Aturan non tarif barrier hambat produk hasil hutan RI
A
A
A
Sindonews.com - Produk hasil hutan Indonesia kesulitan masuk ke pasar internasional. Ini disebabkan beberapa negara maju menerapkan aturan non tarif barrier sehingga menghambat pemasaran produk hasil hutan Indonesia di pasar internasional.
Kepala Proyek dan Pengembangan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC), Sarah Price mengungkapkan, aturan non tarif barrier tersebut diterapkan Amerika Serikat (AS) berupa Lacey Act. Selanjutnya, untuk Uni Eropa menerapkan European Union Timber Regulation, dan Illegal Logging Prohibition Bill di Australia.
“Semua peraturan ini mengharuskan para pelaku pasar mengambil langkah tambahan untuk mengkonfirmasi status legalitas dari sumber produk-produk hutan yang memasuki pasar mereka,” ujar Sarah di Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Aturan yang diterapkan di AS, Uni Eropa dan Australia tersebut pada umumnya mensyarakatkan produk hasil hutan yang masuk diketahui asal-usulnya. Yakni, harus berasal dari kawasan hutan lestari.
“Di sinilah peran sertifikasi dalam membuat proses ini menjadi lebih mudah. Produk yang memiliki logo dari sistem sertifikasi yang ternama di dunia, seperti PEFC menandakan bahwa produk tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara lestari,” katanya.
Adanya logo pada produk tersebut juga menandakan informasi rantai pasokan yang telah diaudit. Di mana pembeli dapat mengetahui asal produk, dan menghilangkan adanya risiko ketidaksahan produk tersebut.
“Memperluas penerapan sertifikasi hutan di Indonesia mempunyai peran signifikan dalam meningkatkan pasar internasional untuk produk hutan Indonesia,” jelas Sarah.
Konsumen pada pasar-pasar utama, lanjut dia, berharap produk yang mereka beli memiliki kredential berkelanjutan (sustainability credential). “Produk tersebut telah disertifikasi oleh sistem yang diakui secara internasional seperti PEFC,” katanya.
Kepala Proyek dan Pengembangan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC), Sarah Price mengungkapkan, aturan non tarif barrier tersebut diterapkan Amerika Serikat (AS) berupa Lacey Act. Selanjutnya, untuk Uni Eropa menerapkan European Union Timber Regulation, dan Illegal Logging Prohibition Bill di Australia.
“Semua peraturan ini mengharuskan para pelaku pasar mengambil langkah tambahan untuk mengkonfirmasi status legalitas dari sumber produk-produk hutan yang memasuki pasar mereka,” ujar Sarah di Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Aturan yang diterapkan di AS, Uni Eropa dan Australia tersebut pada umumnya mensyarakatkan produk hasil hutan yang masuk diketahui asal-usulnya. Yakni, harus berasal dari kawasan hutan lestari.
“Di sinilah peran sertifikasi dalam membuat proses ini menjadi lebih mudah. Produk yang memiliki logo dari sistem sertifikasi yang ternama di dunia, seperti PEFC menandakan bahwa produk tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara lestari,” katanya.
Adanya logo pada produk tersebut juga menandakan informasi rantai pasokan yang telah diaudit. Di mana pembeli dapat mengetahui asal produk, dan menghilangkan adanya risiko ketidaksahan produk tersebut.
“Memperluas penerapan sertifikasi hutan di Indonesia mempunyai peran signifikan dalam meningkatkan pasar internasional untuk produk hutan Indonesia,” jelas Sarah.
Konsumen pada pasar-pasar utama, lanjut dia, berharap produk yang mereka beli memiliki kredential berkelanjutan (sustainability credential). “Produk tersebut telah disertifikasi oleh sistem yang diakui secara internasional seperti PEFC,” katanya.
(dmd)