Green Living, Green Business
A
A
A
Suzy Hutomo membuktikan bahwa kemajuan bisnis dan pelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan bahkan saling mendukung.
Sebagai pebisnis, dia berhasil memajukan The Body Shop Indonesia hingga kini memiliki ratusan outlet di Indonesia. Sebagai aktivis lingkungan, dia menjaga betul kemasan berbagai produk alami tersebut benar-benar ramah lingkungan dan mudah didaur ulang.
Ibu tiga anak ini adalah figur pebisnis, profesional, sekaligus aktivis lingkungan. Suzy juga aktif terlibat dalam organisasi lingkungan hidup dan kegiatan peduli alam. Sejak 2008, dia adalah board memberGreenpeace Southeast Asia. Berikut wawancara dengan Suzy di rumahnya di kawasan Sanur, Bali, beberapa waktu lalu:
Anda begitu peduli pada lingkungan. Kenapa?
Saya tumbuh berdekatan dengan alam. Waktu kecil, saya banyak bermain di luar rumah. Saat itu, saya dan keluarga tinggal di daerah Pasar Baru, Jakarta, yang lingkungannya masih hijau. Di akhir pekan, kami sering jalan- jalan ke kawasan Puncak, Bogor. Lingkungannya masih sangat hijau. Saya suka memanjat pohon, melihatlihat sarang dan telur burung, menanam jagung, hingga main di kali dengan bebek-bebek. Akhirnya saya jadi senang dengan alam.
Bagaimana proses hingga Anda kemudian menjadi aktivis lingkungan?
Semua bermula dari kesadaran yang menimbulkan keingintahuan. Saya memperluas pengetahuan dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, akan semakin banyak yang kita ketahui. Pengetahuan berlanjut menjadi perilaku, kemudian menjadi aktivis hingga akhirnya menjadi influencer.
Pada 1982-1984, saya kuliah di New York. Saat itu, di sana sedang gencargencarnya gerakan peduli lingkungan yang sudah dimulai sejak 1970-an. Berbagai kampanye organisasi hijau seperti Greenpeace dan WWF (World Wild Life) semakin membuka mata saya mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Saya mendapat banyak teman dari kalangan aktivis lingkungan. Ada satu buku yang semakin menambah wawasan saya mengenai lingkungan, yaitu Silent Springkarya Rachel Carson. Buku itu mengisahkan musim semi tanpa kicauan burung karena penyalahgunaan pestisida.
Menurut saya, buku ini sungguh luar biasa karena mengungkap bahwa pestisida sintetis adalah racun. Sayangnya, hingga sekarang Indonesia masih menggunakan pestisida dan anti jamur yang di negara lain penggunaannya sudah dilarang. Bahan- bahan kimia seperti itu masih banyak dipakai di negara kita karena masyarakat belum terlalu paham tentang bad chemical. Keprihatinan saya kemudian menjadi kepedulian. Saya yang sebelumnya sekadar menyenangi alam, akhirnya terlibat dalam gerakan antitoxicberlanjut ke gerakan hijau.
Pada 2009, saya terpilih menjadi salah satu dari 300 peserta Al Gore “The Climate Change Project” di Melbourne, Australia. Kegiatan ini memperluas wawasan saya mengenai lingkungan dan perubahan iklim. Saya satu-satunya pebisnis yang bergabung di grup ini. Anggota lain berasal dari LSM dan pemerintahan.
Saat Anda kembali ke Indonesia pertengahan 1980-an, apakah sudah banyak orang yang menerapkan pola hidup ramah lingkungan?
Belum boomingkarena saat itu lingkungan di sini masih cukup hijau. Penggunaan bad chemical belum marak, penggunaan bungkus plastik juga masih jarang. Dulu, disadari atau tidak, hidup kita sangat organik. Namun menjelang awal 1990-an konsumerisme mengubah gaya hidup kita. Makanan yang dulunya dibungkus dengan daun pisang diganti dengan bungkus kertas, lalu plastik. Sebetulnya, saya tidak setuju dengan pengemasan produk dalam ukuran kecil atau sachet. Sampahnya yang notabene terbuat dari plastik sulit sekali didaur ulang.
Bayangkan apa yang akan terjadi pada bumi jika manusianya tidak memikirkan dampak lingkungan atas apa yang mereka konsumsi. Bumi ini akan hancur. Jadi gerakan gaya hidup hijau itu penting. Dari gerakan hijau itulah, saya kemudian menjadi aktivis lingkungan untuk gerakan save naturedan save animal. Perlahan saya mengarah pada pengelolaan sampah yang ideal dan penggunaan energi terbarukan. Pada akhirnya, gerakan ini bukan lagi sekadar melestarikan tapi juga mencarikan solusi.
Bagaimana penerapan konsep green livingdalam kehidupan sehari-hari?
