Pertamina keluhkan campur tangan politik
A
A
A
Sindonews.com - PT Pertamina (Persero) mengeluhkan hingar bingar politik dalam polemik harga elpiji 12 kilogram (kg) beberapa waktu lalu menimbulkan ketidakkonsistenan seluruh pemangku kebijakan perseroan.
VP Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menyayangkan terjadinya kekisruhan kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut akibat campur tangan politik ke dalam komoditas ekonomi.
"Ini persis seperti lempar mercon ketika sudah meledak semua lari. Ini repotnya kalau komoditas ekonomi jadi komoditas politik," ujar Ali di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (14/1/2013).
Beberapa stakeholder tersebut, rinci Ali, adalah DPR, pemerintah, masyarakat sampai insan media. "Hebohnya luar biasa dan perlu ketegasan termasuk masyarakat. Bahkan harga sudah diturunkan masih dibikin ramai," keluh Ali.
Ali mengungkapkan, apabila harga elpiji 12 kg dinaikkan sampai dengan keekonomian, maka kenaikannya bisa mencapai Rp5.000 per kilogram. Namun mengingat Pertamina adalah BUMN yang sahamnya dimilikki oleh pemerintah, maka pihaknya tidak dapat menaikkan harga sesukanya.
"Sebagai korporasi idealnya seperti itu, tapi kita kan BUMN yang dimiliki oleh pemerintah juga," tandasnya.
Seperti diketahui, PT Pertamina akhirnya mengumumkan adanya revisi kenaikan harga elpiji ukuran 12 kilogram (kg) yang semula naik Rp3.500 per kg, menjadi hanya Rp1.000 per kg.
Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengatakan, dengan demikian maka harga per tabungnya menjadi sebesar Rp91.600 untuk elpiji non subsidi.
"Kami setelah mengikuti perkembangan di masyarakat dan mengikuti rapat di tempat Pak Wapres dan pertemuan lain serta hasil RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) memutuskan ada revisi kenaikan harga elpiji 12 kg, berlaku besok jam 00.00. Yang tadi Rp3.500 per kg, menjadi Rp1.000," kata Karen di Gedung Pertamina Pusat beberapa waktu lalu.
Atas revisi ini, lanjut Karen, maka Pertamina akan mengalami kenaikan potensi kerugian dari semula Rp2,2 triliun menjadi Rp5,3 triliun.
"Kerugian Pertamina di akhir 2014 kalau naiknya Rp3.500 per kg adalah sebesar Rp2,2 triliun. Sementara dengan kenaikan harga hanya sebesar Rp1.000 per kg maka kerugian kita menjadi Rp5,355 triliun (di kurs Rp10.000/USD) sampai Rp6,247 triliun (di kurs Rp12,250/USD)," pungkas dia.
VP Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir menyayangkan terjadinya kekisruhan kenaikan harga elpiji 12 kg tersebut akibat campur tangan politik ke dalam komoditas ekonomi.
"Ini persis seperti lempar mercon ketika sudah meledak semua lari. Ini repotnya kalau komoditas ekonomi jadi komoditas politik," ujar Ali di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (14/1/2013).
Beberapa stakeholder tersebut, rinci Ali, adalah DPR, pemerintah, masyarakat sampai insan media. "Hebohnya luar biasa dan perlu ketegasan termasuk masyarakat. Bahkan harga sudah diturunkan masih dibikin ramai," keluh Ali.
Ali mengungkapkan, apabila harga elpiji 12 kg dinaikkan sampai dengan keekonomian, maka kenaikannya bisa mencapai Rp5.000 per kilogram. Namun mengingat Pertamina adalah BUMN yang sahamnya dimilikki oleh pemerintah, maka pihaknya tidak dapat menaikkan harga sesukanya.
"Sebagai korporasi idealnya seperti itu, tapi kita kan BUMN yang dimiliki oleh pemerintah juga," tandasnya.
Seperti diketahui, PT Pertamina akhirnya mengumumkan adanya revisi kenaikan harga elpiji ukuran 12 kilogram (kg) yang semula naik Rp3.500 per kg, menjadi hanya Rp1.000 per kg.
Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan mengatakan, dengan demikian maka harga per tabungnya menjadi sebesar Rp91.600 untuk elpiji non subsidi.
"Kami setelah mengikuti perkembangan di masyarakat dan mengikuti rapat di tempat Pak Wapres dan pertemuan lain serta hasil RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) memutuskan ada revisi kenaikan harga elpiji 12 kg, berlaku besok jam 00.00. Yang tadi Rp3.500 per kg, menjadi Rp1.000," kata Karen di Gedung Pertamina Pusat beberapa waktu lalu.
Atas revisi ini, lanjut Karen, maka Pertamina akan mengalami kenaikan potensi kerugian dari semula Rp2,2 triliun menjadi Rp5,3 triliun.
"Kerugian Pertamina di akhir 2014 kalau naiknya Rp3.500 per kg adalah sebesar Rp2,2 triliun. Sementara dengan kenaikan harga hanya sebesar Rp1.000 per kg maka kerugian kita menjadi Rp5,355 triliun (di kurs Rp10.000/USD) sampai Rp6,247 triliun (di kurs Rp12,250/USD)," pungkas dia.
(gpr)