Ekonomi Inggris terancam kenaikan listrik dan upah rendah

Senin, 21 Oktober 2013 - 20:17 WIB
Ekonomi Inggris terancam kenaikan listrik dan upah rendah
Ekonomi Inggris terancam kenaikan listrik dan upah rendah
A A A
Sindonews.com – Pemulihan ekonomi Inggris kehilangan momentum akibat kenaikan harga energi (listrik/gas) dan upah pekerja yang rendah hingga menyebabkan pendapatan rumah tangga susut.

Indeks rumah tangga yang dirilis Markits, indikator kepercayaan rumah tangga berada di angka 41 poin, jauh di bawah 50 poin. Ini menjadi tanda orang Inggris pesimis dengan aspek keuangan mereka. Indikator ini juga merujuk penurunan keamanan kerja dan upah pekerja yang rendah.

Pakar Ekonomi Senior Markit, Tim Moore mengungkapkan, bahwa keadaan rumah tangga Inggris yang naik-turun selama 4,5 tahun belakangan ini tidaklah bisa dikatakan sebagai suatu kemajuan. "Tanda-tanda dalam survei, peningkatan kesejahteraan keuangan lemah karena pendapatan tergerus biaya hidup," ujar Moore, seperti dilansir dari International Business Times, Senin (21/10/2013).

Markit mengatakan, survei Oktober menunjukkan keuangan rumah tangga diperkirakan memburuk selama 12 bulan ke depan karena kekhawatiran redundansi/pemangkasan jumlah pekerja.

Upah yang naik tipis 0,7 persen lebih tinggi dalam tiga bulan hingga akhir Agustus. Sementara inflasi 2,8 persen hanya turun 0,1 persen, menjadi 2,7 persen pada September.

Keuangan rumah tangga Inggris yang diperas oleh kenaikan signifikan dalam harga energi, didorong enam perusahaan besar yang bersama-sama menyumbang 99 persen sektor energi di tanah Britania Raya.

Centrica mengatakan akan menaikkan biaya rumah tangga listrik dan gas rata-rata 9,2 persen pada November. Sementara British Gas menyebutkan harga listrik dan gas masing-masing akan naik sebesar 10,4 persen dan 8,4 % pada 23 November mendatang.

Pekan lalu, SSE juga mengumumkan akan menaikkan biaya listrik dan gas rata-rata 8,2 persen. Sementara RWE power diperkirakan akan mengumumkan kenaikan harga energi pekan ini.

Bank Lloyds mengatakan, meskipun survei sentimen konsumen mencapai angka tertinggi sepanjang masa pada September, serentetan tagihan biaya energi yang meningkat telah menimbulkan kekhawatiran terjadi disposable income.

Kepala ekonom Deloitte, Ian Stewart mengatakan, masalah utama konsumen Inggris seperti yang terjadi selama tiga tahun terakhir, yaitu daya beli menurun.

"Setelah mengambil inflasi dan perubahan pajak, pendapatan telah jatuh sekitar 1,5 persen pada tahun lalu. Ini sebenarnya merupakan perbaikan dibandingkan pendapatan meremas sengit pada 2010 dan 2011, tetapi daya beli konsumen menuju penurunan," terangnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5193 seconds (0.1#10.140)