas resolusi PBB terhadap negara yang dilanda perang.
Washington dan Moskow telah sepakat pada awal September untuk membongkar senjata kimia Suriah dan mencegah serangan militer Barat terhadap negara tersebut.
"Komentar Lavrov mungkin mengungkapkan masih ada kemacetan dalam menyelesaikan masalah Suriah di tingkat PBB," kata Kan.
Investor khawatir setiap serangan militer terhadap Suriah atas tuduhan penggunaan senjata kimia kepada warga negaranya sendiri dapat menggoyahkan kawasan kaya minyak mentah di Timur Tengah dan menyebabkan harga minyak melonjak.
Kontrak utama New York, minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November turun empat sen menjadi USD104,71 per barel pada perdagangan pertengahan pagi. Sementara minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman November naik satu sen menjadi USD109,23 per barel.
Raksasa perbankan global, HSBC melaporkan indeks manajer pembelian awal untuk sektor manufaktur di China pada September mencapai 51,2 poin, tertinggi sejak Maret ketika indeks berada pada 51,6 poin.
Angka tersebut lebih tinggi dari pembacaan akhir bulan lalu sebesar 50,1 poin, yang meningkat dari posisi terendah dalam 11 bulan sebesar 47,7 pada Juli. Angka PMI di atas 50 menunjukkan pertumbuhan, sedangkan apa pun di bawah angka 50 sinyal kontraksi.
"Ada sentimen optimis dari permintaan minyak mentah China, terutama dengan pemerintah (China) yang memberikan dukungan di pasar uang dan memungkinkan perusahaan menambah kecepatan," ujar Kenny Kan, analis pasar CMC Markets, Singapura, seperti dilansir dari AFP.
Pihak berwenang China sejauh ini enggan memperkenalkan langkah-langkah stimulus besar. Namun, pada akhir Juli mereka mengumumkan beberapa langkah untuk mendorong pertumbuhan, seperti mengurangi pajak perusahaan-perusahaan kecil dan mendorong pembangunan perkeretaapian.
Sementara itu, investor terus melacak perkembangan di Suriah, setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov pada Minggu menuduh Washington telah memeras Moskow atas resolusi PBB terhadap negara yang dilanda perang.
Washington dan Moskow telah sepakat pada awal September untuk membongkar senjata kimia Suriah dan mencegah serangan militer Barat terhadap negara tersebut.
"Komentar Lavrov mungkin mengungkapkan masih ada kemacetan dalam menyelesaikan masalah Suriah di tingkat PBB," kata Kan.
Investor khawatir setiap serangan militer terhadap Suriah atas tuduhan penggunaan senjata kimia kepada warga negaranya sendiri dapat menggoyahkan kawasan kaya minyak mentah di Timur Tengah dan menyebabkan harga minyak melonjak.
(dmd)