Freeport setujui enam klausul renegosiasi
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah menegaskan potensi perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia semakin terbuka lebar karena perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini telah menyetujui enam klausul renegosiasi yang diajukan oleh pemerintah.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar mengatakan, persetujuan atas klausul renegosiasi ini segera akan dituangkan dalam nota kesepahaman di dalam amandemen KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Adapun keenam kalusul renegosiasi antara lain, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), pengurangan luas lahan tambang, perubahan perpanjangan kontrak menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP), kenaikan royalti, divestasi serta penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
“Semuanya sudah oke, tinggal amandemen kontrak sebentar lagi,” kata Sukhyar di Jakarta Senin (7/4/2014).
Menurut Sukhyar, Frepport telah mengolah 30 persen dari total pasokan konsentrat tembaga ke PT Smelting Gresik, Jawa Timur dan berkomitmen membangun smelter mulai 2017 kemudian sisanya akan diolah bersama PT Aneka Tambang (persero) dan PT Indosmelt.
Frepport, lanjut Sukhyar, juga bersedia mengurai luas tambang kemudian dikembalikan kepada pemerintah yang semula 212.000 hektare (ha) kini tinggal 127 ha.
“Sejumlah wilayah dikembalikan ke pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai area wagu dan guru dengan potensi batu apu,” katanya.
Dikatakannya, Freeport hanya membutuhkam 10.000 ha untuk kegiatan ekploitasi lantaran sudah beralih ke tambang bawah tanah. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan ketentuan luas lahan eksploitasi maksimal 25.000 ha bagi mineral dan logam serta 15.000 ha untuk eksploitasi batu bara.
“Tapi ini di luar area penunjang seperti pipa, pelabuhan yang juga butuh lahan. Selama periode kontrak masih berlangsung mereka masih bisa pegang lebih dari ketentuan undang-undang,” jelas Sukhyar.
Tekait penyesuaian royalti, kata Sukhyar, Freeport bersedia mengikuti ketentuan yang berlaku yakni Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2012 yang mengatur tentang Penerimaan Bukan Pajak. Adapun dalam PP memuat ketentuan besaran royalti sebesar 3,75 persen untuk emas dan perak 3,25 persen.
“Untuk PPh badan itu naildown tidak boleh berubah yang prevailing itu PNPB,” ungkapnya.
Sedangkan untuk klausul lainnya terkait divestasi saham, Freeport bersedia divestasi sebesar 30 persen karena akan beralih ke tambang bawah tanah dengan mempertimbangkan investasi teknologi serta keahlian yag dibutuhkan perusahaan yang cukup besar.
Adapun mekanismenya lebih dulu kepada pemerintah pusat kemudian ditawarkan kepada pemerintah daerah dan terakhir kepada swasta.
“Divestasi sampai kontrak selesai, saat ditawarkan kepada pemerintah tidak menggunakan harga pasar tapi dengan replacement cost berapa yang dikeluarkan itu yang dibayarkan bukan membeli resource-nya sendiri. Kalau beli resource-nya sendiri itu namanya jeruk makan jeruk,” ungkapnya.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesian Resources Mineral (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, kebijakan hilirisasi mineral ini akan meningkatkan nilai tambah berlipat karena mendorong tumbuhnya pembangunan smelter hingga USD25,5 miliar atau sekitar Rp300 triliun.
Pihaknya telah melakukan kajian mengenai manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari kebijkan hilirisasi mineral. Asumsi investasi yang diraup itu dalam pembangunan smelter pada periode 2014-2017.
“Setidaknya ada 185 proposal yang diajukan dalam membangun smelter dengan nilai USD25,5 miliar atau Rp300 triliun. Sedangkan penghematan devisa untuk 2017 mencapai USD10,17 miliar atau Rp120 triliun,” kata Marwan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar mengatakan, persetujuan atas klausul renegosiasi ini segera akan dituangkan dalam nota kesepahaman di dalam amandemen KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Adapun keenam kalusul renegosiasi antara lain, pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter), pengurangan luas lahan tambang, perubahan perpanjangan kontrak menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP), kenaikan royalti, divestasi serta penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri.
“Semuanya sudah oke, tinggal amandemen kontrak sebentar lagi,” kata Sukhyar di Jakarta Senin (7/4/2014).
Menurut Sukhyar, Frepport telah mengolah 30 persen dari total pasokan konsentrat tembaga ke PT Smelting Gresik, Jawa Timur dan berkomitmen membangun smelter mulai 2017 kemudian sisanya akan diolah bersama PT Aneka Tambang (persero) dan PT Indosmelt.
Frepport, lanjut Sukhyar, juga bersedia mengurai luas tambang kemudian dikembalikan kepada pemerintah yang semula 212.000 hektare (ha) kini tinggal 127 ha.
“Sejumlah wilayah dikembalikan ke pemerintah untuk dimanfaatkan sebagai area wagu dan guru dengan potensi batu apu,” katanya.
Dikatakannya, Freeport hanya membutuhkam 10.000 ha untuk kegiatan ekploitasi lantaran sudah beralih ke tambang bawah tanah. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan ketentuan luas lahan eksploitasi maksimal 25.000 ha bagi mineral dan logam serta 15.000 ha untuk eksploitasi batu bara.
“Tapi ini di luar area penunjang seperti pipa, pelabuhan yang juga butuh lahan. Selama periode kontrak masih berlangsung mereka masih bisa pegang lebih dari ketentuan undang-undang,” jelas Sukhyar.
Tekait penyesuaian royalti, kata Sukhyar, Freeport bersedia mengikuti ketentuan yang berlaku yakni Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2012 yang mengatur tentang Penerimaan Bukan Pajak. Adapun dalam PP memuat ketentuan besaran royalti sebesar 3,75 persen untuk emas dan perak 3,25 persen.
“Untuk PPh badan itu naildown tidak boleh berubah yang prevailing itu PNPB,” ungkapnya.
Sedangkan untuk klausul lainnya terkait divestasi saham, Freeport bersedia divestasi sebesar 30 persen karena akan beralih ke tambang bawah tanah dengan mempertimbangkan investasi teknologi serta keahlian yag dibutuhkan perusahaan yang cukup besar.
Adapun mekanismenya lebih dulu kepada pemerintah pusat kemudian ditawarkan kepada pemerintah daerah dan terakhir kepada swasta.
“Divestasi sampai kontrak selesai, saat ditawarkan kepada pemerintah tidak menggunakan harga pasar tapi dengan replacement cost berapa yang dikeluarkan itu yang dibayarkan bukan membeli resource-nya sendiri. Kalau beli resource-nya sendiri itu namanya jeruk makan jeruk,” ungkapnya.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesian Resources Mineral (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, kebijakan hilirisasi mineral ini akan meningkatkan nilai tambah berlipat karena mendorong tumbuhnya pembangunan smelter hingga USD25,5 miliar atau sekitar Rp300 triliun.
Pihaknya telah melakukan kajian mengenai manfaat dan dampak yang ditimbulkan dari kebijkan hilirisasi mineral. Asumsi investasi yang diraup itu dalam pembangunan smelter pada periode 2014-2017.
“Setidaknya ada 185 proposal yang diajukan dalam membangun smelter dengan nilai USD25,5 miliar atau Rp300 triliun. Sedangkan penghematan devisa untuk 2017 mencapai USD10,17 miliar atau Rp120 triliun,” kata Marwan.
(gpr)