IPA minta PBB kegiatan eksplorasi ditinjau ulang
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia Petroleum Associaton (IPA) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan fiskal pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi.
Presiden IPA Lukman Mahfoedz menilai, pengenaan PBB tersebut tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menggiatkan aktivitas ekplorasi di Tanah Air. Asosiasi yang dipimpinnya sangat mengharapkan pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan fiskal PBB di kegiatan eksplorasi.
“Hal ini untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi terutama ekplorasi di lepas pantai dan frontier area," kata Lukman dalam keterangan tertulisnya di Nusa Dua Bali, Kamis (26/9/2013).
Perhitungan dan pengenaan PBB tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010. Peraturan itu menyatakan perusahaan-perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya.
“Padahal ukuran dan besaran Blok eksplorasi hingga ribuan kilometer persegi bahkan ada yang lebih luas dari pulau sekitar,” kata dia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lanjut Lukman, pada akhir Juni 2013 kemarin mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total sebesar Rp2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok eksplorasi lepas pantai.
Besaran PBB berkisar antara Rp 40 miliar hingga Rp190 miliar per blok. Jumlah ini melebihi anggaran untuk kegiatan ekplorasi di Blok itu sendiri.
"Akan sulit bagi pengusaha migas harus membayar PBB tersebut, padahal eksplorasi belum tentu berhasil. Walaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga akan sebagian kecil dari wilayah tersebut," jelasnya.
Dikatakannya, kegiatan eksplorasi merupakan tahap awal dari rangkaian panjang produksi migas dengan resiko yang sepenuhnya ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun belum ada kepastian cadangan migas yang komersial bisa dikembangkan secara ekonomis.
Menurut dia, terdapat sekitar 12 perusahaan yang tidak berhasil menemukan cadangan migas secara ekonomis untuk eksplorasi offshore deepwater selama kurun waktu 2009-2012.
“Padahal jumlah dana yang telah dikeluarkan sebesar USD2 miliar atau setara dengan Rp20 triliun,” ungkapnya.
Lebih lanjut Lukman menuturkan, reserve replacement ratio minyak di Indonesia hanya 52 persen pada 2012. Hal ini berarti cadangan minyak baru yang ditemukan di tahun itu hanya bisa mengganti 52 persen produksi minyak pada 2012.
Sedangkan realisasi pengeboran sumur eksplorasi hanya 50 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran 2012. Untuk tahun ini, realisasi pengeboran sumur ekplorasi diperkirakan sekitar 50 persen dari target yang direncanakan.
"Hanya dengan usaha ekplorasi yang intensif, maka produksi minyak akan bisa bertambah atau minimal dipertahankan. Sebagian besar potensi migas Indonesia saat ini berada di lepas pantai dan laut dalam, maka wilayah tersebut menjadi target eksplorasi migas Indonesia ke depan," ujarnya.
Presiden IPA Lukman Mahfoedz menilai, pengenaan PBB tersebut tidak sejalan dengan keinginan pemerintah menggiatkan aktivitas ekplorasi di Tanah Air. Asosiasi yang dipimpinnya sangat mengharapkan pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan fiskal PBB di kegiatan eksplorasi.
“Hal ini untuk meningkatkan iklim investasi dan situasi yang kondusif untuk mendorong pengusaha hulu migas agar lebih aktif lagi terutama ekplorasi di lepas pantai dan frontier area," kata Lukman dalam keterangan tertulisnya di Nusa Dua Bali, Kamis (26/9/2013).
Perhitungan dan pengenaan PBB tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2010. Peraturan itu menyatakan perusahaan-perusahaan migas harus membayar PBB dengan memperhitungkan seluruh luas wilyah kerja lepas pantai walaupun belum dimanfaatkan seluruhnya.
“Padahal ukuran dan besaran Blok eksplorasi hingga ribuan kilometer persegi bahkan ada yang lebih luas dari pulau sekitar,” kata dia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), lanjut Lukman, pada akhir Juni 2013 kemarin mengeluarkan tagihan PBB untuk tahun 2012 dan 2013 mencapai total sebesar Rp2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu migas yang mengoperasikan 20 blok eksplorasi lepas pantai.
Besaran PBB berkisar antara Rp 40 miliar hingga Rp190 miliar per blok. Jumlah ini melebihi anggaran untuk kegiatan ekplorasi di Blok itu sendiri.
"Akan sulit bagi pengusaha migas harus membayar PBB tersebut, padahal eksplorasi belum tentu berhasil. Walaupun berhasil, area yang dimanfaatkan juga akan sebagian kecil dari wilayah tersebut," jelasnya.
Dikatakannya, kegiatan eksplorasi merupakan tahap awal dari rangkaian panjang produksi migas dengan resiko yang sepenuhnya ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Namun belum ada kepastian cadangan migas yang komersial bisa dikembangkan secara ekonomis.
Menurut dia, terdapat sekitar 12 perusahaan yang tidak berhasil menemukan cadangan migas secara ekonomis untuk eksplorasi offshore deepwater selama kurun waktu 2009-2012.
“Padahal jumlah dana yang telah dikeluarkan sebesar USD2 miliar atau setara dengan Rp20 triliun,” ungkapnya.
Lebih lanjut Lukman menuturkan, reserve replacement ratio minyak di Indonesia hanya 52 persen pada 2012. Hal ini berarti cadangan minyak baru yang ditemukan di tahun itu hanya bisa mengganti 52 persen produksi minyak pada 2012.
Sedangkan realisasi pengeboran sumur eksplorasi hanya 50 persen dari Rencana Kerja dan Anggaran 2012. Untuk tahun ini, realisasi pengeboran sumur ekplorasi diperkirakan sekitar 50 persen dari target yang direncanakan.
"Hanya dengan usaha ekplorasi yang intensif, maka produksi minyak akan bisa bertambah atau minimal dipertahankan. Sebagian besar potensi migas Indonesia saat ini berada di lepas pantai dan laut dalam, maka wilayah tersebut menjadi target eksplorasi migas Indonesia ke depan," ujarnya.
(rna)