Begitu pulang ke Indonesia pada pertengahan 1980-an, saya langsung menerapkan pola hidup ramah lingkungan termasuk green house. Rumah pertama saya dengan suami tidak menggunakan pendingin udara dengan konsep brickhouse. Padahal kami tinggal di kawasan Bintaro. Hingga sekarang, di rumah, kami memilah sampah dan membuang sampah sesuai klasifikasinya.
Kami juga mengelola sampah kami sendiri untuk dijadikan kompos. Enam bulan pertama memang berat. Kalau tidak saya pantau, pemilahan sampah tidak sesuai tempatnya. Selain itu, saya selalu memiliki dua tas ekstra di dalam tas tangan saya. Dengan begitu, saya tidak perlu mengambil kantong plastik dari supermarket atau toko. Saya pun selalu membawa botol minum sendiri dan sebisa mungkin tidak meminum air dari kemasan plastik.
Kapan tepatnya Anda mulai aktif mengampanyekan gaya hidup hijau?
Sejak saya bergabung dengan The Body Shop pada 1992. Saya dan suami beruntung bertemu dengan Anita Roddick, pendiri The Body Shop. Dia merupakan pelopor bisnis hijau pada 1970-an. Dia selalu mengaku sebagai aktivis lingkungan sekaligus pebisnis. Mengenal Anita semakin mendorong saya menjadi aktivis lingkungan dan terlibat di berbagai LSM terkait seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).
Anita mengungkapkan filosofinya tentang menyeimbangkan laba dan prinsip-prinsip lingkungan, serta prinsipnya tentang bisnis yang berkelanjutan. Saya langsung tertarik. Selain itu, saya adalah konsumen The Body Shop dan tahu produk mereka menggunakan bahanbahan alami. Saya tidak tertarik pada kosmetika biasa. Kami di The Body Shop mengimbau para customeruntuk mengembalikan botol, wadah, atau kemasan lain produk kami untuk ditukar dengan poin. Jumlah poin tertentu dapat ditukar dengan produk. Dengan begitu, sampah kemasan menjadi lebih sedikit dan ramah lingkungan.
Saat ini, hampir 100% botol transparan kami menggunakan post-consumer waste. Jika tidak dibuat sebagai sistem ekonomi, tidak mungkin banyak produsen mau memikirkan hal tersebut. Sekarang semua bisnis sudah go green. Dalam sepuluh tahun ke depan, sudah tidak mungkin berbisnis kalau tidak mempedulikan keadaan alam dan planet karena pelanggan sudah pintar dan pemerintah memiliki regulasi. Suatu hari, semua produsen sudah harus mengurus wastedari produknya.
Saat membawa The Body Shop masuk pasar Indonesia, apa misi utama Anda, bisnis atau lingkungan?
Saya bersyukur dua hal tersebut berjalan beriringan. Sebelum terlibat dengan The Body Shop, saya menjalankan bisnis murni. Saya lelah bekerja di industri yang profit-oriented karena hal tersebut tidak menginspirasi saya. Saya ingin mencari bisnis yang bisa sekaligus kami nikmati. Di awal merintis The Body Shop Indonesia, banyak yang mengatakan bisnis ini akan gagal. Pertama, karena saat itu tidak ada yang peduli pada gaya hidup ramah lingkungan. Kedua, meski produknya bagus, banyak yang bilang kemasannya jelek. Namun kami mampu menjawab semua keraguan itu. Hingga akhir 2014, total jumlah outletThe Body Shop di Indonesia mencapai 118.
Apakah ada produk The Body Shop yang menggunakan bahan-bahan asli alami dari Indonesia?
IngredientsIndonesia yang dibeli di open marketcukup banyak namun bukan proyek khusus. Ini karena di Indonesia tidak banyak LSM yang kuat untuk membantu petani. Dulu, The Body Shop Indonesia sempat menyarankan coconut oilke The Body Shop International tapi kalah dengan Fiji. Kendalanya adalah masyarakat kita masih lemah dalam berbahasa asing, lemah di tingkat higienitas, dan lamban menyusun proposal. Sekarang kami sedang merancang community projectdengan bahan-bahan dari Indonesia.
Apakah Anda pernah merasa lelah dalam mengampanyekan green living?
Ya. Hal yang membuat lelah adalah bagaimana mengubah sikap masyarakat termasuk sikap keluarga saya sendiri baik keluarga inti maupun keluarga besar. Tapi semakin canggihnya teknologi membuat mengampanyekan gaya hidup hijau jadi lebih mudah. Kita cukup browsing, cetak, dan tempel.
Semakin banyak orang menerapkan green living,akan semakin banyak pula orang yang terpengaruh. Kuncinya adalah harus konsisten. Itulah yang membuat lelah. Tak bisa dipungkiri. Tapi kita jangan menyerah.
