Nilai Tukar Rupiah Menunggu Pemerintahan Baru
A
A
A
JAKARTA - Pelaku pasar sangat berharap pemerintahan baru yang terpilih bekerja keras demi perbaikan nilai tukar rupiah kedepan. Tren perekonomian global menurut pengamat akan membuat nilai tukar rupiah dapat bergerak mencapai Rp12 ribu, apabila tidak ada perubahan yang nyata.
Global Market Economist Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan pelemahan rupiah dapat terjadi apabila tidak ada kerjasama antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk memperbaiki nilai tukar. Ini sangat mengkhawatirkan mengingat level ideal rupiah yang seharusnya berada di Rp11.400.
"Dengan proyeksi inflasi tahun depan di level 7% dan kemungkinan akan diikuti kenaikan BI rate di level 8%. Sehingga rupiah akan bergerak sangat volatile di kisaran Rp11.800 hingga Rp12.000 tahun depan," ujar Josua dalam paparannya di Jakarta, Selasa (26/8/2014).
Namun dia optismistis Indonesia akan tetap memiliki daya tarik bagi investor asing. Keyakinannnya ditandai dengan porsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah yang mencapai Rp424 triliun atau 36,7%. Ini menandakan kepercayaan asing untuk masuk dalam bentuk portofolio ataupun Penanaman Modal Asing (PMA).
"Imbal hasil obligasi pemerintah dalam 10 tahun mencapai 8%. Ini lebih tinggi dari inflasi dan juga US Treasury. Kemungkinannya hanya ada rebalancing portofolio sementara sebelum masuk lagi kemari," ujarnya.
Dia mengingatkan pelaku pasar saat ini masih dalam posisi menunggu dan diperkirakan akan mulai masuk di semester dua tahun ini. Namun pemerintah juga harus didorong melakukan revisi postur RAPBN 2015 yang tidak mendorong sektor produktif. Karena kebutuhan infrastruktur sangat mendesak untuk mendorong daya saing perekonomian.
"Selain itu kita juga menunggu skema kenaikan BBM yang tepat. Karena beban subsidi sudah tidak bisa ditolerir lagi. Idealnya skema kenaikan BBM dilakukan berkala per kuartal supaya tidak terlalu memicu inflasi," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan target pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,6% yang diajukan pemerintah dinilai tidak realistis. Ini mengingat kenaikan suku bunga acuan di AS dan defisit transaksi berjalan yang belum membaik. Sehingga kedepan masih akan terjadi pengetatan moneter yang memperlambat aktivitas ekonomi.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2015, pemerintah memperkirakan perekonomian nasional 2015 membaik, ditopang oleh konsumsi dan investasi, seiring kondisi ekonomi domestik yang stabil dan faktor eksternal yang menunjukkan tren peningkatan.
Global Market Economist Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan pelemahan rupiah dapat terjadi apabila tidak ada kerjasama antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk memperbaiki nilai tukar. Ini sangat mengkhawatirkan mengingat level ideal rupiah yang seharusnya berada di Rp11.400.
"Dengan proyeksi inflasi tahun depan di level 7% dan kemungkinan akan diikuti kenaikan BI rate di level 8%. Sehingga rupiah akan bergerak sangat volatile di kisaran Rp11.800 hingga Rp12.000 tahun depan," ujar Josua dalam paparannya di Jakarta, Selasa (26/8/2014).
Namun dia optismistis Indonesia akan tetap memiliki daya tarik bagi investor asing. Keyakinannnya ditandai dengan porsi kepemilikan asing dalam obligasi pemerintah yang mencapai Rp424 triliun atau 36,7%. Ini menandakan kepercayaan asing untuk masuk dalam bentuk portofolio ataupun Penanaman Modal Asing (PMA).
"Imbal hasil obligasi pemerintah dalam 10 tahun mencapai 8%. Ini lebih tinggi dari inflasi dan juga US Treasury. Kemungkinannya hanya ada rebalancing portofolio sementara sebelum masuk lagi kemari," ujarnya.
Dia mengingatkan pelaku pasar saat ini masih dalam posisi menunggu dan diperkirakan akan mulai masuk di semester dua tahun ini. Namun pemerintah juga harus didorong melakukan revisi postur RAPBN 2015 yang tidak mendorong sektor produktif. Karena kebutuhan infrastruktur sangat mendesak untuk mendorong daya saing perekonomian.
"Selain itu kita juga menunggu skema kenaikan BBM yang tepat. Karena beban subsidi sudah tidak bisa ditolerir lagi. Idealnya skema kenaikan BBM dilakukan berkala per kuartal supaya tidak terlalu memicu inflasi," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan target pertumbuhan ekonomi 2015 sebesar 5,6% yang diajukan pemerintah dinilai tidak realistis. Ini mengingat kenaikan suku bunga acuan di AS dan defisit transaksi berjalan yang belum membaik. Sehingga kedepan masih akan terjadi pengetatan moneter yang memperlambat aktivitas ekonomi.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2015, pemerintah memperkirakan perekonomian nasional 2015 membaik, ditopang oleh konsumsi dan investasi, seiring kondisi ekonomi domestik yang stabil dan faktor eksternal yang menunjukkan tren peningkatan.
(gpr)