Pertamina Jadi Pionir Penggunaan LNG untuk Bahan Bakar Truk
A
A
A
JAKARTA - PT Pertamina (Persero) melakukan uji coba penggunaan gas alam cair (liquefied natural gas /LNG) sebagai bahan bakar untuk kendaraan jenis truk di Terminal BBM Pertamina, Balikpapan, Kalimantan Timur.
Uji coba itu dilakukan terhadap truk-truk pengangkut BBM milik Pertamina dan peralatan tambang milik PT Indominco Mandiri dan PT Berau Coal. “Ini yang pertama di Indonesia. Sebelumnya di Badak untuk bus. Itu pertama di ASEAN juga,” ujar Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO kemarin. Hanung menegaskan, uji coba ini bagian dari upaya konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).
Upaya ini perlu dipercepat untuk menekan konsumsi BBM yang produksinya terbatas dan untuk mengurangi impor. Menurutnya, cadangan gas nasional yang secara total mencapai 188 triliun kaki kubik (TCF) potensial menggantikan BBM. Pertamina memproduksi gas 17,5 juta ton, Lapangan Badak 10 juta ton, Tangguh 7 juta ton. Lalu, Pertamina juga akan mengoperasikan Lapangan Donggi- Senoro, Masela, yang pada 2020 akan memproduksi gas 2,5 juta ton dan proyek Natuna D Alpha yang akan memproduksi 10 juta ton per tahun pada 2022.
“Indonesia sulit kalau tidak konversi. Impor menguras devisa dan ketahanan energi nasional juga belum baik. Kita belum punya cadangan strategis, yang ada hanya cadangan operasional Pertamina,” paparnya. Lebih lanjut Hanung menyebutkan bahwa upaya konversi juga akan menghasilkan penghematan yang signifikan. Berdasarkan data Pertamina, jumlah kendaraan truk angkutan berat dan bus yang beroperasi saat ini berkisar antara 1,5 juta hingga 1,6 juta unit.
Jika dari jumlah itu diasumsikan sebanyak 500.000 unit truk, bus, dan angkutan barang lain diikutkan dalam program konversi BBM ke gas atau LNG, Indonesia akan mampu mengurangi konsumsi BBM sekaligus menghemat anggaran negara yang jumlahnya sangat besar. “Misalnya kita asumsikan yang dikonversikan itu 100 liter BBM jenis solar per hari per kendaraan, itu akan menimbulkan penghematan yang signifikan dari sisi komersial,” ucapnya.
Dia menjelaskan, nilai keekonomian solar saat ini Rp12.000 per liter. Sedangkan 1 liter solar setara dengan 1,68 literLNG. Sementara harga LNG dari Lapangan Badak saat ini sekitar USD11 per juta british thermal unit (MMNTU) plus ongkos angkut sehingga harga ecerannya di Jawa hanya berkisar di angka Rp8.000 per liter. Untuk mendukung upaya tersebut, lanjut dia, perlu disiapkan sistem distribusi LNG melalui laut ke stasiun pengisian di Pulau Jawa. Namun, untuk itu dibutuhkan dukungan pemerintah yakni perizinan agar skid tank LNG bisa dibawa oleh kapal kargo umum.
“Ketika diizinkan, akan mudah membawa ke mana-mana, dan segera bisa dibangun stasiun pengisian,” ujarnya. Kalau itu bisa dilakukan segera, Pertamina berjanji pertengahan 2015 akan membangun stasiun pengisian LNG di Jakarta sehingga secara teori semua angkutan di Jabodetabek bisa dikonversi ke LNG. “Kalau bisa dibangun di titiktitik di Pulau Jawa, angkutan di pantura bisa selesai,” ucapnya.
Menurut Hanung, butuh investasi sekitar Rp1,6 triliun untuk membangun 150 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang terintegrasi dengan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pengembangan SPBG LNG itu, lanjut dia, juga tidak lepas dari ada dukungan PT PGN (Persero). Dukungan itu berupa rencana kerja sama pembangunan SPBG online yaitu menggunakan jaringan pipa distribusi yang dibangun bersama-sama oleh PGN dan Pertamina.
Sedangkan untuk SPBG LNG yang lokasinya jauh dari jaringan pipa distribusi akan dikembangkan dengan menggunakan sistem mother-daughter station . “Dengan sistem dan kerja sama tersebut, diharapkan penggunaan LNG sebagai bahan bakar kendaraan ini bisa dimassalkan mulai 2016-2017. Untuk itu, kami mohon dukungan pemerintah agar mempermudah perizinan,” tuturnya.
