RI Harus Waspadai Rencana The Fed
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah khususnya jajaran kementerian terkait sektor riil, moneter, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) disarankan mewaspadi rencana Bank Sentral AS, The Fed, menghapuskan program non-konvensional stimulus moneter (quantitative easing III).
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengatakan, pemangkasan stimulus tersebut, selambat-lambatnya akhir 2014 atau awal 2015.
Pemangkasan tersebut melalui pembelian surat utang untuk menambah likuiditas pasar dan mendorong bergeraknya sektor riil.
Dia mengingatkan, pengakhiran program quantitative easing III yang akan disertai penyesuaian suku bunga acuan di AS berpotensi menciptakan guncangan di pasar keuangan dunia.
"Risiko pembalikan modal kembali ke AS dipastikan terjadi dan membuat dana asing keluar dari emerging market dan negara berkembang," jelas Firmanzah seperti dilansir dari laman Setkab, Senin (15/9/2014).
Dia mengatakan, tekanan atas dampak pembalikan modal sebenarnya sudah dirasakan semester II/2013 ketika isu penghentian stimulus moneter di AS mulai dihembuskan.
Saat itu, sejumlah indikator ekonomi Indonesia mengalami tekanan seperti nilai tukar rupiah, IHSG, cadangan devisa, meningkatnya suku bunga acuan BI dan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Kini, meski Indonesia menunjukkan data-data pemulihan ekonomi akibat isu tersebut, menurut Firmanzah, rencana The Fed untuk menghentikan program quantitative easing III dan menyesuaikan suku bunga acuan perlu diwaspadai.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universita Indonesia itu tidak menyalahkan, jika dalam antisipasi itu BI juga akan menyesuaikan suku bunga acuan yang selama ini dipertahankan pada level 7,50% untuk mengurangi derasnya capital outflow.
Namun, Firmanzah mengingatkan, jika BI menyesuaikan suku bunga acuan maka diperlukan tindakan nyata untuk meredam gejolak di pasar keuangan, yang akan berdampak ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Meningkatnya biaya modal akan menambah tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan," ujarnya.
Hal tersebut akan menekan ruang ekspansi kredit di Indonesia baik kredit investasi, modal kerja maupun kredit di sektor konsumsi.
Firmanzah menyebutkan, melambatnya pertumbuhan kredit menjadi salah satu risiko yang perlu diwaspadai akibat dampak kebijakan The Fed.
Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan, Firmanzah mengatakan, pemangkasan stimulus tersebut, selambat-lambatnya akhir 2014 atau awal 2015.
Pemangkasan tersebut melalui pembelian surat utang untuk menambah likuiditas pasar dan mendorong bergeraknya sektor riil.
Dia mengingatkan, pengakhiran program quantitative easing III yang akan disertai penyesuaian suku bunga acuan di AS berpotensi menciptakan guncangan di pasar keuangan dunia.
"Risiko pembalikan modal kembali ke AS dipastikan terjadi dan membuat dana asing keluar dari emerging market dan negara berkembang," jelas Firmanzah seperti dilansir dari laman Setkab, Senin (15/9/2014).
Dia mengatakan, tekanan atas dampak pembalikan modal sebenarnya sudah dirasakan semester II/2013 ketika isu penghentian stimulus moneter di AS mulai dihembuskan.
Saat itu, sejumlah indikator ekonomi Indonesia mengalami tekanan seperti nilai tukar rupiah, IHSG, cadangan devisa, meningkatnya suku bunga acuan BI dan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Kini, meski Indonesia menunjukkan data-data pemulihan ekonomi akibat isu tersebut, menurut Firmanzah, rencana The Fed untuk menghentikan program quantitative easing III dan menyesuaikan suku bunga acuan perlu diwaspadai.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universita Indonesia itu tidak menyalahkan, jika dalam antisipasi itu BI juga akan menyesuaikan suku bunga acuan yang selama ini dipertahankan pada level 7,50% untuk mengurangi derasnya capital outflow.
Namun, Firmanzah mengingatkan, jika BI menyesuaikan suku bunga acuan maka diperlukan tindakan nyata untuk meredam gejolak di pasar keuangan, yang akan berdampak ke sektor riil dan pertumbuhan ekonomi nasional.
"Meningkatnya biaya modal akan menambah tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di tahun depan," ujarnya.
Hal tersebut akan menekan ruang ekspansi kredit di Indonesia baik kredit investasi, modal kerja maupun kredit di sektor konsumsi.
Firmanzah menyebutkan, melambatnya pertumbuhan kredit menjadi salah satu risiko yang perlu diwaspadai akibat dampak kebijakan The Fed.
(izz)