Ema malini
Sebagai pebisnis, dia berhasil memajukan The Body Shop Indonesia hingga kini memiliki ratusan outlet di Indonesia. Sebagai aktivis lingkungan, dia menjaga betul kemasan berbagai produk alami tersebut benar-benar ramah lingkungan dan mudah didaur ulang.
Ibu tiga anak ini adalah figur pebisnis, profesional, sekaligus aktivis lingkungan. Suzy juga aktif terlibat dalam organisasi lingkungan hidup dan kegiatan peduli alam. Sejak 2008, dia adalah board memberGreenpeace Southeast Asia. Berikut wawancara dengan Suzy di rumahnya di kawasan Sanur, Bali, beberapa waktu lalu:
Anda begitu peduli pada lingkungan. Kenapa?
Saya tumbuh berdekatan dengan alam. Waktu kecil, saya banyak bermain di luar rumah. Saat itu, saya dan keluarga tinggal di daerah Pasar Baru, Jakarta, yang lingkungannya masih hijau. Di akhir pekan, kami sering jalan- jalan ke kawasan Puncak, Bogor. Lingkungannya masih sangat hijau. Saya suka memanjat pohon, melihatlihat sarang dan telur burung, menanam jagung, hingga main di kali dengan bebek-bebek. Akhirnya saya jadi senang dengan alam.
Bagaimana proses hingga Anda kemudian menjadi aktivis lingkungan?
Semua bermula dari kesadaran yang menimbulkan keingintahuan. Saya memperluas pengetahuan dengan banyak membaca. Semakin banyak membaca, akan semakin banyak yang kita ketahui. Pengetahuan berlanjut menjadi perilaku, kemudian menjadi aktivis hingga akhirnya menjadi influencer.
Pada 1982-1984, saya kuliah di New York. Saat itu, di sana sedang gencargencarnya gerakan peduli lingkungan yang sudah dimulai sejak 1970-an. Berbagai kampanye organisasi hijau seperti Greenpeace dan WWF (World Wild Life) semakin membuka mata saya mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Saya mendapat banyak teman dari kalangan aktivis lingkungan. Ada satu buku yang semakin menambah wawasan saya mengenai lingkungan, yaitu Silent Springkarya Rachel Carson. Buku itu mengisahkan musim semi tanpa kicauan burung karena penyalahgunaan pestisida.
Menurut saya, buku ini sungguh luar biasa karena mengungkap bahwa pestisida sintetis adalah racun. Sayangnya, hingga sekarang Indonesia masih menggunakan pestisida dan anti jamur yang di negara lain penggunaannya sudah dilarang. Bahan- bahan kimia seperti itu masih banyak dipakai di negara kita karena masyarakat belum terlalu paham tentang bad chemical. Keprihatinan saya kemudian menjadi kepedulian. Saya yang sebelumnya sekadar menyenangi alam, akhirnya terlibat dalam gerakan antitoxicberlanjut ke gerakan hijau.
Pada 2009, saya terpilih menjadi salah satu dari 300 peserta Al Gore “The Climate Change Project” di Melbourne, Australia. Kegiatan ini memperluas wawasan saya mengenai lingkungan dan perubahan iklim. Saya satu-satunya pebisnis yang bergabung di grup ini. Anggota lain berasal dari LSM dan pemerintahan.
Saat Anda kembali ke Indonesia pertengahan 1980-an, apakah sudah banyak orang yang menerapkan pola hidup ramah lingkungan?
Belum boomingkarena saat itu lingkungan di sini masih cukup hijau. Penggunaan bad chemical belum marak, penggunaan bungkus plastik juga masih jarang. Dulu, disadari atau tidak, hidup kita sangat organik. Namun menjelang awal 1990-an konsumerisme mengubah gaya hidup kita. Makanan yang dulunya dibungkus dengan daun pisang diganti dengan bungkus kertas, lalu plastik. Sebetulnya, saya tidak setuju dengan pengemasan produk dalam ukuran kecil atau sachet. Sampahnya yang notabene terbuat dari plastik sulit sekali didaur ulang.
Bayangkan apa yang akan terjadi pada bumi jika manusianya tidak memikirkan dampak lingkungan atas apa yang mereka konsumsi. Bumi ini akan hancur. Jadi gerakan gaya hidup hijau itu penting. Dari gerakan hijau itulah, saya kemudian menjadi aktivis lingkungan untuk gerakan save naturedan save animal. Perlahan saya mengarah pada pengelolaan sampah yang ideal dan penggunaan energi terbarukan. Pada akhirnya, gerakan ini bukan lagi sekadar melestarikan tapi juga mencarikan solusi.
Bagaimana penerapan konsep green livingdalam kehidupan sehari-hari?
