Pangsa Pasar Syariah Perlu Ditingkatkan
A
A
A
SURABAYA - Bank Indonesia (BI) berharap pangsa pasar pembiayaan syariah bisa menembus angka 30% dalam jangka panjang. Sementara, per Agustus pembiayaan bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) baru mencapai Rp193,98 triliun.
Jika dibandingkan dengan total kredit perbankan yang tercatat Rp3.522 triliun, maka pangsanya baru mencapai sekitar 5,5%. “Jadi, paling tidak kita harus bisa mengupayakan memecahkan angka 5% itu. Dan, secara jangka panjang perbankan atau ekonomi syariah itu harus bisa mencapai 30% daripada pembiayaan yang ada,” ujar Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo di sela-sela acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) di Surabaya kemarin.
Upaya tersebut menurutnya harus dimulai dengan perluasan pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah. Dia mengatakan, BI akan membantu pengembangan keuangan syariah di bidang moneter syariah agar pengelolaan dana di keuangan syariah bisa efektif. “Dengan demikian, bank bisa menawarkan fasilitas dengan bagi hasil, jual-beli ataupun sistem sewa yang kompetitif,” ujarnya.
BI bersama pemangku kepentingan juga mencoba mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah dengan memberdayakan pondok pesantren. BI dan OJK menggandeng Kementerian Agama untuk program pemberdayaan pesantren tersebut. Kerja sama tersebut dilakukan melalui pengembangan kemandirian ekonomi lembaga pondok pesantren dan peningkatan layanan non-tunai untuk transaksi keuangan di lingkungan Kementerian Agama.
Kerja sama tersebut, menurut Agus, dilatarbelakangi oleh adanya potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri 677.000. Pada 1985 meningkat menjadi 6.239 dengan jumlah santri 1.084.000. Tahun 1997, pusat pendidikan Islam ini meningkat menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.771.000. Adapun, Pada 2008 tercatat ada 21.521 pesantren dengan jumlah santri sekitar 3.557.000.
Saat ini diperkirakan ada 28.000 pesantren dengan santri sekitar 4 juta. Program yang akan dilakukan antara lain berupa edukasi keuangan kepada para santri, inkubator kewirausahaan bekerja sama dengan pondok pesantren dan perluasan Gerakan Nasional Non-Tunai untuk transaksi keuangan di lingkungan Kementerian Agama.
Implementasi Nota Kesepahaman ini untuk pertama kalinya akan dilakukan di wilayah Jawa Timur dengan pertimbangan potensi pondok pesantren yang jumlahnya lebih dari 5.000 lembaga serta sejalan dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Surabaya sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah Nasional. BI, OJK, dan Kementerian Agama akan mengawali kerja sama itu dengan 17 pondok pesantren di Jawa Timur.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, kerja sama dengan BI sejalan dengan misi yang dibawakan oleh pondok pesantren (ponpes). Ponpes memiliki tiga misi, yakni pengembangan pendidikan, keagamaan dan pengembangan aspek sosial. “Pengembangan aspek sosial ini yang akan dilakukan dengan BI,” ujar Lukman. Dia mengatakan, ponpes menghadapi tantangan dalam pengembangan ekonomi. Menurutnya, pengelola ponpes memerlukan peningkatan kapabilitas agar bisa mengelola aset dalam rangka kemandirian ekonomi.
Sementara, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, memang masih ada beberapa hal yang harus didorong untuk mengembangkan ekonomi syariah yaitu sosialisasi industri keuangan syariah bukan hanya bank, namun juga asuransi, dan pasar modal. “Ruang tumbuhnya masih besar karena permintaannya akan besar sejalan pertumbuhan ekonomi. Kita optimistis saja,” kata dia dalam kesempatan yang sama.
Muliaman mengatakan, perbankan syariah telah banyak diberikan insentif untuk mendorong pertumbuhan, seperti persyaratan modal yang lebih rendah. Namun, diperlukan integrasi pengembangan produk dengan industri-industri keuangan syariah lain.OJK pun tengah menyusun cetak biru pengembangan ekonomi syariah.
OJK akan mengatur pendekatan pengembangan produk dengan bundling (gabungan) antarproduk-produk industri syariah, pemanfaatan saluran distribusi, pengawasan, serta variasi produk. “Termasuk, pembiayaan kecil, menengah, dan infrastruktur. Bagaimana juga kebutuhan SDM, teknologi,” tambahnya. Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Edy Setiadi mengatakan, industri perbankan syariah memang mengalami hambatan.
“Ini kita seperti terjebak di angka 5%, tahun depan bisa 6% saja sudah bagus,” kata dia. Sementara, pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah tahun depan diperkirakan mencapai 14–15%, dan dana pihak ketiga (DPK) 15–17%.
