70% Perusahaan Batu Bara di Samarinda Kolaps
A
A
A
SAMARINDA - Akibat lesunya harga batu bara di pasaran global, banyak perusahaan batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) memilih tutup atau tidak beroperasi.
Besarnya biaya operasional yang harus dikeluarkan tak sebanding dengan pemasukan yang mereka dapat dari penjualan batu bara.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda, Eko Priatno menyebutkan, dari sekitar 60 perusahaan tambang di Samarinda, lebih dari 70% diantaranya sudah kolaps.
"Paling kurang 30 persen yang beroperasi. Waktu jaya dulu saja tidak semua dari 60 pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) ini yang beroperasi, apalagi sekarang. Dengan kondisi seperti ini, otomatis batu bara yang di dalam tidak bisa diambil, karena biayanya tinggi. Di ambil malah rugi," kata Eko, Selasa (9/9/2014).
Semula, lanjut Eko, para pengusaha banyak yang memilih menunggu kondisi batu bara pulih, sembari merumahkan karyawannya.
"Tapi tidak pulih-pulih, sementara mereka punya kewajiban terus membayar gaji. Akhirnya uangnya habis, perusahaannya ditutup, karyawannya di PHK," ujarnya.
Beralih menjadi trading batu bara pun diakui Eko cukup sulit mengingat kondisi harga yang terus lesu dan minimnya produksi.
"Ya kalau trading ngambil batu baranya dari mana? Kalau dari perusahaan besar kan sudah full boked. Dari perusahaan kecil kan kondisinya sama saja sulitnya," pungkas dia.
Besarnya biaya operasional yang harus dikeluarkan tak sebanding dengan pemasukan yang mereka dapat dari penjualan batu bara.
Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda, Eko Priatno menyebutkan, dari sekitar 60 perusahaan tambang di Samarinda, lebih dari 70% diantaranya sudah kolaps.
"Paling kurang 30 persen yang beroperasi. Waktu jaya dulu saja tidak semua dari 60 pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) ini yang beroperasi, apalagi sekarang. Dengan kondisi seperti ini, otomatis batu bara yang di dalam tidak bisa diambil, karena biayanya tinggi. Di ambil malah rugi," kata Eko, Selasa (9/9/2014).
Semula, lanjut Eko, para pengusaha banyak yang memilih menunggu kondisi batu bara pulih, sembari merumahkan karyawannya.
"Tapi tidak pulih-pulih, sementara mereka punya kewajiban terus membayar gaji. Akhirnya uangnya habis, perusahaannya ditutup, karyawannya di PHK," ujarnya.
Beralih menjadi trading batu bara pun diakui Eko cukup sulit mengingat kondisi harga yang terus lesu dan minimnya produksi.
"Ya kalau trading ngambil batu baranya dari mana? Kalau dari perusahaan besar kan sudah full boked. Dari perusahaan kecil kan kondisinya sama saja sulitnya," pungkas dia.
(izz)