Ini Faktor Pendorong Investor Global Keluar dari Emerging Market
A
A
A
JAKARTA - Dengan kondisi perkembangan perekonomian dan pasar keuangan global akhir-akhir ini, terdapat beberapa hal yang dapat mendorong investor global untuk keluar dari portofolio di Emerging Market (EM) dan kemungkinan besar beralih ke portofolio negara maju.
Hasil Stress Test Bank Indonesia (BI) menunjukkan hasil yang positif. BI senantiasa akan menjaga ketersediaan likuiditas di pasar keuangan dan mengedepankan stabilitas nilai tukar untuk mengeliminir dampak rambatannya terhadap SSK.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan, BI akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan supervisory action dan mempercepat pendalaman pasar keuangan, termasuk penyempurnaan pasar repo untuk menjaga ketersediaan likuiditas melalui pasar uang yang lebih efisien.
Aliran modal asing bagi perekonomian suatu negara memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah modal asing dapat menambah likuiditas perekonomian serta menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan perekonomian yang tidak seluruhnya dapat dibiayai oleh dana dari dalam negeri.
"Jika modal masuk dalam bentuk komitmen jangka panjang, maka modal asing ini akan sangat bermanfaat bagi pembiayaan pembangunan perekonomian domestik," jelasnya di Jakarta, Selasa (20/10/2014)
Namun, jika modal asing masuk dalam bentuk kepemilikan terhadap surat-surat berharga yang mudah diperjualbelikan seperti saham dan obligasi baik pemerintah maupun korporasi (investasi portofolio) sebagai akibat dari motif ambil untung jangka pendek dari investor global, maka modal asing ini dapat memberikan shock kepada perekonomian pada saat investor global ini memutuskan untuk mengurangi eksposurnya pada portofolio domestik secara bersamaan (sudden reversal). "Inilah sisi negatif dari aliran modal asing," ungkap dia.
Sementara arus modal dalam bentuk investasi portofolio yang mengalir keluar (capital outflow) salah satunya bisa dalam bentuk penjualan saham-saham domestik, sehingga akan mengakibatkan menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Menurutnya, hal ini akan menyebabkan menurunnya nilai kekayaan investor lokal yang memiliki portofolio saham serta kemungkinan mendorong terjadinya fire sale atau tekanan jual yang berlebih dengan harga yang terlampau rendah.
Namun karena perbankan di Indonesia dilarang melakukan penempatan di pasar saham, maka kerugian yang timbul akan terisolasi pada investor saham individual, pemilik reksadana ekuitas, institusi keuangan yang melakukan penanaman di pasar modal (dana pensiun, asuransi) dan korporasi.
Korporasi sendiri selain terekspos pada penurunan nilai kekayaan (wealth effect), juga mengalami kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendanaan dari pasar modal karena lingkungannya menjadi kurang kondusif untuk melaksanakan initial public offering (IPO) dan right issue dengan harga saham yang optimal.
"Jalur transmisi lainnya dari arus modal keluar dalam bentuk investasi portofolio adalah melalui penjualan obligasi, baik Surat Berharga Pemerintah (SBN) maupun obligasi korporasi," terang dia.
Kerugian yang ditimbulkan dari fire sale obligasi korporasi -sebagaimana di pasar saham- selain penurunan nilai kekayaan bagi investor (bank, dana pensiun, asuransi, korporasi, investor individual), adalah berkurangnya kesempatan bagi korporasi untuk memperoleh pendanaan dengan penerbitan obligasi.
Namun karena kapitalisasi dari obligasi korporasi ini masih relatif kecil, yaitu sebesar 3,39% (per akhir September 2014) dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal, maka dampak dari transaksi obligasi korporasi ini pada stabilitas pasar modal secara keseluruhan dapat dianggap minimal.
