Ada kartel di industri buku sekolah
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir terdapat kartel buku dalam industri buku pelajaran di Indonesia.
Komisioner KPPU Pusat Sukarni mengungkapkan, pada awal tahun pelajaran, buku teks pelajaran tidak beredar di toko buku, namun hanya tersedia di sekolah, dimana siswa diwajibkan membeli buku di Sekolah.
Buku-buku itu baru bisa didapatkan di toko setelah dua sampai tiga bulan ajaran baru berlalu. Akibatnya, muncul dead weihgt loss karena konsumen harus membayar harga buku lebih mahal.
Selain itu, siswa dan orang tua siswa menjadi price taker karena berkurangnya pilihan atau tidak ada pilihan sehingga siswa harus membeli buku di sekolah. Deal sudah terjadi antara kepala sekolah dan penerbit.
"Makanya penetapan harga buku di sekolah lebih mahal dibanding di toko buku. Belum lagi setiap tahun pelajaran penggunaan buku teks berubah," ungkapnya saat focus group discussion (FGD) persaingan usaha yang sehat dalam industri buku pelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di hotel Santika, Makassar, Kamis, (14/11/2013).
Dari prilaku ini, lanjut dia, membuka potensi perilaku anti persaingan dalam industri buku pelajaran, dimana menciptakan hubungan ekslusif antara pihak penerbit/distributor buku tertentu dengan sekolah menciptakan hambatan masuk bagi penerbit buku/distributor pesaing atau toko buku dalam memasarkan produknya.
Padahal dalam Undang-Undang persaingan usaha telah mengatur persaingan usaha yang sehat yang bertujuan memelihara pasar yang kompetitif dan terhindar dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi atau menghilangkan persaingan.
Komisioner KPPU Pusat Sukarni mengungkapkan, pada awal tahun pelajaran, buku teks pelajaran tidak beredar di toko buku, namun hanya tersedia di sekolah, dimana siswa diwajibkan membeli buku di Sekolah.
Buku-buku itu baru bisa didapatkan di toko setelah dua sampai tiga bulan ajaran baru berlalu. Akibatnya, muncul dead weihgt loss karena konsumen harus membayar harga buku lebih mahal.
Selain itu, siswa dan orang tua siswa menjadi price taker karena berkurangnya pilihan atau tidak ada pilihan sehingga siswa harus membeli buku di sekolah. Deal sudah terjadi antara kepala sekolah dan penerbit.
"Makanya penetapan harga buku di sekolah lebih mahal dibanding di toko buku. Belum lagi setiap tahun pelajaran penggunaan buku teks berubah," ungkapnya saat focus group discussion (FGD) persaingan usaha yang sehat dalam industri buku pelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di hotel Santika, Makassar, Kamis, (14/11/2013).
Dari prilaku ini, lanjut dia, membuka potensi perilaku anti persaingan dalam industri buku pelajaran, dimana menciptakan hubungan ekslusif antara pihak penerbit/distributor buku tertentu dengan sekolah menciptakan hambatan masuk bagi penerbit buku/distributor pesaing atau toko buku dalam memasarkan produknya.
Padahal dalam Undang-Undang persaingan usaha telah mengatur persaingan usaha yang sehat yang bertujuan memelihara pasar yang kompetitif dan terhindar dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi atau menghilangkan persaingan.
(gpr)