Begitu pulang ke Indonesia pada pertengahan 1980-an, saya langsung menerapkan pola hidup ramah lingkungan termasuk green house. Rumah pertama saya dengan suami tidak menggunakan pendingin udara dengan konsep brickhouse. Padahal kami tinggal di kawasan Bintaro. Hingga sekarang, di rumah, kami memilah sampah dan membuang sampah sesuai klasifikasinya.
Kami juga mengelola sampah kami sendiri untuk dijadikan kompos. Enam bulan pertama memang berat. Kalau tidak saya pantau, pemilahan sampah tidak sesuai tempatnya. Selain itu, saya selalu memiliki dua tas ekstra di dalam tas tangan saya. Dengan begitu, saya tidak perlu mengambil kantong plastik dari supermarket atau toko. Saya pun selalu membawa botol minum sendiri dan sebisa mungkin tidak meminum air dari kemasan plastik.
Kapan tepatnya Anda mulai aktif mengampanyekan gaya hidup hijau?
Sejak saya bergabung dengan The Body Shop pada 1992. Saya dan suami beruntung bertemu dengan Anita Roddick, pendiri The Body Shop. Dia merupakan pelopor bisnis hijau pada 1970-an. Dia selalu mengaku sebagai aktivis lingkungan sekaligus pebisnis. Mengenal Anita semakin mendorong saya menjadi aktivis lingkungan dan terlibat di berbagai LSM terkait seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).
Anita mengungkapkan filosofinya tentang menyeimbangkan laba dan prinsip-prinsip lingkungan, serta prinsipnya tentang bisnis yang berkelanjutan. Saya langsung tertarik. Selain itu, saya adalah konsumen The Body Shop dan tahu produk mereka menggunakan bahanbahan alami. Saya tidak tertarik pada kosmetika biasa. Kami di The Body Shop mengimbau para customeruntuk mengembalikan botol, wadah, atau kemasan lain produk kami untuk ditukar dengan poin. Jumlah poin tertentu dapat ditukar dengan produk. Dengan begitu, sampah kemasan menjadi lebih sedikit dan ramah lingkungan.
Saat ini, hampir 100% botol transparan kami menggunakan post-consumer waste. Jika tidak dibuat sebagai sistem ekonomi, tidak mungkin banyak produsen mau memikirkan hal tersebut. Sekarang semua bisnis sudah go green. Dalam sepuluh tahun ke depan, sudah tidak mungkin berbisnis kalau tidak mempedulikan keadaan alam dan planet karena pelanggan sudah pintar dan pemerintah memiliki regulasi. Suatu hari, semua produsen sudah harus mengurus wastedari produknya.
Saat membawa The Body Shop masuk pasar Indonesia, apa misi utama Anda, bisnis atau lingkungan?
Saya bersyukur dua hal tersebut berjalan beriringan. Sebelum terlibat dengan The Body Shop, saya menjalankan bisnis murni. Saya lelah bekerja di industri yang profit-oriented karena hal tersebut tidak menginspirasi saya. Saya ingin mencari bisnis yang bisa sekaligus kami nikmati. Di awal merintis The Body Shop Indonesia, banyak yang mengatakan bisnis ini akan gagal. Pertama, karena saat itu tidak ada yang peduli pada gaya hidup ramah lingkungan. Kedua, meski produknya bagus, banyak yang bilang kemasannya jelek. Namun kami mampu menjawab semua keraguan itu. Hingga akhir 2014, total jumlah outletThe Body Shop di Indonesia mencapai 118.
Apakah ada produk The Body Shop yang menggunakan bahan-bahan asli alami dari Indonesia?
IngredientsIndonesia yang dibeli di open marketcukup banyak namun bukan proyek khusus. Ini karena di Indonesia tidak banyak LSM yang kuat untuk membantu petani. Dulu, The Body Shop Indonesia sempat menyarankan coconut oilke The Body Shop International tapi kalah dengan Fiji. Kendalanya adalah masyarakat kita masih lemah dalam berbahasa asing, lemah di tingkat higienitas, dan lamban menyusun proposal. Sekarang kami sedang merancang community projectdengan bahan-bahan dari Indonesia.
Apakah Anda pernah merasa lelah dalam mengampanyekan green living?
Ya. Hal yang membuat lelah adalah bagaimana mengubah sikap masyarakat termasuk sikap keluarga saya sendiri baik keluarga inti maupun keluarga besar. Tapi semakin canggihnya teknologi membuat mengampanyekan gaya hidup hijau jadi lebih mudah. Kita cukup browsing, cetak, dan tempel.
Semakin banyak orang menerapkan green living,akan semakin banyak pula orang yang terpengaruh. Kuncinya adalah harus konsisten. Itulah yang membuat lelah. Tak bisa dipungkiri. Tapi kita jangan menyerah.
Ema malini
(ars)