Peter menjelaskan, dampak yang besar akan lebih dirasakan jika terjadi fire sale pada SBN yang mengambil pangsa 18,03% dari total kapitalisasi pasar modal atau 84,18% dari total kapitalisasi pasar obligasi.
Rambatan dampak dari fire sale obligasi pemerintah ini juga akan sampai pada industri perbankan, mengingat penurunan harga SBN akan dianggap sebagai kerugian yang harus ditutupi dengan mengurangi permodalannya.
Selain itu, lanjutnya, karena SBN juga adalah instrumen likuiditas perbankan, maka penurunan harga SBN akan menurunkan likuiditas perbankan.
Risiko lain yang meningkat pada saat terjadi aliran modal keluar adalah risiko nilai tukar. Hal ini disebabkan pada saat menjual portofolionya, investor global akan mengkonversi posisinya ke dalam valuta asing, sehingga memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah.
Dia menuturkan, dampak ini akan merambat ke sektor korporasi dan rumah tangga karena semakin mahalnya harga-harga barang impor, sehingga meningkatkan biaya produksi dan harga barang-barang konsumsi.
Dalam hal ini bagi perbankan dan juga institusi keuangan lainnya, posisi net long valas akan menguntungkan, tetapi posisi net short valas akan merugikan.
Beberapa hal yang dapat mendorong investor global untuk keluar dari portofolio di Emerging Market (EM) dan kemungkinan besar beralih ke portofolio negara maju antara lain:
Pertama, pulihnya perekonomian negara-negara maju yang masih dianggap sebagai safe haven atau aset yang nilainya relatif stabil dalam kondisi pasar yang tertekan bagi investasi portofolio.
Hal ini akan diikuti dengan peningkatan suku bunga di negara-negara tersebut sebagai upaya normalisasi dari kebijakan moneter longgar yang selama ini dijalankan untuk memberikan stimulus pada perekonomiannya.
"Adanya sentimen negatif dari negara EM lainnya juga dapat menjadi alasan bagi investor global untuk menurunkan eksposurnya di negara EM," pungkasnya.
(Baca: Pasar Keuangan RI Kuat Hadapi Pembalikan Modal Asing)
Hasil Stress Test Bank Indonesia (BI) menunjukkan hasil yang positif. BI senantiasa akan menjaga ketersediaan likuiditas di pasar keuangan dan mengedepankan stabilitas nilai tukar untuk mengeliminir dampak rambatannya terhadap SSK.
Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan, BI akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan supervisory action dan mempercepat pendalaman pasar keuangan, termasuk penyempurnaan pasar repo untuk menjaga ketersediaan likuiditas melalui pasar uang yang lebih efisien.
Aliran modal asing bagi perekonomian suatu negara memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya adalah modal asing dapat menambah likuiditas perekonomian serta menutupi kebutuhan dana untuk pembiayaan perekonomian yang tidak seluruhnya dapat dibiayai oleh dana dari dalam negeri.
"Jika modal masuk dalam bentuk komitmen jangka panjang, maka modal asing ini akan sangat bermanfaat bagi pembiayaan pembangunan perekonomian domestik," jelasnya di Jakarta, Selasa (20/10/2014)
Namun, jika modal asing masuk dalam bentuk kepemilikan terhadap surat-surat berharga yang mudah diperjualbelikan seperti saham dan obligasi baik pemerintah maupun korporasi (investasi portofolio) sebagai akibat dari motif ambil untung jangka pendek dari investor global, maka modal asing ini dapat memberikan shock kepada perekonomian pada saat investor global ini memutuskan untuk mengurangi eksposurnya pada portofolio domestik secara bersamaan (sudden reversal). "Inilah sisi negatif dari aliran modal asing," ungkap dia.
Sementara arus modal dalam bentuk investasi portofolio yang mengalir keluar (capital outflow) salah satunya bisa dalam bentuk penjualan saham-saham domestik, sehingga akan mengakibatkan menurunnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Menurutnya, hal ini akan menyebabkan menurunnya nilai kekayaan investor lokal yang memiliki portofolio saham serta kemungkinan mendorong terjadinya fire sale atau tekanan jual yang berlebih dengan harga yang terlampau rendah.
