Krakatau Steel Tekan Biaya Produksi
A
A
A
JAKARTA - PT Krakatau Steel Tbk (PTKS) terus meningkatkan daya saing perusahaan untuk mengoptimalkan kinerja perusahaan. Beberapa langkah yang dilakukan perseroan di antaranya pembangunan pabrik blast furnace yang ditargetkan selesai pada pertengahan 2015. Selain itu, pembangunan pembangkit listrik berteknologi combined cycle (combined cycle power plant /CCPP) berkapasitas 120 MW yang ditargetkan selesai pada akhir 2014.
Direktur Utama Krakatau Steel Irvan K Hakim menjelaskan, upaya menekan beban biaya dilakukan melalui pembangunan pabrik blast furnace dan combined cycle power plant (PLTGU) 120 MW. Pabrik blast furnace mengadopsi teknologi berbasis batu bara dengan proses yang lebih efisien, sehingga menurunkan biaya produksi baja cair dan slab, meningkatkan margin laba, dan menciptakan keseimbangan kapasitas produksi iron making, steel making dan rolling mill. “Pabrik blast furnace akan mampu menurunkan beban konsumsi listrik hingga 50% dibandingkan pola konvensional yang dilakukan sekarang,” tegas dia dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Menurut Irvan, setiap 100 kwh/ton penurunan konsumsi listrik akan berimbas pada penurunan beban biaya produksi hingga USD10/ton. Hal ini sudah terbukti di beberapa pabrik baja yang menggunakan hot metal dalam proses electric arc furnace (EAF). Hingga kuartal III/2014 proses pembangunan fisik pabrik blast furnace sudah mencapai 62,4% dan diharapkan bisa mencapai 100% pada kuartal III/2015.
Sementara, pembangunan CCPP 120 MW akan berdampak pada peningkatan kapasitas produksi listrik, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan efisiensi pabrik baja yang berujung pada peningkatan laba. Pengoperasiannya diharapkan bisa dilakukan pada akhir tahun ini mengingat sedang dalam proses uji kinerja (performance test).
Dia mengungkapkan, program efisiensi juga dilakukan dengan mengonversi boiler 400 MW yang saat ini berbasis gas menjadi berbasis batu bara. Program konversi energi ini akan dilakukan dengan konversi tahap awal 2 x 80 megawatt terlebih dahulu mulai tahun ini.
Analis Pefindo, Guntur Tri Hariyanto, mengatakan bahwa penggunaan baja per kapita di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara-negara tetangga. Penggunaan baja telah mengalami peningkatan sejak dimulainya proyek pembangunan infrastruktur MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) pemerintah meski realisasinya kurang dari setengah dari yang ditargetkan.
“Walau demikian, kami percaya industri baja nasional akan tetap solid, sejalan dengan optimisme terhadap prospek pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Indonesia. Konsumsi baja dalam negeri diproyeksikan akan meningkat menjadi 14,7 juta ton di tahun ini dan tumbuh terus untuk mencapai lebih dari 20 juta ton pada tahun 2025,” pungkas dia dalam risetnya.
Hermansah
Direktur Utama Krakatau Steel Irvan K Hakim menjelaskan, upaya menekan beban biaya dilakukan melalui pembangunan pabrik blast furnace dan combined cycle power plant (PLTGU) 120 MW. Pabrik blast furnace mengadopsi teknologi berbasis batu bara dengan proses yang lebih efisien, sehingga menurunkan biaya produksi baja cair dan slab, meningkatkan margin laba, dan menciptakan keseimbangan kapasitas produksi iron making, steel making dan rolling mill. “Pabrik blast furnace akan mampu menurunkan beban konsumsi listrik hingga 50% dibandingkan pola konvensional yang dilakukan sekarang,” tegas dia dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Menurut Irvan, setiap 100 kwh/ton penurunan konsumsi listrik akan berimbas pada penurunan beban biaya produksi hingga USD10/ton. Hal ini sudah terbukti di beberapa pabrik baja yang menggunakan hot metal dalam proses electric arc furnace (EAF). Hingga kuartal III/2014 proses pembangunan fisik pabrik blast furnace sudah mencapai 62,4% dan diharapkan bisa mencapai 100% pada kuartal III/2015.
Sementara, pembangunan CCPP 120 MW akan berdampak pada peningkatan kapasitas produksi listrik, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan efisiensi pabrik baja yang berujung pada peningkatan laba. Pengoperasiannya diharapkan bisa dilakukan pada akhir tahun ini mengingat sedang dalam proses uji kinerja (performance test).
Dia mengungkapkan, program efisiensi juga dilakukan dengan mengonversi boiler 400 MW yang saat ini berbasis gas menjadi berbasis batu bara. Program konversi energi ini akan dilakukan dengan konversi tahap awal 2 x 80 megawatt terlebih dahulu mulai tahun ini.
Analis Pefindo, Guntur Tri Hariyanto, mengatakan bahwa penggunaan baja per kapita di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara-negara tetangga. Penggunaan baja telah mengalami peningkatan sejak dimulainya proyek pembangunan infrastruktur MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) pemerintah meski realisasinya kurang dari setengah dari yang ditargetkan.
“Walau demikian, kami percaya industri baja nasional akan tetap solid, sejalan dengan optimisme terhadap prospek pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Indonesia. Konsumsi baja dalam negeri diproyeksikan akan meningkat menjadi 14,7 juta ton di tahun ini dan tumbuh terus untuk mencapai lebih dari 20 juta ton pada tahun 2025,” pungkas dia dalam risetnya.
Hermansah
(bbg)