DPR desak Tifatul jelaskan kajian tim ad hoc

Rabu, 29 Januari 2014 - 18:13 WIB
DPR desak Tifatul jelaskan...
DPR desak Tifatul jelaskan kajian tim ad hoc
A A A
Sindonews.com - Rencana PT XL Axiata Tbk (EXCL) mengakuisisi PT Axis Telekom Indonesia terus menuai jalan terjal. Dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi I DPR kemarin, Menkominfo Tifatul Sembiring dinilai tak transparan dalam memutus merger XL dan Axis.

Pasalnya, keputusan yang diambil tidak mewakili rekomendasi tim ad hoc. Karenanya Tifatul diberi kesempatan untuk menjelaskan kajian tim tersebut pada 4 Februari 2014.

Wakil Ketua Komisi I DPR Ramadhan Pohan, mengatakan bahwa kajian tim ad hoc merupakan acuan standar dalam memutuskan isu-isu strategis termasuk pengalihan frekuensi 1.800 Mhz milik Axis yang diberikan secara langsung kepada XL.

"Dari kajian tim ad hoc, DPR dapat menilai apakah keputusan yang diambil Menkominfo sudah sesuai dengan regulasi atau tidak," ujar Ramadhan, Rabu (29/1/2014).

Seperti diketahui, proses pengalihan frekuensi selebar 15 Mhz di 1800 Mhz dipersoalkan oleh DPR karena dinilai tidak sesuai dengan regulasi. Izin pemberian frekuensi tanpa tender dan evaluasi bertabrakan dengan UU Telekomunikasi No 36/1999, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.

Selain itu, DPR juga mempersoalkan kajian tim ad hoc yang tak satu pun digunakan Tifatul dalam memutus akuisi XL atas Axis. Sebelumnya, tim ad hoc menyodorkan tiga rekomendasi yang bisa dipilih Menkominfo terkait kepemilikan frekuensi pasca konsolidasi.

Pertama, menyetujui tawaran XL untuk mengembalikan frekuensi selebar 5MHz di spektrum 2,1GHz. Kedua, menarik frekuensi masing-masing 5 MHz di spektrum 2,1 MHz dan 1800 MHz, dan ketiga yaitu tidak dilakukan penarikan frekuensi.

Selain DPR, persetujuan yang diberikan Menkominfo juga mendapat kritikan dari pengamat telekomunikasi UI, Gunawan Wibisono. Menurutnya, tim ad hoc sendiri tidak ada. Keputusan merger itu merupakan buah kompromi dan yang memberikan masukan pun BRTI yang notabene merupakan bawahan menteri.

Gunawan mengatakan, sejak awal proses merger ini sudah salah karena pemerintah telah melanggar Pasal 25 ayat 1 PP No 53/2000. "Mereka berlindung pada Pasal 2, padahal sebenarnya yang boleh diizinkan menteri hanya ISR-nya bukan frekuensinya," ujarnya.

Dia mengatakan, pengalokasian frekuensi bekas Axis ke XL di pita 1.800 MHZ sebenarnya tidak ada dasarnya. Karena hal itu menjadikan XL frekuensinya sama dengan Telkomsel, padahal jumlah pelanggan Telkomsel jauh lebih besar. Hal ini, menunjukkan tidak adanya prinsip-prinsip keadilan.

Menanggapi hal itu, anggota BRTI Nonot Harsono mengatakan, rekomendasi tim yang tertulis memang tidak ada yang sesuai dengan keputusan Menkominfo, tapi rekomendasi lisan jauh lebih banyak.

Nonot berkilah, Menteri memilih salah satu saja. Pemerintah tidak menempuh kata pengembalian tapi rebalancing atau pengaturan ulang. Hasil akhir dari penataan frekuensi adalah keseimbangan daya saing dari tiga besar, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL.

Hal ini bertentangan dengan pernyataan anggota BRTI lain, Sigit Puspito Widadi yang pernah menyatakan bahwa tim ad hoc memberikan rekomendasi terbaik yang mengasumsikan pangsa pasar Telkomsel tergerus, sedangkan Indosat tetap.

Dengan kondisi tersebut menurut Sigit, persaingan usaha akan bagus. Dia juga menyatakan sebagai operator maverick, yakni operator yang cenderung berperan sebagai low cost competitor, pangsa pasar Asumsi XL dan Axis harus dijaga di level aman mulai dari 27-39 persen.

Terkait hal itu, Gunawan melihat sebagai keanehan karena BRTI sebagai regulator melakukan pengkondisian pasar yang seharusnya terjadi secara natural.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1182 seconds (0.1#10.140)