Bali tekor Rp40 miliar untuk bayar premi kesehatan
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah Provinsi Bali harus tekor hingga Rp40 miliar lebih untuk membayar premsi Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) pada 2013.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Ketut Suarjaya mengakui, tahun lalu terjadi pembengkakan penggunaan angggaran untuk mendukung program JKBM.
Padahal sejak digulirkan sejak 2010 hingga 2012 selalu ada sisa lebih pengelolaan anggaran (Silpa). Penggunaan anggaran sekira 70-88 persen. Namun pada 2013, terjadi lonjakan untuk pembayaran premi kesehatan dalam program yang dipopulerkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
“Pengeluaran tahun lalu melonjak, akibat kesakitan yang tinggi, banyak warga masyarakat yang berobat,“ jelas Suarjaya saat sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kuta, Rabu (26/2/2014).
Meningkatnya angka kesehatan tahun lalu diakuinya menjelang perhelatan pemilihan gubernur bulan Mei. Kartu JKBM banyak disebar sehingga masyarakat banyak memanfaatkan untuk berobat gratis.
Sebenarnya, untuk mendukung keberhasilan program JKBM tidak bergantung pada anggaran provinsi namun juga kabupaten/kota. Masalahnya, beberapa daerah justru merasa keberatan dengan dana 'sharing' untuk pembayaran premi kesehatani masyarakat.
Saat ini dengan premi setiap warga sebesar Rp10 ribu perbulan saja, anggaran yang harus disiapkan mencapai Rp242 miliar lebih. Jumlah itu sedikitnya bisa menanggung untuk premi sekira 2,7 juta peserta.
Idealnya agar masyarakat dapat menikmati layanan kesehatan yang lebih, semua penyakit bisa tercover dengan layanan kelas 3, maka premi yang ditanggungkan sebesar Rp17.500 atau dibutuhkan dana Rp574 miliar. Jika ingin mendapatkan pelayanan yang lebih layak lagi sesuai ketentuan JKN, maka premi yang mesti ditanggungkan Rp19.500.
Hanya saja, hal itu belum mampu diterapkan di Bali lantaran kabupaten/kota masih terkendala anggaran atau masih keberatan dengan dana sharing sehingga tetap memilih JKBM.
Dibanding daerah lainnya di Indonesia, sampai saat ini Bali belum secara resmi bergabung dengan program JKN. Hal itu disebabkan selain pemahaman masyarakat yang belum memadai terhadap JKN, juga mereka masih nyaman dengan program yang ada saat ini yakni JKBM karena sederhana cukup dengan identitas KTP.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali Ketut Suarjaya mengakui, tahun lalu terjadi pembengkakan penggunaan angggaran untuk mendukung program JKBM.
Padahal sejak digulirkan sejak 2010 hingga 2012 selalu ada sisa lebih pengelolaan anggaran (Silpa). Penggunaan anggaran sekira 70-88 persen. Namun pada 2013, terjadi lonjakan untuk pembayaran premi kesehatan dalam program yang dipopulerkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
“Pengeluaran tahun lalu melonjak, akibat kesakitan yang tinggi, banyak warga masyarakat yang berobat,“ jelas Suarjaya saat sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Kuta, Rabu (26/2/2014).
Meningkatnya angka kesehatan tahun lalu diakuinya menjelang perhelatan pemilihan gubernur bulan Mei. Kartu JKBM banyak disebar sehingga masyarakat banyak memanfaatkan untuk berobat gratis.
Sebenarnya, untuk mendukung keberhasilan program JKBM tidak bergantung pada anggaran provinsi namun juga kabupaten/kota. Masalahnya, beberapa daerah justru merasa keberatan dengan dana 'sharing' untuk pembayaran premi kesehatani masyarakat.
Saat ini dengan premi setiap warga sebesar Rp10 ribu perbulan saja, anggaran yang harus disiapkan mencapai Rp242 miliar lebih. Jumlah itu sedikitnya bisa menanggung untuk premi sekira 2,7 juta peserta.
Idealnya agar masyarakat dapat menikmati layanan kesehatan yang lebih, semua penyakit bisa tercover dengan layanan kelas 3, maka premi yang ditanggungkan sebesar Rp17.500 atau dibutuhkan dana Rp574 miliar. Jika ingin mendapatkan pelayanan yang lebih layak lagi sesuai ketentuan JKN, maka premi yang mesti ditanggungkan Rp19.500.
Hanya saja, hal itu belum mampu diterapkan di Bali lantaran kabupaten/kota masih terkendala anggaran atau masih keberatan dengan dana sharing sehingga tetap memilih JKBM.
Dibanding daerah lainnya di Indonesia, sampai saat ini Bali belum secara resmi bergabung dengan program JKN. Hal itu disebabkan selain pemahaman masyarakat yang belum memadai terhadap JKN, juga mereka masih nyaman dengan program yang ada saat ini yakni JKBM karena sederhana cukup dengan identitas KTP.
(gpr)