Sehat atau Eksis

Minggu, 02 November 2014 - 12:57 WIB
Sehat atau Eksis
Sehat atau Eksis
A A A
Saat ini event lari maraton sedang happening . Kemunculannya bak virus ebola, menjalar cepat ke berbagai kota di antero Tanah Air.

Pesertanya ratusan bahkan ribuan dengan publisitas yang luar biasa. Berbeda dengan yang dulu-dulu, peserta lari beberapa tahun terakhir ini lebih kinyis-kinyis. Muda penuh semangat, cantik-cantik dan ganteng-ganteng, berkacamata hitam trendi, techy dengan beragam gadget termutakhir, kostum yang semringah nan fashionable, dan tentu sneaker merek global ternama. Wooowww. Meskipun dalam tiap event panitia sudah menyediakan seragam, selalu saja ada peserta yang tak puas.

Mereka menambahkan pernik-pernik aksesori yang catchy mulai dari kacamata hitam yang cool , gelang tangan hingga glow stick dsb. Tujuannya cuma satu: agar saat foto selfi dengan teman-teman terlihat lebih kinclong bersinar.

See and to be Seen

Tema yang diusung event-event itu kini juga makin neko-neko . Ada Color Run yang diramaikan dengan penaburan bubukbubuk warna-warni kepada para peserta disertai alunan musik yang terus mengentak. Adajuga ElectroRun yangmengusungkonsep lomba lari malam hari dengan dilengkapi alunan berbagai konsep musik yang berbeda di tiap zona. Tujuannya juga macam-macam.

Ada yang bertujuan untuk fun dan seruseruan, ada yang untuk tujuan amal atau charity, ada juga yang memang bertujuan serius (half atau full marathon ). Harga tiket peserta untuk event ini umumnya berkisar Rp 200.000-500.000-an per orang. Harga yang cukup mahal untuk sebuah kegiatan yang bisa kita lakukan di mana saja dan kapan saja gratis tanpa biaya. Gampang saja, cukup lari mengitari kebun di samping kantor kecamatan.

Sama-sama dapat keringat, sama-sama sehat, tapi ngirit tak mengeluarkan duit sepeser pun. Pertanyaannya, kenapa mereka mau bayar mahal? Ya, karena sehat adalah tujuan paling buncit. Yang menjadi tujuan utama adalah see and to be seen . Tujuan utamanya adalah narsis sekaligus eksis. Kwkwkwkkk. Di samping lari, saat ini tumbuh pesat pusat-pusat kebugaran yang menawarkan program mulai dari body building , salsa, aerobik, yoga, pilates hingga zumba. Untuk bisa ikut program-program tersebut modalnya gede, mulai dari membership, kostum olahraga hingga pernik-pernik aksesorinya.

Modus operandinya kira-kira sama, mereka beramai-ramai mengikuti program tersebut tak melulu untuk sehat. Yang justru penting adalah see and to be seen, narsis, dan akhirnya eksis.

Socially-Connected


Inilah perilaku kelas menengah kita yang kini tumbuh luar biasa. Saya sering mengatakan mereka memiliki tiga ciri, yaitu: terbuka informasi dan pintar (knowledgeability ), daya beli lumayan tinggi (high buying power ), dan mereka terhubung secara sosial (socially-connected ) melalui Facebook, Twitter, atau arisan di mal.

Ketika mereka mulai kaya dan punya duit menganggur (disposible income ), maka kini mereka semakin mampu membelanjakan uangnya untuk hal-hal lain yang bukan kebutuhan pokok. Dulu duit Rp 200.000- 500.000 lebih baik dipakai untuk membeli beras atau lauk-pauk. Namun, kini, karena kebutuhan makan sudah tercukupi, duit segitu lebih prioritas untuk membayar membership gim atau event maraton.

Memang betul badan sehat menjadi tujuan mereka. Akses informasi yang luas melalui majalah, TV kabel, ataupun media sosial menjadikan mereka semakin sadar kesehatan. Namun bukan itu yang menjadi motif utama mereka. Yang membuat ribuan orang tertarik ikut event lari maraton atau yoga bukanlah semata untuk sehat, tapi supaya terlihat eksis atau keren di mata teman-temannya. Ketika mereka sedang kumpul-kumpul di mal, mereka pamer, “Minggu kemarin aku ikutan maraton X lho” atau “Sekarang aku sedang ikutan yoga bareng artis Y lho”.

Dan sehabis berujar, serta-merta mereka menunjukkan foto-foto selfi saat berlari maraton atau berlatih yoga. Coba saja amati, setelah atau selama ikutan lomba lari atau kursus yoga, mereka biasanya meng-upload foto-foto mereka di blog, Twitter, atau Instagram. Kenikmatan luar biasa akan mereka dapatkan saat fotofoto selfi tersebut dikomentari, di-RT, dishare ke teman lain, di-like sesama teman, atau bertabur pujian.

Hal tersebut akan terlihat keren di mata teman-temannya. Nah, teman-teman lain yang melihat betapa kerennya ikut lari maraton atau kursus yoga jadi ikut-ikutan kepincut. Setali tiga uang, mereka juga ingin terlihat keren, ingin terlihat eksis. Di sinilah “wabah” lari maraton atau yoga mulai menyebar dengan masif.

Fake Lifestyle

Jadi jangan tertipu, mentang-mentang banyak event lari maraton, maraknya gim, atau program yoga, lalu membabi buta kita menyimpulkan kesadaran hidup sehat masyarakat kita meningkat. Belum tentu begitu. Bisa-bisa yang mereka cari bukanlah kesehatan “lahir”, tapi kesehatan “batin”, yaitu see and to be seen , narsis, dan eksis di atas.

“Sehat batin” ini dulu-dulu sulit terwujud, tetapi kini saat media narsis seperti blog, Twitter, Instagram, atau YouTube hadir, ia begitu mudah diekspresikan. Saya menyebut fenomena orang ingin dianggap keren dengan lari maraton atau yoga diatas dengan istilah fake lifestyle . Kenapa fake? Karena kelihatan di permukaan mereka memiliki gaya hidup sehat (healthy lifestyle ), tetapi kalau kita telisik lebih dalam sesungguhnya tidak demikian. Gaya hidup sehat itu sesungguhnya hanya tampakan luarnya saja, tampakan dalamnya adalah untuk seen and to be seen, narsis, dan eksis.

Gaya hidup yang terlihat bukanlah gaya hidup yang sesungguhnya. Ketika masyarakat kita menjadi hyper socially-connected oleh revolusi media sosial, fenomena fake lifestyle iniakansemakinmarak di masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Apa jadinya kalau nantinya masyarakat kita pekat diwarnai fake lifestyle?

Saya tidak tahu. Tapi yang jelas bagi para marketer, ini menjadi peluang sekaligus tantangan luar bisa. Konsumen menjadi sebuah misteri yangharus diungkap rahasianya.
(Ditulis bersama Suryati Veronika, Business Analyst Inventure)

YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure @yuswohady
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0759 seconds (0.1#10.140)