Target Hemat BBM dengan Biodiesel Tak Terpenuhi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah saat ini tengah berupaya menghemat pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, setelah dalam semester I/2014 telah tersalurkan sebanyak 22,9 juta kiloliter atau naik 1,3% jika dibandingkan dengan realisasi penyaluran periode sama 2013.
Pemerintah terus berupaya agar kuota BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR yakni 46 juta kiloliter.
Selain pembatasan pembelian solar bersubsidi, upaya lain mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan menggelar program pengembangan energi alternatif berupa biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke BBM.
Saat ini, pencampuran BBN sebesar 10% atau dikenal B10 yang dimulai sejak September 2013 hingga akhir 2015. Sedangkan awal 2016 akan diterapkan pencampuran biodiesel sebesar 20% (B20).
Sayangnya, program biodiesel yang digadang-gadang sebagai alternatif solusi mencegah jebolnya BBM subsidi, ternyata tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah. Dari target sebesar 4,6 juta kiloliter penggunaan biodiesel B10, hingga semester I/2014, hanya terealisasi tidak sampai separuhnya.
"Ini menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah akan penggunaan biodiesel," ujar Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa saat dihubungi wartawan, Kamis (14/8/2014).
Iwa melihat ketidakseriusan pemerintah merupakan bukti tidak adanya sense of crisis terhadap ketersediaan BBM khususnya BBM bersubsidi. Padahal, fakta ada di depan mata. Besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah sektor energi terus menggerogoti APBN.
Ini bisa dilihat dari APBN-P 2014 yang menetapkan subsidi energi sebesar Rp350,31 triliun atau membengkak 24% dibandingkan APBN 2014 yang sebesar Rp282,1 triliun.
Belum lagi defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus terjadi sejak 2012. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya impor BBM yang mencapai 500.000 barel per hari.
BBM impor ini untuk mencukupi konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Kondisi ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya akan menghambat proses pembangunan di Indonesia.
"Harusnya sejak 2005, sudah dipikirkan kondisi BBM bakalan seperti saat ini dengan berbagai solusi untuk mencegahnya. Jangan seperti sekarang, pemerintah panik sehingga solusi yang diambil hanya bersifat parsial. Mulai dari pembatasan pembelian solar bersubsidi hingga tidak ada lagi BBM subsidi di rest area jalan tol," tuturnya.
Jika pemerintah serius menjalankan B10, kata dia, akan menghemat keuangan negara hingga USD3 miliar per tahun. Apalagi jika dilakukan percepatan dari B10 menjadi B20, dapat menghemat anggaran subsidi setidaknya USD6 miliar.
"Itu dengan perhitungan jika menggunakan 30%-40% biodiesel dari total anggaran BBM bersubsidi," kata Iwa.
Keseriusan pemerintah juga menjadi sorotan Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) terutama terkait dengan pelaksanaan B10. "Terkait B10 patut dipertanyakan, apakah pemerintah serius atau tidak. Kalau serius, kenapa subsidi BBM tidak menunjukkan penurunan?" ujarnya.
Diakui Tumiran bahwa sejak lama DEN telah mengusulkan pada pemerintah soal BBN sebagai energi alternatif. Komoditas sawit yang melimpah di Indonesia bisa dijadikan solusi tepat dan mengurangi ketergantungan impor BBM Indonesia.
"Ini sangat bagus akan mengurangi impor BBM. Setidaknya devisa kita tidak tersedot keluar," ucapnya.
Meski demikian, Dia menegaskan bahwa pemerintah harus melibatkan semua stakeholders yang terlibat dalam kebijakan BBN. Misalnya Kementerian Perhubungan dan Perindustrian, asosiasi industri automotif, PLN serta asosiasi penghasil CPO.
"Setelah stakeholders siap, baru pemerintah memastikan kesiapan pelaku industrinya melalui regulasi. Ini harus benar-benar siap, bukan lagi uji coba," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) MP Tumanggor mendesak pemerintah agar mempercepat program biodiesel dari B10 menjadi B20, meski pelaksanaan B10 berjalan lamban.
Selain akan menghemat keuangan negara juga akan memperbaiki defisit neraca pembayaran akibat masih tingginya BBM impor.
Percepatan ini akan berjalan mulus karena 23 anggota Aprobi plus anggota Gapki yang merupakan perusahaan crude palm oil (CPO) siap mengembangkan biodiesel untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kebijakan B20 akan berdampak positif pada industri biodiesel. Di mana, kapasitas terpasang biodiesel baru 5,7 juta kiloliter akan naik menjadi 7-8 juta kiloliter, asalkan B20 terealisasi dan harga menguntungkan.
Selain itu, didukung juga oleh jumlah produksi CPO Indonesia yang telah mencapai 30 juta ton per tahun. Jumlah tersebut akan semakin meningkat menjadi 40 juta ton per tahun pada 2020.
"Sekarang ini kami masih menunggu keseriusan pemerintah. Ketegasan ini harus didukung dengan regulasi yang jelas dan insentif pajak," tandasnya.
Pemerintah terus berupaya agar kuota BBM bersubsidi tidak melebihi kuota yang sudah ditetapkan pemerintah bersama DPR yakni 46 juta kiloliter.
