Pengembangan migas mulai digencarkan di Indonesia Timur
A
A
A
Sindonews.com - Pengembangan minyak dan gas bumi di Indonesia, sejak 1998 mengarah ke Indonesia bagian Timur. Seperti umumnya lapangan migas yang baru dikembangkan, banyak tantangan atau persoalan yang harus dihadapi.
Antara lain, hasil pengeboran di laut dalam yang masih kurang menggembirakan. Padahal, biaya pengeboran di laut dalam membutuhkan biaya sekitar USD80 juta hingga USD100 juta atau empat kali lipat dibandingkan pengeboran onshore.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Naryanto Wagimin mengatakan, hasil pengeboran di laut dalam yang kurang menggembirakan tersebut, perlu ditindaklanjuti dengan evaluasi lebih lanjut oleh pemerintah. Demikian pula terhadap insentif yang perlu diberikan. Ini penting agar pengembangan migas di Indonesia bagian timur dapat terus meningkat.
Naryanto menambahkan, tantangan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum ditemukannya migas di wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Papua Nugini.
“Kalau kita lihat, di perbatasan Papua Nugini sudah menghasilkan migas. Kenapa di sisi Indonesia kok tidak ada (migas),” katanya dikutip dari situs Ditjen Migas, Rabu (19/2/2014).
Hingga saat ini, sejumlah lapangan telah dikembangkan di Indonesia Timur seperti Lapangan Tangguh, Masela dan Donggi Senoro.
Berdasarkan data Ditjen Migas, total cekungan yang berlokasi di Indonesia bagian timur berjumlah 39 cekungan. Cekungan yang telah beroperasi adalah Seram, Salawati, Bintuni dan Bone. Sedangkan cekungan yang telah dibor namun belum berproduksi adalah Banggai, Sula, Biak dan Timur.
Sementara cekungan yang belum dieksplorasi adalah Lombok Bali, Flores, Gorontalo, Salabangka, Halmahera Selatan, Weber Barat, Weber, Waropen, Tiukang Besi, Tanimbar, Sula Selatan, Buru, Buru Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Obi Utara, Obi Selatan, Seram Selatan dan Jayapura.
Ada juga 9 cekungan yang telah dibor namun tidak ada penemuan yaitu Akimegah, Buton, Manui, Makassar Selatan, Missol, Palung Aru, Sahul, Sawu, Waipoga dan Lairing.
Antara lain, hasil pengeboran di laut dalam yang masih kurang menggembirakan. Padahal, biaya pengeboran di laut dalam membutuhkan biaya sekitar USD80 juta hingga USD100 juta atau empat kali lipat dibandingkan pengeboran onshore.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM, Naryanto Wagimin mengatakan, hasil pengeboran di laut dalam yang kurang menggembirakan tersebut, perlu ditindaklanjuti dengan evaluasi lebih lanjut oleh pemerintah. Demikian pula terhadap insentif yang perlu diberikan. Ini penting agar pengembangan migas di Indonesia bagian timur dapat terus meningkat.
Naryanto menambahkan, tantangan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum ditemukannya migas di wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Papua Nugini.
“Kalau kita lihat, di perbatasan Papua Nugini sudah menghasilkan migas. Kenapa di sisi Indonesia kok tidak ada (migas),” katanya dikutip dari situs Ditjen Migas, Rabu (19/2/2014).
Hingga saat ini, sejumlah lapangan telah dikembangkan di Indonesia Timur seperti Lapangan Tangguh, Masela dan Donggi Senoro.
Berdasarkan data Ditjen Migas, total cekungan yang berlokasi di Indonesia bagian timur berjumlah 39 cekungan. Cekungan yang telah beroperasi adalah Seram, Salawati, Bintuni dan Bone. Sedangkan cekungan yang telah dibor namun belum berproduksi adalah Banggai, Sula, Biak dan Timur.
Sementara cekungan yang belum dieksplorasi adalah Lombok Bali, Flores, Gorontalo, Salabangka, Halmahera Selatan, Weber Barat, Weber, Waropen, Tiukang Besi, Tanimbar, Sula Selatan, Buru, Buru Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Obi Utara, Obi Selatan, Seram Selatan dan Jayapura.
Ada juga 9 cekungan yang telah dibor namun tidak ada penemuan yaitu Akimegah, Buton, Manui, Makassar Selatan, Missol, Palung Aru, Sahul, Sawu, Waipoga dan Lairing.
(gpr)