ISNU nilai pemerintah inkonsistensi soal harga elpiji
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Ali Masykur Musa menilai kebijakan pemerintah yang menganulir aksi korporasi Pertamina dan memutuskan kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram (kg) nonsubsidi hanya Rp1.000 per kilogram, karena inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Menurutnya, kebijakan yang diambil Pertamina ini menimbulkan reaksi negatif masyarakat dan para menteri yang sebelumnya memberikan sinyal positif terhadap kenaikan elpiji non subsidi, kemudian saling buang badan serta politisi melalui fraksi-fraksi DPR juga berlomba-lomba menyalahkan Pertamina termasuk partai penguasa.
"Pertamina kemudian menganulir aksi korporasi dan memutuskan kenaikan elpiji nonsubsidi hanya Rp1.000/kg, ini terjadi karena inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk peraturan yang dibuat sendiri," ujar dia di Jakarta, Selasa (14/1/2014).
Pria yang juga sebagai anggota BPK ini menjelaskan, ada beberapa isyarat inkonsistensi pemerintah tersebut. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada uji materi Undang-Undang Migas Nomer 22 Tahun 2001 pada tahun 2014 telah membatalkan pasal 28 ayat (2) tentang liberalisasi harga BBM/BBG.
Kedua, melaui Undang-Undang Migas No 22/2001, Pertamina telah dirombak menjadi BUMN perseroan dan tunduk UU No 1/1995 tentang perseroan terbatas dan UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa orientasi kegiatan perseroan adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. "Artinya Pertamina harus untung dan jika rugi berarti melanggar UU," tuturnya.
Sementara yang ketiga, kata dia, pemerintah mencanangkan pengatastamaan pengguna gas dengan Indonesia defisit lifting minyak dan surplus produksi gas, tetapi roadmap pemerintah tidak jelas, sehingga tidak ada proyeksi tentang kesinambungan penyediaan bahan bakunya dalam jangka panjang.
"Akibatnya meskipun negeri ini surplus produksi gas tetapi karena 56 persen produksi gas telah terikat ekspor penjualan jangka panjang," ungkapnya.
Indonesia, menurutnya, harus mengimpor semakin banyak bahan baku untuk dikonversi menjadi produk turunan seperti elpiji.
Lebih lanjut dia menyerukan semua pihak untuk kembali kepada konstitusi dan taat pada putusan MK yang meletakan BBM/BBG bukan sebagai komoditas komersial biasa, tetapi komoditas strategis yang penting bagi negara menguasai hajat hidup orang banyak.
Ditambahkannya, Undang-Undang Migas yang menjadi tonggak liberalisasi industri migas nasional harus dirombak total. "Harga BBM/BBG harus ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kemapuan daya beli masyarakat," pungkasnya.
Menurutnya, kebijakan yang diambil Pertamina ini menimbulkan reaksi negatif masyarakat dan para menteri yang sebelumnya memberikan sinyal positif terhadap kenaikan elpiji non subsidi, kemudian saling buang badan serta politisi melalui fraksi-fraksi DPR juga berlomba-lomba menyalahkan Pertamina termasuk partai penguasa.
"Pertamina kemudian menganulir aksi korporasi dan memutuskan kenaikan elpiji nonsubsidi hanya Rp1.000/kg, ini terjadi karena inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam berbagai bentuk peraturan yang dibuat sendiri," ujar dia di Jakarta, Selasa (14/1/2014).
Pria yang juga sebagai anggota BPK ini menjelaskan, ada beberapa isyarat inkonsistensi pemerintah tersebut. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada uji materi Undang-Undang Migas Nomer 22 Tahun 2001 pada tahun 2014 telah membatalkan pasal 28 ayat (2) tentang liberalisasi harga BBM/BBG.
Kedua, melaui Undang-Undang Migas No 22/2001, Pertamina telah dirombak menjadi BUMN perseroan dan tunduk UU No 1/1995 tentang perseroan terbatas dan UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyebutkan bahwa orientasi kegiatan perseroan adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. "Artinya Pertamina harus untung dan jika rugi berarti melanggar UU," tuturnya.
Sementara yang ketiga, kata dia, pemerintah mencanangkan pengatastamaan pengguna gas dengan Indonesia defisit lifting minyak dan surplus produksi gas, tetapi roadmap pemerintah tidak jelas, sehingga tidak ada proyeksi tentang kesinambungan penyediaan bahan bakunya dalam jangka panjang.
"Akibatnya meskipun negeri ini surplus produksi gas tetapi karena 56 persen produksi gas telah terikat ekspor penjualan jangka panjang," ungkapnya.
Indonesia, menurutnya, harus mengimpor semakin banyak bahan baku untuk dikonversi menjadi produk turunan seperti elpiji.
Lebih lanjut dia menyerukan semua pihak untuk kembali kepada konstitusi dan taat pada putusan MK yang meletakan BBM/BBG bukan sebagai komoditas komersial biasa, tetapi komoditas strategis yang penting bagi negara menguasai hajat hidup orang banyak.
Ditambahkannya, Undang-Undang Migas yang menjadi tonggak liberalisasi industri migas nasional harus dirombak total. "Harga BBM/BBG harus ditetapkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan kemapuan daya beli masyarakat," pungkasnya.
(gpr)