CORE melihat pemerintah lebih suka mengotak-atik impor
A
A
A
Sindonews.com - Akibat ketidakjujuran dalam melihat masalah, langkah kebijakan ekonomi selama 2013 tidak memadai untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan, arah kebijakan ekonomi semakin tidak jelas dalam menjaga kepentingan nasional.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini melalui siaran persnya, Rabu (18/12/2013). CORE mencatat dalam paket kebijakan Agustus dan November, untuk mengurangi tekanan defisit pemerintah cenderung memilih mengotak-atik impor barang konsumsi dibandingkan kebijakan mengurangi ketergantungan pada impor untuk industri. Salah satunya, pemerintah menaikkan PPh 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
Meskipun tarif baru dikenakan pada 502 jenis barang, namun jumlah tersebut tidak signifikan karena hanya sebesar 3,3 persen dari total komoditas impor. Belum lagi tambahan tarif hanya diberikan untuk kelompok barang elektronik dan handphone, kendaraan bermotor, produk fashion dan mainan anak, sehingga tujuan kebijakan untuk mengurangi laju impor dan menekan defisit perdagangan tidak akan signifikan.
"Benar bahwa dalam jangka pendek tidak mudah mengurangi ketergantungan atas bahan baku impor. Tapi, paket kebijakan semestinya dapat diterapkan pada sejumlah barang. Meski terbatas, kebijakan seperti ini akan memberikan sinyal bahwa pemerintah akan melakukan reorientasi kebijakan dengan terus mengurangi ketergantungan impor, dan memberikan insentif bagi penyerapan bahan baku serta penolong lokal," papar Hendri.
Namun, dalam paket kebijakan pemerintah justru hanya akan dilakukan perbaikan mekanisme untuk memperlancar impor, bukan pemberian insentif untuk mendorong produksi nasional. Untuk impor bahan pangan dan hortikultura, izin impor akan dikeluarkan berapapun jumlah yang diajukan, bahkan ada kelonggaran peningkatan impor 10 persen dibanding tahun lalu, asal memenuhi persyaratan tingkat realisasi minimal tahun lalu yakni 80 persen.
CORE melihat formula izin impor diberikan tanpa memasukkan faktor tingkat produksi nasional. Meskipun produksi nasional meningkat, izin impor akan diberikan asal persyaratan impor terpenuhi. Padahal, bila pasar telah dibanjiri produk impor, tentu tidak ada insentif bagi produksi dalam negeri.
Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini melalui siaran persnya, Rabu (18/12/2013). CORE mencatat dalam paket kebijakan Agustus dan November, untuk mengurangi tekanan defisit pemerintah cenderung memilih mengotak-atik impor barang konsumsi dibandingkan kebijakan mengurangi ketergantungan pada impor untuk industri. Salah satunya, pemerintah menaikkan PPh 22 atas impor barang tertentu dari semula 2,5 persen menjadi 7,5 persen.
Meskipun tarif baru dikenakan pada 502 jenis barang, namun jumlah tersebut tidak signifikan karena hanya sebesar 3,3 persen dari total komoditas impor. Belum lagi tambahan tarif hanya diberikan untuk kelompok barang elektronik dan handphone, kendaraan bermotor, produk fashion dan mainan anak, sehingga tujuan kebijakan untuk mengurangi laju impor dan menekan defisit perdagangan tidak akan signifikan.
"Benar bahwa dalam jangka pendek tidak mudah mengurangi ketergantungan atas bahan baku impor. Tapi, paket kebijakan semestinya dapat diterapkan pada sejumlah barang. Meski terbatas, kebijakan seperti ini akan memberikan sinyal bahwa pemerintah akan melakukan reorientasi kebijakan dengan terus mengurangi ketergantungan impor, dan memberikan insentif bagi penyerapan bahan baku serta penolong lokal," papar Hendri.
Namun, dalam paket kebijakan pemerintah justru hanya akan dilakukan perbaikan mekanisme untuk memperlancar impor, bukan pemberian insentif untuk mendorong produksi nasional. Untuk impor bahan pangan dan hortikultura, izin impor akan dikeluarkan berapapun jumlah yang diajukan, bahkan ada kelonggaran peningkatan impor 10 persen dibanding tahun lalu, asal memenuhi persyaratan tingkat realisasi minimal tahun lalu yakni 80 persen.
CORE melihat formula izin impor diberikan tanpa memasukkan faktor tingkat produksi nasional. Meskipun produksi nasional meningkat, izin impor akan diberikan asal persyaratan impor terpenuhi. Padahal, bila pasar telah dibanjiri produk impor, tentu tidak ada insentif bagi produksi dalam negeri.
(dmd)