Ria martati
Jika dibandingkan dengan total kredit perbankan yang tercatat Rp3.522 triliun, maka pangsanya baru mencapai sekitar 5,5%. “Jadi, paling tidak kita harus bisa mengupayakan memecahkan angka 5% itu. Dan, secara jangka panjang perbankan atau ekonomi syariah itu harus bisa mencapai 30% daripada pembiayaan yang ada,” ujar Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo di sela-sela acara Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) di Surabaya kemarin.
Upaya tersebut menurutnya harus dimulai dengan perluasan pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah. Dia mengatakan, BI akan membantu pengembangan keuangan syariah di bidang moneter syariah agar pengelolaan dana di keuangan syariah bisa efektif. “Dengan demikian, bank bisa menawarkan fasilitas dengan bagi hasil, jual-beli ataupun sistem sewa yang kompetitif,” ujarnya.
BI bersama pemangku kepentingan juga mencoba mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah dengan memberdayakan pondok pesantren. BI dan OJK menggandeng Kementerian Agama untuk program pemberdayaan pesantren tersebut. Kerja sama tersebut dilakukan melalui pengembangan kemandirian ekonomi lembaga pondok pesantren dan peningkatan layanan non-tunai untuk transaksi keuangan di lingkungan Kementerian Agama.
Kerja sama tersebut, menurut Agus, dilatarbelakangi oleh adanya potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama (Kemenag), pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri 677.000. Pada 1985 meningkat menjadi 6.239 dengan jumlah santri 1.084.000. Tahun 1997, pusat pendidikan Islam ini meningkat menjadi 9.388 buah dengan jumlah santri 1.771.000. Adapun, Pada 2008 tercatat ada 21.521 pesantren dengan jumlah santri sekitar 3.557.000.
Saat ini diperkirakan ada 28.000 pesantren dengan santri sekitar 4 juta. Program yang akan dilakukan antara lain berupa edukasi keuangan kepada para santri, inkubator kewirausahaan bekerja sama dengan pondok pesantren dan perluasan Gerakan Nasional Non-Tunai untuk transaksi keuangan di lingkungan Kementerian Agama.
Implementasi Nota Kesepahaman ini untuk pertama kalinya akan dilakukan di wilayah Jawa Timur dengan pertimbangan potensi pondok pesantren yang jumlahnya lebih dari 5.000 lembaga serta sejalan dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Surabaya sebagai Pusat Pengembangan Ekonomi Syariah Nasional. BI, OJK, dan Kementerian Agama akan mengawali kerja sama itu dengan 17 pondok pesantren di Jawa Timur.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, kerja sama dengan BI sejalan dengan misi yang dibawakan oleh pondok pesantren (ponpes). Ponpes memiliki tiga misi, yakni pengembangan pendidikan, keagamaan dan pengembangan aspek sosial. “Pengembangan aspek sosial ini yang akan dilakukan dengan BI,” ujar Lukman. Dia mengatakan, ponpes menghadapi tantangan dalam pengembangan ekonomi. Menurutnya, pengelola ponpes memerlukan peningkatan kapabilitas agar bisa mengelola aset dalam rangka kemandirian ekonomi.
Sementara, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, memang masih ada beberapa hal yang harus didorong untuk mengembangkan ekonomi syariah yaitu sosialisasi industri keuangan syariah bukan hanya bank, namun juga asuransi, dan pasar modal. “Ruang tumbuhnya masih besar karena permintaannya akan besar sejalan pertumbuhan ekonomi. Kita optimistis saja,” kata dia dalam kesempatan yang sama.
Muliaman mengatakan, perbankan syariah telah banyak diberikan insentif untuk mendorong pertumbuhan, seperti persyaratan modal yang lebih rendah. Namun, diperlukan integrasi pengembangan produk dengan industri-industri keuangan syariah lain.OJK pun tengah menyusun cetak biru pengembangan ekonomi syariah.
OJK akan mengatur pendekatan pengembangan produk dengan bundling (gabungan) antarproduk-produk industri syariah, pemanfaatan saluran distribusi, pengawasan, serta variasi produk. “Termasuk, pembiayaan kecil, menengah, dan infrastruktur. Bagaimana juga kebutuhan SDM, teknologi,” tambahnya. Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Edy Setiadi mengatakan, industri perbankan syariah memang mengalami hambatan.
“Ini kita seperti terjebak di angka 5%, tahun depan bisa 6% saja sudah bagus,” kata dia. Sementara, pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah tahun depan diperkirakan mencapai 14–15%, dan dana pihak ketiga (DPK) 15–17%.
Ria martati
(ars)