Indonesia berpotensi bisa jualan air
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia masih membutuhkan banyak waduk-waduk untuk menampung air. Namun, biaya yang tidak murah memaksa pemerintah untuk menerapkan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S Priatna menjelaskan, bisa saja waduk yang nanti dibangun milik swasta 100 persen atau bisa dam multipurpose. Hal itu, tergantung dengan perjanjian yang akan dibuat nantinya.
Dia melanjutkan, jika sudah dibangun, maka waduk tersebut dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian atau listrik. Jika miliki swasta, nantinya pemanfaatan air akan dikenakan biaya yang disebut biaya pengelolaan sumber daya air (BPDSA).
"Itu bayar, berapa per kubiknya kayak DKI. Kayaknya yang di Jatiluhur itu DKI bayar Rp160-Rp175 per meter kubik (m3), atau PLN menggunakan air di Jatiluhur itu Rp165 per kwh," tutur dia di kantornya, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Meski demikian, dia mengkhawatirkan ide ini akan mendapat pertentangan dari pihak-pihak tertentu. "Karena nanti muncul kritik, lah air kan karunia gusti Allah kenapa saya harus bayar," jelasnya.
"Padahal bayar adalah untuk memelihara hulu, sungai supaya tidak terjadi sedementasi, banjir, juga tidak kotor, agar airnya tidak kotor. Karena kalau tersedimentasi kan airnya jadi sedikit, karena tanah sungainya menjadi dangkal, volume air berkurang, yah akhirnya melebar ke penduduk," tutur dia.
Dia melanjutkan, anggaran tersebut juga akan dipakai untuk mengatasi sedimentasi. Pasalnya, saat ini banyak dam yang tidak pernah dikeruk alias dragging.
"Bayangkan di Indonesia ini, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sekarang punya 261 dam, PLN 12, swasta 11, PU lah yang paling gede, itu dam-damnya enggak pernah dikeruk, itu tersedemintasi karena air. Terus karena di hulunya pasir dan segala macam, kalau sungai dikeruk, kalaupun dengan terbatas, tapi waduk enggak pernah dikeruk, sampai sekarang ada yang sedimentasinya mencapai 85 persen," tukas dia.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S Priatna menjelaskan, bisa saja waduk yang nanti dibangun milik swasta 100 persen atau bisa dam multipurpose. Hal itu, tergantung dengan perjanjian yang akan dibuat nantinya.
Dia melanjutkan, jika sudah dibangun, maka waduk tersebut dapat dimanfaatkan untuk irigasi pertanian atau listrik. Jika miliki swasta, nantinya pemanfaatan air akan dikenakan biaya yang disebut biaya pengelolaan sumber daya air (BPDSA).
"Itu bayar, berapa per kubiknya kayak DKI. Kayaknya yang di Jatiluhur itu DKI bayar Rp160-Rp175 per meter kubik (m3), atau PLN menggunakan air di Jatiluhur itu Rp165 per kwh," tutur dia di kantornya, Jakarta, Kamis (23/1/2014).
Meski demikian, dia mengkhawatirkan ide ini akan mendapat pertentangan dari pihak-pihak tertentu. "Karena nanti muncul kritik, lah air kan karunia gusti Allah kenapa saya harus bayar," jelasnya.
"Padahal bayar adalah untuk memelihara hulu, sungai supaya tidak terjadi sedementasi, banjir, juga tidak kotor, agar airnya tidak kotor. Karena kalau tersedimentasi kan airnya jadi sedikit, karena tanah sungainya menjadi dangkal, volume air berkurang, yah akhirnya melebar ke penduduk," tutur dia.
Dia melanjutkan, anggaran tersebut juga akan dipakai untuk mengatasi sedimentasi. Pasalnya, saat ini banyak dam yang tidak pernah dikeruk alias dragging.
"Bayangkan di Indonesia ini, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) sekarang punya 261 dam, PLN 12, swasta 11, PU lah yang paling gede, itu dam-damnya enggak pernah dikeruk, itu tersedemintasi karena air. Terus karena di hulunya pasir dan segala macam, kalau sungai dikeruk, kalaupun dengan terbatas, tapi waduk enggak pernah dikeruk, sampai sekarang ada yang sedimentasinya mencapai 85 persen," tukas dia.
(gpr)