Selain pembatasan pembelian solar bersubsidi, upaya lain mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan menggelar program pengembangan energi alternatif berupa biodiesel, bahan bakar nabati (BBN) yang dicampurkan ke BBM.
Saat ini, pencampuran BBN sebesar 10% atau dikenal B10 yang dimulai sejak September 2013 hingga akhir 2015. Sedangkan awal 2016 akan diterapkan pencampuran biodiesel sebesar 20% (B20).
Sayangnya, program biodiesel yang digadang-gadang sebagai alternatif solusi mencegah jebolnya BBM subsidi, ternyata tidak dijalankan secara serius oleh pemerintah. Dari target sebesar 4,6 juta kiloliter penggunaan biodiesel B10, hingga semester I/2014, hanya terealisasi tidak sampai separuhnya.
"Ini menjadi pertanyaan besar terhadap keseriusan pemerintah akan penggunaan biodiesel," ujar Direktur Pengkajian Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa saat dihubungi wartawan, Kamis (14/8/2014).
Iwa melihat ketidakseriusan pemerintah merupakan bukti tidak adanya sense of crisis terhadap ketersediaan BBM khususnya BBM bersubsidi. Padahal, fakta ada di depan mata. Besaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah sektor energi terus menggerogoti APBN.
Ini bisa dilihat dari APBN-P 2014 yang menetapkan subsidi energi sebesar Rp350,31 triliun atau membengkak 24% dibandingkan APBN 2014 yang sebesar Rp282,1 triliun.
Belum lagi defisit neraca pembayaran Indonesia yang terus terjadi sejak 2012. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya impor BBM yang mencapai 500.000 barel per hari.
BBM impor ini untuk mencukupi konsumsi BBM di Indonesia yang mencapai 1,5 juta barel per hari. Kondisi ini akan menghentikan pertumbuhan ekonomi yang ujung-ujungnya akan menghambat proses pembangunan di Indonesia.
"Harusnya sejak 2005, sudah dipikirkan kondisi BBM bakalan seperti saat ini dengan berbagai solusi untuk mencegahnya. Jangan seperti sekarang, pemerintah panik sehingga solusi yang diambil hanya bersifat parsial. Mulai dari pembatasan pembelian solar bersubsidi hingga tidak ada lagi BBM subsidi di rest area jalan tol," tuturnya.
Jika pemerintah serius menjalankan B10, kata dia, akan menghemat keuangan negara hingga USD3 miliar per tahun. Apalagi jika dilakukan percepatan dari B10 menjadi B20, dapat menghemat anggaran subsidi setidaknya USD6 miliar.
"Itu dengan perhitungan jika menggunakan 30%-40% biodiesel dari total anggaran BBM bersubsidi," kata Iwa.
Keseriusan pemerintah juga menjadi sorotan Tumiran, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) terutama terkait dengan pelaksanaan B10. "Terkait B10 patut dipertanyakan, apakah pemerintah serius atau tidak. Kalau serius, kenapa subsidi BBM tidak menunjukkan penurunan?" ujarnya.
Diakui Tumiran bahwa sejak lama DEN telah mengusulkan pada pemerintah soal BBN sebagai energi alternatif. Komoditas sawit yang melimpah di Indonesia bisa dijadikan solusi tepat dan mengurangi ketergantungan impor BBM Indonesia.
"Ini sangat bagus akan mengurangi impor BBM. Setidaknya devisa kita tidak tersedot keluar," ucapnya.
Meski demikian, Dia menegaskan bahwa pemerintah harus melibatkan semua stakeholders yang terlibat dalam kebijakan BBN. Misalnya Kementerian Perhubungan dan Perindustrian, asosiasi industri automotif, PLN serta asosiasi penghasil CPO.
"Setelah stakeholders siap, baru pemerintah memastikan kesiapan pelaku industrinya melalui regulasi. Ini harus benar-benar siap, bukan lagi uji coba," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel (Aprobi) MP Tumanggor mendesak pemerintah agar mempercepat program biodiesel dari B10 menjadi B20, meski pelaksanaan B10 berjalan lamban.
Selain akan menghemat keuangan negara juga akan memperbaiki defisit neraca pembayaran akibat masih tingginya BBM impor.
Percepatan ini akan berjalan mulus karena 23 anggota Aprobi plus anggota Gapki yang merupakan perusahaan crude palm oil (CPO) siap mengembangkan biodiesel untuk menyuplai kebutuhan dalam negeri dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kebijakan B20 akan berdampak positif pada industri biodiesel. Di mana, kapasitas terpasang biodiesel baru 5,7 juta kiloliter akan naik menjadi 7-8 juta kiloliter, asalkan B20 terealisasi dan harga menguntungkan.
Selain itu, didukung juga oleh jumlah produksi CPO Indonesia yang telah mencapai 30 juta ton per tahun. Jumlah tersebut akan semakin meningkat menjadi 40 juta ton per tahun pada 2020.
"Sekarang ini kami masih menunggu keseriusan pemerintah. Ketegasan ini harus didukung dengan regulasi yang jelas dan insentif pajak," tandasnya.
(izz)