Pertamina diminta fokus tingkatkan lifting
A
A
A
Sindonews.com - Rencana PT Pertamina (Persero) mengakuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai salah arah. Pengamat minyak dan Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia dari Universitas Indonesia (UI), Iwa Garniwa mengatakan, persoalan minyak dan gas di Indonesia lebih disebabkan tata kelola yang tidak baik.
“Tata kelola migas itu bagaimana suplai bisa sampai kepada demand dan butuh infrastruktur. Akusisi itu tidak otomatis infrastruktur terbangun,” ujar Iwa dalam siaran persnya, Selasa (21/1/2014).
Menurut Iwa, karut marut tata kelola migas nasional disebabkan regulasi open access dan unbundling. Regulasi tersebut sangat menguntungkan para broker gas karena tidak perlu membangun infrastruktur.
Ketimbang ingin mencaplok PGN, sejatinya Pertamina harus memperbaiki target lifting minyak yang selama ini meleset. Lanjut Iwa, selama ini Pertamina selalu gagal dalam meningkatkan lifting minyak.
“Mereka tidak pernah menemukan ladang minyak baru. Mereka bekerja seperti broker, ladang minyak yang dimiliki dikerjasamakan operasinya,” paparnya.
Karena itu, Iwa menyarankan kepada pemerintah agar Pertamina tetap fokus pada core business-nya meningkatkan lifting dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM). Pertamina di bidang minyak, PGN dan Pertagas mengurus gas, dan PLN bertanggung jawab urusan listrik. Sehingga menjadi fokus dan efisien.
Jika Pertamina ngotot dan memaksa mengakusisi PGN, Iwa memastika BUMN produsen migas tersebut akan memiliki organisasi yang semakin besar. Akibatnnya, Pertamina akan semakin tidak fokus dan tidak efesien.
Pendapat senada juga diutarakan anggota Komisi VI DPR Chairuman Harahap. Menurut Chairuman, sejatinya Pertamina fokus mengeksplorasi sumur-sumur baru, di antaranya mengakuisisi Blok Mahakam yang kontraknya akan habis tahun 2017.
“Akuisisi PGN tidak dibutuhkan pemerintah. Pertamina harus dapat mengakuisisi Blok Mahakam dari kepemilikan asing dan meningkatkan lifting minyak,” ujarnya, Kamis 16 Januari. Lanjut Chairuman akibat lifting minyak yang terus menurun, maka impor migas semakin besar yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, jika Pertamina mengakuisisi PGN, maka bisa terjadi kemunduran dalam tata kelola migas. Pasalnya pola bisnis Pertamina dianggap tidak ubahnya seperti dahulu.
“Ini ancaman. Pertamina ingin menjadi trader kembali, membuat good corporate governance (GCG) yang selama ini dibangun menjadi mundur. Pertamina ingin seperti dulu lagi, menguasai sumber migas. Namun ketika itu yang terjadi, bukan memberi kontribusi kepada negara, melainkan terjadi korupsi secara besar-besaran," katanya di Jakarta.
Menurut Uchok, daripada sibuk dengan persoalan akuisisi terhadap PGN, lebih baik Pertamina melepaskan Pertagas sehingga Pertamina fokus untuk mengurus eksploitasi dan eksplorasi minyak dan usaha gas bumi secara bertahap diserahkan kepada PGN.
"Hal ini bertujuan supaya Pertamina tetap fokus di minyak dan bisa berkompetisi di dunia internasional," lanjutnya.
“Tata kelola migas itu bagaimana suplai bisa sampai kepada demand dan butuh infrastruktur. Akusisi itu tidak otomatis infrastruktur terbangun,” ujar Iwa dalam siaran persnya, Selasa (21/1/2014).
Menurut Iwa, karut marut tata kelola migas nasional disebabkan regulasi open access dan unbundling. Regulasi tersebut sangat menguntungkan para broker gas karena tidak perlu membangun infrastruktur.
Ketimbang ingin mencaplok PGN, sejatinya Pertamina harus memperbaiki target lifting minyak yang selama ini meleset. Lanjut Iwa, selama ini Pertamina selalu gagal dalam meningkatkan lifting minyak.
“Mereka tidak pernah menemukan ladang minyak baru. Mereka bekerja seperti broker, ladang minyak yang dimiliki dikerjasamakan operasinya,” paparnya.
Karena itu, Iwa menyarankan kepada pemerintah agar Pertamina tetap fokus pada core business-nya meningkatkan lifting dan mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM). Pertamina di bidang minyak, PGN dan Pertagas mengurus gas, dan PLN bertanggung jawab urusan listrik. Sehingga menjadi fokus dan efisien.
Jika Pertamina ngotot dan memaksa mengakusisi PGN, Iwa memastika BUMN produsen migas tersebut akan memiliki organisasi yang semakin besar. Akibatnnya, Pertamina akan semakin tidak fokus dan tidak efesien.
Pendapat senada juga diutarakan anggota Komisi VI DPR Chairuman Harahap. Menurut Chairuman, sejatinya Pertamina fokus mengeksplorasi sumur-sumur baru, di antaranya mengakuisisi Blok Mahakam yang kontraknya akan habis tahun 2017.
“Akuisisi PGN tidak dibutuhkan pemerintah. Pertamina harus dapat mengakuisisi Blok Mahakam dari kepemilikan asing dan meningkatkan lifting minyak,” ujarnya, Kamis 16 Januari. Lanjut Chairuman akibat lifting minyak yang terus menurun, maka impor migas semakin besar yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan Indonesia.
Beberapa waktu yang lalu Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi mengatakan, jika Pertamina mengakuisisi PGN, maka bisa terjadi kemunduran dalam tata kelola migas. Pasalnya pola bisnis Pertamina dianggap tidak ubahnya seperti dahulu.
“Ini ancaman. Pertamina ingin menjadi trader kembali, membuat good corporate governance (GCG) yang selama ini dibangun menjadi mundur. Pertamina ingin seperti dulu lagi, menguasai sumber migas. Namun ketika itu yang terjadi, bukan memberi kontribusi kepada negara, melainkan terjadi korupsi secara besar-besaran," katanya di Jakarta.
Menurut Uchok, daripada sibuk dengan persoalan akuisisi terhadap PGN, lebih baik Pertamina melepaskan Pertagas sehingga Pertamina fokus untuk mengurus eksploitasi dan eksplorasi minyak dan usaha gas bumi secara bertahap diserahkan kepada PGN.
"Hal ini bertujuan supaya Pertamina tetap fokus di minyak dan bisa berkompetisi di dunia internasional," lanjutnya.
(gpr)