BI Gaet Ulama Kendalikan Inflasi Jelang Ramadan
A
A
A
BANDUNG - Fenomena yang kerap terjadi di masyarakat saat Ramadan, konsumsi masyarakat melebihi konsumsi di luar Ramadan. Kondisi ini sering dimanfaatkan sebagian pedagang untuk menaikkan harga berlebihan, meski pasokan mencukupi.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah VI Jabar-Banten Dian Edianan Rae mengatakan, keadaan tersebut mendorong inflasi dan pada akhirnya merugikan masyarakat, karena menggerus daya beli.
Kestabilan harga, tidak hanya ditentukan ketersediaan barang dan permintaan. Namun, juga ditentukan faktor lain seperti regulasi, biaya produksi, distribusi, spekulasi, dan persepsi konsumen.
"Peran ulama sangat strategis karena dapat memengaruhi persepsi maupun ekspektasi masyarakat. Melalui alim ulama diharapkan Ramadan dapat menjadi momentum tepat bagi kita untuk lebih menahan diri dari hal-hal berlebihan," tutur Dian, Kamis (12/6/2014).
Menurutnya, persoalan inflasi merupakan permasalahan yang sangat penting, karena akan menentukan masyarakat sejahtera atau tidak. Inflasi tinggi akan mengurangi kesejahteraan bagi orang berpendapatan tetap, apalagi masyarakat dengan penghasilan di bawah rata-rata.
"Kita masih berkutat pada masalah mendasar. Permasalahan beras, daging ayam, holtikultura. Kita masih bergumul dengan harga pangan. Ini ada sesuatu tidak beres dalam suplai, penawaran, pengiriman, menjadikan fenomena ekonomi dalam masyarakat," imbuhnya.
Dian mengatakan, permasalahan kesejahteraan bukan hanya terkait penghasilan yang terus menerus bertambah, tetapi terkait dengan ketercukupan kebutuhan hidup. Jika mungkin dengan gaji Rp5 juta/bulan sudah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, lebih baik penghasilan tersebut ditingkatkan lagi.
"Karena percuma juga kalau gaji nambah 10%, di sisi lain inflasinya sama 10%. Sama saja dengan bohong," ucap Dian.
BI khususnya kantor perwakilan BI Wilayah VI bersama-sama FKPI Jabar berkomitmen untuk terus berupaya menjaga stabilitas harga, terutama menjelang masuknya Ramadan.
Untuk itu, Dian mengajak masyarakat untuk mengendalikan konsumsi, meski masih ada tren saat tertentu, seperti Ramadan, konsumsi meningkat, makanan harus ekstra, secara atau menyengaja mengumpulkan sejumlah uang untuk dibelanjakan pada Ramadan.
"Untuk itu kami menggandeng alim ulama karena alim ulama bersentuhan langsung dengan masyarakat. Harus ada kerja sama yang erat antara alim ulama dengan BI," kata dia.
Ke depan pihaknya berharap koordinasi dan kolaborasi semacam ini jadi sesuatu yang lumrah, bukan sesuatu yang aneh, dan harus terus ditingkatkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar Rahmat Syafe’I menyatakan sangat mendukung upaya dari BI dan FKPI yang melibatkan para alim ulama dalam pengendalian inflasi.
"Salah satu asas ekonomi syari'ah adalah tidak berlebihan dalam mengonsumsi dan tidak kikir. Jika hal tersebut sudah dilakukan maka akan mengantarkan umat tersebut kepada kemuliaan," ujarnya.
Rahmat mengimbau masyarakat Jabar yang mayoritas merupakan umat Islam untuk menahan diri dalam pola konsumsi. " Para pedagang pun jangan menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk menarik keuntungan yang melebihi aturan sehingga menyebabkan inflasi," kata dia.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah VI Jabar-Banten Dian Edianan Rae mengatakan, keadaan tersebut mendorong inflasi dan pada akhirnya merugikan masyarakat, karena menggerus daya beli.
Kestabilan harga, tidak hanya ditentukan ketersediaan barang dan permintaan. Namun, juga ditentukan faktor lain seperti regulasi, biaya produksi, distribusi, spekulasi, dan persepsi konsumen.
"Peran ulama sangat strategis karena dapat memengaruhi persepsi maupun ekspektasi masyarakat. Melalui alim ulama diharapkan Ramadan dapat menjadi momentum tepat bagi kita untuk lebih menahan diri dari hal-hal berlebihan," tutur Dian, Kamis (12/6/2014).
Menurutnya, persoalan inflasi merupakan permasalahan yang sangat penting, karena akan menentukan masyarakat sejahtera atau tidak. Inflasi tinggi akan mengurangi kesejahteraan bagi orang berpendapatan tetap, apalagi masyarakat dengan penghasilan di bawah rata-rata.
"Kita masih berkutat pada masalah mendasar. Permasalahan beras, daging ayam, holtikultura. Kita masih bergumul dengan harga pangan. Ini ada sesuatu tidak beres dalam suplai, penawaran, pengiriman, menjadikan fenomena ekonomi dalam masyarakat," imbuhnya.
Dian mengatakan, permasalahan kesejahteraan bukan hanya terkait penghasilan yang terus menerus bertambah, tetapi terkait dengan ketercukupan kebutuhan hidup. Jika mungkin dengan gaji Rp5 juta/bulan sudah mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, lebih baik penghasilan tersebut ditingkatkan lagi.
"Karena percuma juga kalau gaji nambah 10%, di sisi lain inflasinya sama 10%. Sama saja dengan bohong," ucap Dian.
BI khususnya kantor perwakilan BI Wilayah VI bersama-sama FKPI Jabar berkomitmen untuk terus berupaya menjaga stabilitas harga, terutama menjelang masuknya Ramadan.
Untuk itu, Dian mengajak masyarakat untuk mengendalikan konsumsi, meski masih ada tren saat tertentu, seperti Ramadan, konsumsi meningkat, makanan harus ekstra, secara atau menyengaja mengumpulkan sejumlah uang untuk dibelanjakan pada Ramadan.
"Untuk itu kami menggandeng alim ulama karena alim ulama bersentuhan langsung dengan masyarakat. Harus ada kerja sama yang erat antara alim ulama dengan BI," kata dia.
Ke depan pihaknya berharap koordinasi dan kolaborasi semacam ini jadi sesuatu yang lumrah, bukan sesuatu yang aneh, dan harus terus ditingkatkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar Rahmat Syafe’I menyatakan sangat mendukung upaya dari BI dan FKPI yang melibatkan para alim ulama dalam pengendalian inflasi.
"Salah satu asas ekonomi syari'ah adalah tidak berlebihan dalam mengonsumsi dan tidak kikir. Jika hal tersebut sudah dilakukan maka akan mengantarkan umat tersebut kepada kemuliaan," ujarnya.
Rahmat mengimbau masyarakat Jabar yang mayoritas merupakan umat Islam untuk menahan diri dalam pola konsumsi. " Para pedagang pun jangan menjadikan Ramadan sebagai kesempatan untuk menarik keuntungan yang melebihi aturan sehingga menyebabkan inflasi," kata dia.
(izz)