Pemerintah Diminta Tegas Jalankan Renegosiasi Freeport
A
A
A
JAKARTA - Pengamat energi dari Indonesian Resources Study Marwan Batubara meminta kepada pemerintah tegas dalam menjalankan renegosiasi sebelum menentukan arah perpanjangan kontrak Freeport. Pemerintah diminta menyelesaikan terlebih dulu masalah bea keluar progresif yang hingga kini belum tuntas.
“Mereka mintanya di bawah 10% ini terlau rendah. Penurunan harus realistis dari 20% ke 15%,” kata Marwan di Jakarta, Selasa (10/6/2014).
Marwan mendorong pemerintah untuk tidak segan-segan menutup sementara operasional Freeport di Grasberg, Papua. Bahkan pemerintah tidak perlu takut ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering dijadikan tameng perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia.
“Ini sebetulnya cuma alibi gertakan mereka saja. Buruh juga jangan termakan dengan alibi mereka saja,” ungkap Marwan.
Sementara pengamat energi dari ReforMinner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah memang harus hati-hati dalam menentukan formulasi renegoasiasi terkait perpanjangan KK Freeport. Terdapat dua hal yang dilihat, antara lain masalah bisnis dan nasionalisme.
“Kalau masalah nasionalisme atau posisi tawar kesimpulannya lain, tentu sejauh mana kita punya daya tawar yang kita inginkan. Tapi kalau masalah bisnis pilihannya adalah dikombinasikan dengan daya tawar,” tutur dia.
Menurut Komaidi, poin masalah renegosiasi tersebut tiak bisa berjalan sendiri. Pada akhirnya, pemerintah harus mencari jalan tengah untuk mencapai sebuah kesepakatan lantaran penerimaan negara di sektor tambang cukup signifikan.
“Kalau kemudian berhenti sama sekali seiring berjalannya proses renegosiasi tentu juga mengganggu perusahaan dan menggangu aspek keuangan negara. Ini yang pemerintah coba formulasikan,” ungkap Komaidi.
Memang seharusnya, Komaidi menjelaskan, pemerintah mengambil alih Freeport untuk bisa dikelola sendiri. Namun demikian, pemerintah tidak kemudian begitu saja mengambil alih keberadaan Freeport di Tanah Papua.
“Mengelola sendiri butuh biaya besar. Kalau memang pemerintah ingin mengambil alih harus ada terget, misalnya tahun 2020 diambil alih pemerintah harus menyiapkan segala sesuatunya sekarang dari segi keuangan dan segala macamnya,” jelas Komiadi.
Freeport sebelumnya telah sepakat terhadap dua poin terakhir yang masih jadi ganjalan, yakni mendivestasikan 30% saham saat masa kontraknya berakhir pada 2021. Seiring kesepakatan itu Freeport McMoran akan melepas 20,64% sahamnya di Freeport Indonesia kepada pemerintah dari penguasaannya saat ini sebesar 90,64% saham.
Selain itu, Freeport juga sepakat untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga sendiri berkapasitas 400.000 ton per tahun. Freeport akan menjalin kerja sama dengan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) untuk membangun smelter senilai USD 2,3 miliar.
“Mereka mintanya di bawah 10% ini terlau rendah. Penurunan harus realistis dari 20% ke 15%,” kata Marwan di Jakarta, Selasa (10/6/2014).
Marwan mendorong pemerintah untuk tidak segan-segan menutup sementara operasional Freeport di Grasberg, Papua. Bahkan pemerintah tidak perlu takut ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering dijadikan tameng perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia.
“Ini sebetulnya cuma alibi gertakan mereka saja. Buruh juga jangan termakan dengan alibi mereka saja,” ungkap Marwan.
Sementara pengamat energi dari ReforMinner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah memang harus hati-hati dalam menentukan formulasi renegoasiasi terkait perpanjangan KK Freeport. Terdapat dua hal yang dilihat, antara lain masalah bisnis dan nasionalisme.
“Kalau masalah nasionalisme atau posisi tawar kesimpulannya lain, tentu sejauh mana kita punya daya tawar yang kita inginkan. Tapi kalau masalah bisnis pilihannya adalah dikombinasikan dengan daya tawar,” tutur dia.
Menurut Komaidi, poin masalah renegosiasi tersebut tiak bisa berjalan sendiri. Pada akhirnya, pemerintah harus mencari jalan tengah untuk mencapai sebuah kesepakatan lantaran penerimaan negara di sektor tambang cukup signifikan.
“Kalau kemudian berhenti sama sekali seiring berjalannya proses renegosiasi tentu juga mengganggu perusahaan dan menggangu aspek keuangan negara. Ini yang pemerintah coba formulasikan,” ungkap Komaidi.
Memang seharusnya, Komaidi menjelaskan, pemerintah mengambil alih Freeport untuk bisa dikelola sendiri. Namun demikian, pemerintah tidak kemudian begitu saja mengambil alih keberadaan Freeport di Tanah Papua.
“Mengelola sendiri butuh biaya besar. Kalau memang pemerintah ingin mengambil alih harus ada terget, misalnya tahun 2020 diambil alih pemerintah harus menyiapkan segala sesuatunya sekarang dari segi keuangan dan segala macamnya,” jelas Komiadi.
Freeport sebelumnya telah sepakat terhadap dua poin terakhir yang masih jadi ganjalan, yakni mendivestasikan 30% saham saat masa kontraknya berakhir pada 2021. Seiring kesepakatan itu Freeport McMoran akan melepas 20,64% sahamnya di Freeport Indonesia kepada pemerintah dari penguasaannya saat ini sebesar 90,64% saham.
Selain itu, Freeport juga sepakat untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga sendiri berkapasitas 400.000 ton per tahun. Freeport akan menjalin kerja sama dengan PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) untuk membangun smelter senilai USD 2,3 miliar.
(rna)