Penghapusan Premium di Jalan Tol Akan Dikaji Ulang
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan pihaknya akan mengkaji ulang aturan soal penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis premium di jalan tol.
Hal ini dilakukan setelah adanya keluhan dari para pengelola SPBU di jalan tol yang mengalami penurunan omzet setelah tidak lagi menjual premium.
"Kan mereka (pengelola SPBU) tuntutannya karena marginnya turun, apa bener marginya turun? Nanti kita lihat itu. Pertamina baru bilang (melalui suratnya) bahwa marginnya turun. Tapi nanti kita lihat," ujar Kepala BPH Migas Andi Noorsaman Someng di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (8/9/2014).
Kendati demikian, Andi mengaku tidak akan mencabut langsung kebijakan penghapusan BBM subsidi di jalan tol tersebut. Hal ini dirasa perlu kajian yang lebih mendalam.
"Masih perlu dikaji. Belum dihentikankan, belum ada keputusannya. Wah, saya enggak tahu untung atau rugi pengelola SPBU di jalan tol," imbuh dia.
Jika penghapusan BBM subsidi ini dicabut, lanjut Andi, dia mengaku pihaknya masih banyak memiliki opsi lain agar kuota bahan bakar primadona tersebut tidak jebol.
"Gantinya banyak, asal dibolehkan saja. Kan asal tidak boleh menganggu kestabilan sosial politik," katanya.
Dia juga menegaskan, aturan pengendalian BBM bersubsidi ini memang sangat diperlukan, agar BBM subsidi tidak over kuota. "Kalau sampai akhir tahun diperkirakan over 1,3 juta kilo liter (kl). Itu dengan tanpa ada lagi penambahan aturan pengendalian," tandas dia.
Sebelumnya diberitakan, Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman Republik Indonesia, akhirnya melayangkan teguran kepada pemerintah terkait kebijakan pembatasan penjualan BBM Bersubsidi di Area Tol dan Jakarta Pusat.
Teguran ini berpusat pada dua dari enam poin instruksi dalam Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 yang dinilai jauh dari prinsip persamaan perlakuan atau diskriminatif.
"Surat teguran dan saran perbaikan kebijakan ini ditujukan kepada Menteri ESDM, Dirut PT Pertamina, dan Kepala BPH Migas," jelas Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana dalam siaran persnya, Senin (1/9/2014).
Surat teguran sekaligus saran perbaikan ini terbit karena kebijakan yang tertuang dalam SE BPH Migas telah meresahkan masyarakat sekaligus berpotensi merugikan beberapa pelaku usaha.
Ditambah lagi, pelayanan bidang energi termasuk BBM berada dalam ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Pelayanan Publik dan Pasal 35 pada ketentuan serupa yang mengamanatkan Ombudsman RI sebagai lembaga pengawasan eksternal pelayanan publik.
Danang mengatakan, letak persoalan ini ada pada dua dari enam poin instruksi yang dinilai diskriminatif dan melanggar Pasal 4 huruf g UU Pelayanan Publik. Kedua poin itu adalah instruksi kepada PT Pertamina agar menghentikan penyaluran BBM jenis premium (RON 88) di SPBU yang berlokasi di Rest Area jalan tol mulai 06 Agustus 2014 (Poin 2).
"Dan instruksi kepada PT Pertamina untuk tidak menyalurkan BBM jenis Minyak Solar ke wilayah Jakarta Pusat (Poin 3)," terangnya.
Hal ini dilakukan setelah adanya keluhan dari para pengelola SPBU di jalan tol yang mengalami penurunan omzet setelah tidak lagi menjual premium.
"Kan mereka (pengelola SPBU) tuntutannya karena marginnya turun, apa bener marginya turun? Nanti kita lihat itu. Pertamina baru bilang (melalui suratnya) bahwa marginnya turun. Tapi nanti kita lihat," ujar Kepala BPH Migas Andi Noorsaman Someng di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (8/9/2014).
Kendati demikian, Andi mengaku tidak akan mencabut langsung kebijakan penghapusan BBM subsidi di jalan tol tersebut. Hal ini dirasa perlu kajian yang lebih mendalam.
"Masih perlu dikaji. Belum dihentikankan, belum ada keputusannya. Wah, saya enggak tahu untung atau rugi pengelola SPBU di jalan tol," imbuh dia.
Jika penghapusan BBM subsidi ini dicabut, lanjut Andi, dia mengaku pihaknya masih banyak memiliki opsi lain agar kuota bahan bakar primadona tersebut tidak jebol.
"Gantinya banyak, asal dibolehkan saja. Kan asal tidak boleh menganggu kestabilan sosial politik," katanya.
Dia juga menegaskan, aturan pengendalian BBM bersubsidi ini memang sangat diperlukan, agar BBM subsidi tidak over kuota. "Kalau sampai akhir tahun diperkirakan over 1,3 juta kilo liter (kl). Itu dengan tanpa ada lagi penambahan aturan pengendalian," tandas dia.
Sebelumnya diberitakan, Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman Republik Indonesia, akhirnya melayangkan teguran kepada pemerintah terkait kebijakan pembatasan penjualan BBM Bersubsidi di Area Tol dan Jakarta Pusat.
Teguran ini berpusat pada dua dari enam poin instruksi dalam Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 yang dinilai jauh dari prinsip persamaan perlakuan atau diskriminatif.
"Surat teguran dan saran perbaikan kebijakan ini ditujukan kepada Menteri ESDM, Dirut PT Pertamina, dan Kepala BPH Migas," jelas Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana dalam siaran persnya, Senin (1/9/2014).
Surat teguran sekaligus saran perbaikan ini terbit karena kebijakan yang tertuang dalam SE BPH Migas telah meresahkan masyarakat sekaligus berpotensi merugikan beberapa pelaku usaha.
Ditambah lagi, pelayanan bidang energi termasuk BBM berada dalam ruang lingkup pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Pelayanan Publik dan Pasal 35 pada ketentuan serupa yang mengamanatkan Ombudsman RI sebagai lembaga pengawasan eksternal pelayanan publik.
Danang mengatakan, letak persoalan ini ada pada dua dari enam poin instruksi yang dinilai diskriminatif dan melanggar Pasal 4 huruf g UU Pelayanan Publik. Kedua poin itu adalah instruksi kepada PT Pertamina agar menghentikan penyaluran BBM jenis premium (RON 88) di SPBU yang berlokasi di Rest Area jalan tol mulai 06 Agustus 2014 (Poin 2).
"Dan instruksi kepada PT Pertamina untuk tidak menyalurkan BBM jenis Minyak Solar ke wilayah Jakarta Pusat (Poin 3)," terangnya.
(gpr)