MITI ajak pemuda konsumsi pangan lokal
A
A
A
Sindonews.com - Masih ingatkah kamu, kapan terakhir kali pergi ke pasar tadisional untuk membeli jeruk medan dan buah kesemek? Atau mampir ke pasar pagi untuk jajan getuk, tiwul, lemper, cucur, serta aneka pangan dan buah lokal lainnya?
Pada awal 2013, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) melakukan survei terhadap 500 konsumen di empat kota besar Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Hasilnya, terjadi perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang cenderung memilih pangan impor daripada pangan lokal.
Sebanyak 72,4 persen responden mengaku berkunjung lebih dari lima kali dalam sebulan ke gerai waralaba asing yang menjual makanan kemasan.
Ketua Umum MITI, Warsito Purwo Taruno mengatakan, perilaku konsumsi yang cenderung meninggalkan sumber daya pangan lokal tersebut menyebabkan maraknya impor pangan (beras, sayur, buah, hingga makanan kemasan). Gerai waralaba asing menjamur. Sementara rumah makan lokal kalah peminat.
Prihatin dengan kondisi tersebut, MITI bersama 100 anak muda dari berbagai komunitas pecinta pangan lokal, unit kegiatan mahasiswa di berbagai kampus seperti UI, UNTIRTA, IPB, UNJ, UIN Jakarta, melaksanakan Kampanye "Go Pangan Lokal" di bundaran Hotel Indonesia(HI).
Kampanye ini juga dilaksanakan serentak di sembilan kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Jambi, Makassar, dan Samarinda.
"Indonesia belum mampu menegakkan kedaulatan pangan. Kemiskinan petani, kerawanan pangan, serta asupan gizi masyarakat yang tidak seimbang, merupakan akibat dari tidak tersedianya pangan secara mandiri oleh masyarakat," ujar Warsito dalam Kampanye "Go Pangan Lokal" di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (18/5/2014).
Kampanye ini diharapkan dapat menjadi sarana penyadaran kepada masyarakat untuk kembali mencintai pangan lokal khas Indonesia yang dihasilkan oleh petani-petani Indonesia.
"Kami berharap dapat berkontribusi dalam usaha mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia," ujar dia.
Dalam mempopulerkan pangan lokal, dibutuhkan anak-anak muda yang dapat menjadi motor penggerak.
Indi Hikami dari Youth Food Movement (YFM) Indonesia dalam orasinya menyebutkan, perubahan pola konsumsi yang cenderung menyukai pangan impor banyak dialami oleh anak muda perkotaan. Sementara, anak muda di desa saat ini malas bertani.
Bukan hanya pola konsumsi yang berubah, petani pemroduksi pangan lokal terancam punah akibat anak-anak muda malas bertani. Tidak ada subsidi untuk petani, saluran irigasi rusak, jalur transportasi pemasaran sulit, dan tidak memiliki lahan untuk bertani adalah alasan anak muda enggan bertani.
Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, Indi mengajak anak-anak muda untuk kembali bertani dan mencintai pangan lokal. "Ayo, anak muda Indonesia kembali bertani untuk memproduksi pangan lokal. Yang di kota, jangan lupa beli produk lokal hasil kerja keras petani. Ber(t)ani karena benar! Go pangan lokal!" pungkasnya.
Pada awal 2013, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) melakukan survei terhadap 500 konsumen di empat kota besar Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Jakarta, dan Yogyakarta. Hasilnya, terjadi perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang cenderung memilih pangan impor daripada pangan lokal.
Sebanyak 72,4 persen responden mengaku berkunjung lebih dari lima kali dalam sebulan ke gerai waralaba asing yang menjual makanan kemasan.
Ketua Umum MITI, Warsito Purwo Taruno mengatakan, perilaku konsumsi yang cenderung meninggalkan sumber daya pangan lokal tersebut menyebabkan maraknya impor pangan (beras, sayur, buah, hingga makanan kemasan). Gerai waralaba asing menjamur. Sementara rumah makan lokal kalah peminat.
Prihatin dengan kondisi tersebut, MITI bersama 100 anak muda dari berbagai komunitas pecinta pangan lokal, unit kegiatan mahasiswa di berbagai kampus seperti UI, UNTIRTA, IPB, UNJ, UIN Jakarta, melaksanakan Kampanye "Go Pangan Lokal" di bundaran Hotel Indonesia(HI).
Kampanye ini juga dilaksanakan serentak di sembilan kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Jambi, Makassar, dan Samarinda.
"Indonesia belum mampu menegakkan kedaulatan pangan. Kemiskinan petani, kerawanan pangan, serta asupan gizi masyarakat yang tidak seimbang, merupakan akibat dari tidak tersedianya pangan secara mandiri oleh masyarakat," ujar Warsito dalam Kampanye "Go Pangan Lokal" di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (18/5/2014).
Kampanye ini diharapkan dapat menjadi sarana penyadaran kepada masyarakat untuk kembali mencintai pangan lokal khas Indonesia yang dihasilkan oleh petani-petani Indonesia.
"Kami berharap dapat berkontribusi dalam usaha mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia," ujar dia.
Dalam mempopulerkan pangan lokal, dibutuhkan anak-anak muda yang dapat menjadi motor penggerak.
Indi Hikami dari Youth Food Movement (YFM) Indonesia dalam orasinya menyebutkan, perubahan pola konsumsi yang cenderung menyukai pangan impor banyak dialami oleh anak muda perkotaan. Sementara, anak muda di desa saat ini malas bertani.
Bukan hanya pola konsumsi yang berubah, petani pemroduksi pangan lokal terancam punah akibat anak-anak muda malas bertani. Tidak ada subsidi untuk petani, saluran irigasi rusak, jalur transportasi pemasaran sulit, dan tidak memiliki lahan untuk bertani adalah alasan anak muda enggan bertani.
Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, Indi mengajak anak-anak muda untuk kembali bertani dan mencintai pangan lokal. "Ayo, anak muda Indonesia kembali bertani untuk memproduksi pangan lokal. Yang di kota, jangan lupa beli produk lokal hasil kerja keras petani. Ber(t)ani karena benar! Go pangan lokal!" pungkasnya.
(izz)