Kadin: Tak Masuk Akal Lifting Minyak 900 Ribu Bph
A
A
A
JAKARTA - Komisioner Komite Tetap Hulu Migas Kadin, Firlie Ganinduto menilai lifting minyak sebesar 900 ribu barel per hari (bph) tidak masuk akal dengan cost recovery sebesar USD16 miliar.
"DPR memotong biaya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan produksi. Ini enggak masuk akal. Pemerintah akan bisa menarik rencana 2016 ke 2015 untuk mengejar produksi, tapi kok cost recovery dipangkas? Saya enggak nemu logikanya," terangnya di Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Sementara, kilang minyak tidak kunjung terbangun. Pasalnya, pemerintah terkesan hanya 'bermain' mengenai ini dan IRR pengusaha dalam membangun kilang sangat rendah.
"Permasalahannya adalah satu, pada faktanya kilang di Indonesia tidak cukup. Kilang ini sebenarnya bisa mengurangi impor migas," ujarnya.
Firlie juga menyebutkan bahwa IRR membangun kilang di Indonesia hanya 5% yang dipandang sangat rendah oleh pengusaha.
Pengusaha membutuhkan IRR mencapai 11%. Dia menyarankan agar pemerintah mengurangi subsidi BBM dan dananya dijadikan insentif pembangunan kilang.
"Menurut saya, mungkin ada isu subsidi atau dana subsidi kita potong dijadikan insentif pembangunan kilang, khususnya urusan fiskal. Insentif dalam bentuk fiskal. Tax holiday period diperpanjang," tambahnya.
Menurutnya, pengusaha melihat bisnis migas ini seperti lapangan bola. Pemain bisnis akan melihat siapa pemain sepak bola dan melihat kondisi lapangan, hadiahnya apa, wasitnya siapa, lapangannya pasir atau lumpur.
"Pemerintah sebagai penyelenggaranya sedangkan kita melihat hadiahnya bagaimana," pungkas dia.
"DPR memotong biaya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan produksi. Ini enggak masuk akal. Pemerintah akan bisa menarik rencana 2016 ke 2015 untuk mengejar produksi, tapi kok cost recovery dipangkas? Saya enggak nemu logikanya," terangnya di Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Sementara, kilang minyak tidak kunjung terbangun. Pasalnya, pemerintah terkesan hanya 'bermain' mengenai ini dan IRR pengusaha dalam membangun kilang sangat rendah.
"Permasalahannya adalah satu, pada faktanya kilang di Indonesia tidak cukup. Kilang ini sebenarnya bisa mengurangi impor migas," ujarnya.
Firlie juga menyebutkan bahwa IRR membangun kilang di Indonesia hanya 5% yang dipandang sangat rendah oleh pengusaha.
Pengusaha membutuhkan IRR mencapai 11%. Dia menyarankan agar pemerintah mengurangi subsidi BBM dan dananya dijadikan insentif pembangunan kilang.
"Menurut saya, mungkin ada isu subsidi atau dana subsidi kita potong dijadikan insentif pembangunan kilang, khususnya urusan fiskal. Insentif dalam bentuk fiskal. Tax holiday period diperpanjang," tambahnya.
Menurutnya, pengusaha melihat bisnis migas ini seperti lapangan bola. Pemain bisnis akan melihat siapa pemain sepak bola dan melihat kondisi lapangan, hadiahnya apa, wasitnya siapa, lapangannya pasir atau lumpur.
"Pemerintah sebagai penyelenggaranya sedangkan kita melihat hadiahnya bagaimana," pungkas dia.
(izz)