Perbankan dinilai terlalu fokus di perkotaan
A
A
A
Sindonews.com - Chairman Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana mengakui, ada sebagian perbankan yang berusaha menerapkan branchless banking, namun terlihat kurang serius.
Sebagian perbankan menganggap, branchless banking hanya sekedar perluasan jaringan. Padahal, bisa mensejahterakan masyarakat. Kemudahan akses keuangan desa dan kota berdampak terhadap peningkatan ekonomi makro.
Selama ini, layanan perbankan cenderung tumbuh di kota besar saja. Dia mencontohkan, layanan e-money disediakan 36 persen bank di Indonesia, layanan mobile banking 73 persen, kartu debit 95 persen, internet banking 82 persen. Masing-masing layananan, setiap tahunnya menunjukkan progres luar biasa.
"Padahal, akses keuangan tidak hanya dibutuhkan masyarakat perkotaan. Masyarakat di pelosok desa juga membutuhkan akses keuangan yang lebih mudah. Perbankan harus jemput bola," jelas dia, Senin (30/9/2013).
Branchless banking, kata dia, menjadi layanan keuangan tanpa bergantung keberadaan kantor cabang bank. Agen perbankan bergerak pro aktif mendatangi nasabah terutama yang lokasinya terisolir.
Layanan ini mengadopsi sistem telekomunikasi seperti SMS atau fiture jaringan lainnya. Dimitri menyebutkan, layanan tersebut terbukti mampu meningkatkan penetrasi perbankan di beberapa negara.
Layanan M-Pesa di Kenya misalnya, saat ini nilai transaksinya mencapai USD50 juta atau Rp575 miliar per hari. Agen layanan ini mencapai 65.547 orang dengan mayoritas transaksi melalui SMS. Layanan ini mampu mencatat pendapatan tahunan sekitar Rp2,83 triliun.
Begitupun di Bangladesh. Layanan branchless banking di negara yang cenderung lebih tertinggal dari Indonesia, telah memiliki 30 ribu agen. Layanan tersebut dipakai 2,2 juta pengguna.
Sebagian perbankan menganggap, branchless banking hanya sekedar perluasan jaringan. Padahal, bisa mensejahterakan masyarakat. Kemudahan akses keuangan desa dan kota berdampak terhadap peningkatan ekonomi makro.
Selama ini, layanan perbankan cenderung tumbuh di kota besar saja. Dia mencontohkan, layanan e-money disediakan 36 persen bank di Indonesia, layanan mobile banking 73 persen, kartu debit 95 persen, internet banking 82 persen. Masing-masing layananan, setiap tahunnya menunjukkan progres luar biasa.
"Padahal, akses keuangan tidak hanya dibutuhkan masyarakat perkotaan. Masyarakat di pelosok desa juga membutuhkan akses keuangan yang lebih mudah. Perbankan harus jemput bola," jelas dia, Senin (30/9/2013).
Branchless banking, kata dia, menjadi layanan keuangan tanpa bergantung keberadaan kantor cabang bank. Agen perbankan bergerak pro aktif mendatangi nasabah terutama yang lokasinya terisolir.
Layanan ini mengadopsi sistem telekomunikasi seperti SMS atau fiture jaringan lainnya. Dimitri menyebutkan, layanan tersebut terbukti mampu meningkatkan penetrasi perbankan di beberapa negara.
Layanan M-Pesa di Kenya misalnya, saat ini nilai transaksinya mencapai USD50 juta atau Rp575 miliar per hari. Agen layanan ini mencapai 65.547 orang dengan mayoritas transaksi melalui SMS. Layanan ini mampu mencatat pendapatan tahunan sekitar Rp2,83 triliun.
Begitupun di Bangladesh. Layanan branchless banking di negara yang cenderung lebih tertinggal dari Indonesia, telah memiliki 30 ribu agen. Layanan tersebut dipakai 2,2 juta pengguna.
(izz)