M faizal
Uji coba itu dilakukan terhadap truk-truk pengangkut BBM milik Pertamina dan peralatan tambang milik PT Indominco Mandiri dan PT Berau Coal. “Ini yang pertama di Indonesia. Sebelumnya di Badak untuk bus. Itu pertama di ASEAN juga,” ujar Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya dalam keterangan tertulis yang diterima KORAN SINDO kemarin. Hanung menegaskan, uji coba ini bagian dari upaya konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).
Upaya ini perlu dipercepat untuk menekan konsumsi BBM yang produksinya terbatas dan untuk mengurangi impor. Menurutnya, cadangan gas nasional yang secara total mencapai 188 triliun kaki kubik (TCF) potensial menggantikan BBM. Pertamina memproduksi gas 17,5 juta ton, Lapangan Badak 10 juta ton, Tangguh 7 juta ton. Lalu, Pertamina juga akan mengoperasikan Lapangan Donggi- Senoro, Masela, yang pada 2020 akan memproduksi gas 2,5 juta ton dan proyek Natuna D Alpha yang akan memproduksi 10 juta ton per tahun pada 2022.
“Indonesia sulit kalau tidak konversi. Impor menguras devisa dan ketahanan energi nasional juga belum baik. Kita belum punya cadangan strategis, yang ada hanya cadangan operasional Pertamina,” paparnya. Lebih lanjut Hanung menyebutkan bahwa upaya konversi juga akan menghasilkan penghematan yang signifikan. Berdasarkan data Pertamina, jumlah kendaraan truk angkutan berat dan bus yang beroperasi saat ini berkisar antara 1,5 juta hingga 1,6 juta unit.
Jika dari jumlah itu diasumsikan sebanyak 500.000 unit truk, bus, dan angkutan barang lain diikutkan dalam program konversi BBM ke gas atau LNG, Indonesia akan mampu mengurangi konsumsi BBM sekaligus menghemat anggaran negara yang jumlahnya sangat besar. “Misalnya kita asumsikan yang dikonversikan itu 100 liter BBM jenis solar per hari per kendaraan, itu akan menimbulkan penghematan yang signifikan dari sisi komersial,” ucapnya.
Dia menjelaskan, nilai keekonomian solar saat ini Rp12.000 per liter. Sedangkan 1 liter solar setara dengan 1,68 literLNG. Sementara harga LNG dari Lapangan Badak saat ini sekitar USD11 per juta british thermal unit (MMNTU) plus ongkos angkut sehingga harga ecerannya di Jawa hanya berkisar di angka Rp8.000 per liter. Untuk mendukung upaya tersebut, lanjut dia, perlu disiapkan sistem distribusi LNG melalui laut ke stasiun pengisian di Pulau Jawa. Namun, untuk itu dibutuhkan dukungan pemerintah yakni perizinan agar skid tank LNG bisa dibawa oleh kapal kargo umum.
“Ketika diizinkan, akan mudah membawa ke mana-mana, dan segera bisa dibangun stasiun pengisian,” ujarnya. Kalau itu bisa dilakukan segera, Pertamina berjanji pertengahan 2015 akan membangun stasiun pengisian LNG di Jakarta sehingga secara teori semua angkutan di Jabodetabek bisa dikonversi ke LNG. “Kalau bisa dibangun di titiktitik di Pulau Jawa, angkutan di pantura bisa selesai,” ucapnya.
Menurut Hanung, butuh investasi sekitar Rp1,6 triliun untuk membangun 150 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) yang terintegrasi dengan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Pengembangan SPBG LNG itu, lanjut dia, juga tidak lepas dari ada dukungan PT PGN (Persero). Dukungan itu berupa rencana kerja sama pembangunan SPBG online yaitu menggunakan jaringan pipa distribusi yang dibangun bersama-sama oleh PGN dan Pertamina.
Sedangkan untuk SPBG LNG yang lokasinya jauh dari jaringan pipa distribusi akan dikembangkan dengan menggunakan sistem mother-daughter station . “Dengan sistem dan kerja sama tersebut, diharapkan penggunaan LNG sebagai bahan bakar kendaraan ini bisa dimassalkan mulai 2016-2017. Untuk itu, kami mohon dukungan pemerintah agar mempermudah perizinan,” tuturnya.
M faizal
(ars)