Namun karena perbankan di Indonesia dilarang melakukan penempatan di pasar saham, maka kerugian yang timbul akan terisolasi pada investor saham individual, pemilik reksadana ekuitas, institusi keuangan yang melakukan penanaman di pasar modal (dana pensiun, asuransi) dan korporasi.
Korporasi sendiri selain terekspos pada penurunan nilai kekayaan (wealth effect), juga mengalami kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendanaan dari pasar modal karena lingkungannya menjadi kurang kondusif untuk melaksanakan initial public offering (IPO) dan right issue dengan harga saham yang optimal.
"Jalur transmisi lainnya dari arus modal keluar dalam bentuk investasi portofolio adalah melalui penjualan obligasi, baik Surat Berharga Pemerintah (SBN) maupun obligasi korporasi," terang dia.
Kerugian yang ditimbulkan dari fire sale obligasi korporasi -sebagaimana di pasar saham- selain penurunan nilai kekayaan bagi investor (bank, dana pensiun, asuransi, korporasi, investor individual), adalah berkurangnya kesempatan bagi korporasi untuk memperoleh pendanaan dengan penerbitan obligasi.
Namun karena kapitalisasi dari obligasi korporasi ini masih relatif kecil, yaitu sebesar 3,39% (per akhir September 2014) dari keseluruhan kapitalisasi pasar modal, maka dampak dari transaksi obligasi korporasi ini pada stabilitas pasar modal secara keseluruhan dapat dianggap minimal.
Peter menjelaskan, dampak yang besar akan lebih dirasakan jika terjadi fire sale pada SBN yang mengambil pangsa 18,03% dari total kapitalisasi pasar modal atau 84,18% dari total kapitalisasi pasar obligasi.
Rambatan dampak dari fire sale obligasi pemerintah ini juga akan sampai pada industri perbankan, mengingat penurunan harga SBN akan dianggap sebagai kerugian yang harus ditutupi dengan mengurangi permodalannya.
Selain itu, lanjutnya, karena SBN juga adalah instrumen likuiditas perbankan, maka penurunan harga SBN akan menurunkan likuiditas perbankan.
Risiko lain yang meningkat pada saat terjadi aliran modal keluar adalah risiko nilai tukar. Hal ini disebabkan pada saat menjual portofolionya, investor global akan mengkonversi posisinya ke dalam valuta asing, sehingga memberikan tekanan kepada nilai tukar rupiah.
Dia menuturkan, dampak ini akan merambat ke sektor korporasi dan rumah tangga karena semakin mahalnya harga-harga barang impor, sehingga meningkatkan biaya produksi dan harga barang-barang konsumsi.
Dalam hal ini bagi perbankan dan juga institusi keuangan lainnya, posisi net long valas akan menguntungkan, tetapi posisi net short valas akan merugikan.
Beberapa hal yang dapat mendorong investor global untuk keluar dari portofolio di Emerging Market (EM) dan kemungkinan besar beralih ke portofolio negara maju antara lain:
Pertama, pulihnya perekonomian negara-negara maju yang masih dianggap sebagai safe haven atau aset yang nilainya relatif stabil dalam kondisi pasar yang tertekan bagi investasi portofolio.
Hal ini akan diikuti dengan peningkatan suku bunga di negara-negara tersebut sebagai upaya normalisasi dari kebijakan moneter longgar yang selama ini dijalankan untuk memberikan stimulus pada perekonomiannya.
"Adanya sentimen negatif dari negara EM lainnya juga dapat menjadi alasan bagi investor global untuk menurunkan eksposurnya di negara EM," pungkasnya.
(Baca: Pasar Keuangan RI Kuat Hadapi Pembalikan Modal Asing)
(gpr)