SBY dinilai gagal bangkitkan usaha sektor pertanian
A
A
A
Sindonews.com - Peraturan Presiden (Perpres) No 39/2014 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai hanya akan meraksasakan kepentingan modal asing.
Perpres yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal tersebut, hanya akan "membunuh" kehidupan ekonomi masyarakat tani di Indonesia.
Sebab, spirit yang dikokohkan dari implementasi UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal tersebut adalah meliberalisasikan sektor agraris (pertanian).
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan, liberalisasi pertanian dengan kepemilikan modal asing 30-95 persen, sama halnya negara menciptakan gladiator ekonomi.
"Ibaratnya para petani dilempar ke tengah gelanggang gladiator. Singa-singa pemodal asing yang lapar akan dengan mudah menerkam dan mengoyaknya," ujar di kepada Sindo, Jumat (9/5/2014).
Usaha para petani lokal yang sebelumnya kembang kempis dan masih perlu perlindungan tangan negara, kata Sidik akan semakin tersingkir. Para modal asing yang hadir dengan wajah korporasi akan melumatkan seluruh urat nadi ekonomi petani lokal.
Mereka akan mengubah sektor riil pertanian menjadi industrialisasi dan sepenuhnya menghegemoni. Cita-cita kemandirian ekonomi, berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, papar aktivis sayap PDI Perjuangan itu, ibarat semakin menjauhnya panggang dari api.
"Secara otomatis usaha pertanian rakyat di dalam negeri akan mati. Ini akan semakin merapuhkan struktur ekonomi nasional," jelas dia.
Dampak sistemik berikutnya, jumlah rumah tangga petani (RTP) di pedesaan akan terus berkurang. Identitas masyarakat agraris akan berganti menjadi buruh tani.
Sementara, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, jumlah RTP selama 10 tahun terakhir (2003-2013) berkurang 16 persen atau sekitar 5,04 juta jiwa.
Bahkan dalam satu tahun terakhir ini, sesuai data BPS per Februari 2014, sebanyak 280 ribu orang berusia kerja produktif tidak lagi menjadi petani.
"Ini dampak nyata dari kebijakan pemerintah yang tidak pro petani. Sektor pertanian kerakyatan tidak lagi menjanjikan. Dan masyarakat memilih menjadi buruh di perkotaan," ujarnya.
Dibandingkan dengan kepedulian pemerintah terhadap usaha pertanian korporasi sangat berbeda. Setidaknya dapat dilihat dari peningkatan jumlah perusahaan perusahaan pertanian berbadan hukum.
Pada tahun 2003 total jumlah perusahaan pertanian di Indonesia tercatat sebanyak 4.011 unit. Pada 2013 jumlah tersebut naik menjadi 5.490 ribu atau 36,77 persen. Selama 10 tahun berkuasa, Sidik menuding SBY telah gagal membangkitkan usaha sektor pertanian.
Penyebab kegagalan, karena SBY tidak bersedia melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan amanat UUPA No 5 tahun 1960. Tanpa dilaksanakanya pembaharuan agraria, kedaulatan nasional dibidang pertanian tidak akan pernah terwujud.
"Puncaknya diterbitkanya Perpres 39 Tahun 2014 menjelang akhir kekuasaanya. Presiden SBY telah mengukuhkan diri sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru," terang Sidik.
Juru bicara Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar Farhan Mahfudzi menambahkan, di akhir kekuasaannya, pemerintahan SBY masih banyak meninggalkan kasus sengketa agraria yang tidak tuntas.
Khususnya di Kabupaten Blitar, tidak sedikit kasus yang justru menuai hasil yang merugikan masyarakat tani.
"Misalnya kasus di wilayah Blitar selatan atau di wilayah Kecamatan Ponggok. Justru keputusan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal dan institusi yang menjadi lawan masyarakat petani," kata dia.
Perpres yang mengatur daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal tersebut, hanya akan "membunuh" kehidupan ekonomi masyarakat tani di Indonesia.
Sebab, spirit yang dikokohkan dari implementasi UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal tersebut adalah meliberalisasikan sektor agraris (pertanian).
Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani Sidik Suhada mengatakan, liberalisasi pertanian dengan kepemilikan modal asing 30-95 persen, sama halnya negara menciptakan gladiator ekonomi.
"Ibaratnya para petani dilempar ke tengah gelanggang gladiator. Singa-singa pemodal asing yang lapar akan dengan mudah menerkam dan mengoyaknya," ujar di kepada Sindo, Jumat (9/5/2014).
Usaha para petani lokal yang sebelumnya kembang kempis dan masih perlu perlindungan tangan negara, kata Sidik akan semakin tersingkir. Para modal asing yang hadir dengan wajah korporasi akan melumatkan seluruh urat nadi ekonomi petani lokal.
Mereka akan mengubah sektor riil pertanian menjadi industrialisasi dan sepenuhnya menghegemoni. Cita-cita kemandirian ekonomi, berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, papar aktivis sayap PDI Perjuangan itu, ibarat semakin menjauhnya panggang dari api.
"Secara otomatis usaha pertanian rakyat di dalam negeri akan mati. Ini akan semakin merapuhkan struktur ekonomi nasional," jelas dia.
Dampak sistemik berikutnya, jumlah rumah tangga petani (RTP) di pedesaan akan terus berkurang. Identitas masyarakat agraris akan berganti menjadi buruh tani.
Sementara, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, jumlah RTP selama 10 tahun terakhir (2003-2013) berkurang 16 persen atau sekitar 5,04 juta jiwa.
Bahkan dalam satu tahun terakhir ini, sesuai data BPS per Februari 2014, sebanyak 280 ribu orang berusia kerja produktif tidak lagi menjadi petani.
"Ini dampak nyata dari kebijakan pemerintah yang tidak pro petani. Sektor pertanian kerakyatan tidak lagi menjanjikan. Dan masyarakat memilih menjadi buruh di perkotaan," ujarnya.
Dibandingkan dengan kepedulian pemerintah terhadap usaha pertanian korporasi sangat berbeda. Setidaknya dapat dilihat dari peningkatan jumlah perusahaan perusahaan pertanian berbadan hukum.
Pada tahun 2003 total jumlah perusahaan pertanian di Indonesia tercatat sebanyak 4.011 unit. Pada 2013 jumlah tersebut naik menjadi 5.490 ribu atau 36,77 persen. Selama 10 tahun berkuasa, Sidik menuding SBY telah gagal membangkitkan usaha sektor pertanian.
Penyebab kegagalan, karena SBY tidak bersedia melaksanakan pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan amanat UUPA No 5 tahun 1960. Tanpa dilaksanakanya pembaharuan agraria, kedaulatan nasional dibidang pertanian tidak akan pernah terwujud.
"Puncaknya diterbitkanya Perpres 39 Tahun 2014 menjelang akhir kekuasaanya. Presiden SBY telah mengukuhkan diri sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru," terang Sidik.
Juru bicara Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) Blitar Farhan Mahfudzi menambahkan, di akhir kekuasaannya, pemerintahan SBY masih banyak meninggalkan kasus sengketa agraria yang tidak tuntas.
Khususnya di Kabupaten Blitar, tidak sedikit kasus yang justru menuai hasil yang merugikan masyarakat tani.
"Misalnya kasus di wilayah Blitar selatan atau di wilayah Kecamatan Ponggok. Justru keputusan pemerintah lebih menguntungkan pemilik modal dan institusi yang menjadi lawan masyarakat petani," kata dia.
(izz)